Buku Harian Aulia: Cerita Di Balik Kematian Dokter Muda FK Undip

Ilustrasi buku harian. (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Rabu, 14 Agustus 2024, di indekos Lempongsari, Kota Semarang, sebuah buku harian ditemukan tergeletak di atas meja.

Buku itu milik dr. Aulia Risma Lestari, seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Aulia, sebelum ditemukan tak bernyawa, menulis seluruh keluh pada buku hariannya itu. Ia mengaku tak sanggup lagi menghadapi tekanan sebagai mahasiswa kedokteran.

Selain karena tuntutan akademis kampus, perempuan yang dikenal cerdas di mata rekan sejawatnya itu juga menyinggung tekanan dari seniornya. Sang ibu mengaku sudah mendengar cerita putrinya dan meminta resign.

“Keterangan dari ibunya, sudah curhat. Kedua (penyebab) mungkin menghadapi seniornya, kan perintahnya (senior) sewaktu-waktu, minta ini, itu, ini, itu, keras," ungkap Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono, setelah melakukan olah TKP pada Rabu, (14/8/2024).

Peristiwa ini diketahui berawal dari sang kekasih yang berkali-kali menelepon namun tidak mendapat respons.

Ponselnya memang berdering, namun tidak ada jawaban, sementara kamar kos Aulia terkunci rapat dari dalam.

Khawatir akan keselamatannya, kekasih Aulia meminta bantuan temannya di Semarang untuk mengecek kos lainnya di wilayah Tembalang, namun kamar tersebut kosong.

Di kos Lempongsari, bersama ibu kos setempat, pintu kamar Aulia mencoba dibuka menggunakan kunci cadangan, namun usaha itu gagal.

Baru setelah memanggil ahli kunci, pintu bisa dibuka. Aulia ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam kamar.

Setelah olah TKP dilakukan yang melibatkan dokter, Kompol Agus mengonfirmasi bahwa Aulia meninggal karena suntikan obat penenang yang ia lakukan sendiri.

Teman dekat korban pun bersaksi bahwa Aulia sering terlihat menangis dalam beberapa hari terakhir.

Pasca penemuan jasadnya, kedua orangtua Aulia segera datang ke Semarang untuk membawa pulang jenazah anaknya. Sesuai keinginan keluarga, jenazah Aulia tidak diotopsi.

Peristiwa ini merupakan salah satu dari sekian banyak kisah tragis yang sering menghantui para mahasiswa kedokteran di tanah air.

Bahkan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengakui, perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran telah menjadi 'tradisi' yang berlangsung selama puluhan tahun.

Fenomena ini bukan hal baru dan sering kali terjadi dalam pendidikan dokter umum, program internship, hingga dokter spesialis.

Ironisnya, para korban biasanya enggan melaporkan perlakuan yang mereka terima.

Sebagai gantinya, ketika mereka sudah berada di posisi senior, mereka sering mengulangi siklus perundungan tersebut sebagai bentuk 'balas dendam'.

"Para junior seringkali tidak berani melaporkan kasus perundungan yang mereka alami. Akibatnya, ketika mereka naik ke posisi senior, mereka justru meneruskan tindakan perundungan ini kepada generasi junior berikutnya," ungkap Budi.

Dengan budaya yang sangat merusak ini, tak mengherankan jika seorang calon dokter bisa menghabiskan uang hingga ratusan juta rupiah setiap bulan.

Ilustrasi calon dokter muda. (Foto: Unsplash)

Untuk mengatasi masalah yang sudah mengakar ini, Kemenkes telah menyediakan situs web dan saluran siaga (hotline) khusus bagi para korban perundungan di rumah sakit vertikal yang berada di bawah naungan Kemenkes.

Budi menjelaskan bahwa laporan terkait perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes dapat disampaikan melalui situs www.perundungan.kemkes.go.id atau dengan menghubungi hotline 0812-9979-9777.

Semua data laporan yang masuk akan langsung diterima oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes untuk ditindaklanjuti.

Depresi Akut

Di balik citra prestisius profesi dokter, terdapat kenyataan yang jarang diketahui, yaitu bahwa pendidikan kedokteran di Indonesia sarat dengan budaya penindasan, termasuk bullying dan senioritas.

Lebih buruknya lagi, banyak calon dokter yang sedang menjalani pendidikan menghadapi tekanan yang luar biasa, baik fisik, mental, maupun finansial, dari para senior mereka.

Kenyataan suram ini terungkap melalui data Kementerian Kesehatan, yang melakukan skrining kesehatan jiwa terhadap 12.121 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia pada 21, 22, dan 24 Maret lalu.

Rumah sakit vertikal adalah fasilitas kesehatan yang berada di bawah pengelolaan langsung oleh Kementerian Kesehatan.

Hasil skrining menunjukkan bahwa 22,4% atau 2.716 peserta PPDS mengalami gejala depresi. Sebanyak 1,5% atau 178 orang mengalami depresi sedang hingga berat, dan 0,6% atau 75 orang mengalami depresi berat.

Dalam dua pekan sebelum skrining, 51% peserta PPDS merasa kelelahan, 38% mengalami gangguan tidur, 35% kehilangan minat untuk melakukan apapun, 25% merasa murung atau putus asa, dan 24% mengalami gangguan nafsu makan, baik kurang maupun berlebih.

Pada periode yang sama, 3,3% atau 399 peserta PPDS merasa lebih baik mati atau berpikir untuk melukai diri sendiri dengan cara apa pun.

Di antara mereka, 2,7% merasakan perasaan tersebut beberapa hari, 0,4% lebih dari separuh waktu, dan 0,2% mengalaminya hampir setiap hari.

Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, menyatakan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi beberapa penyebab stres yang dialami para calon dokter spesialis, meskipun masih perlu penyelidikan lebih lanjut.

Dia menyebutkan bahwa faktor penyebabnya meliputi beban pendidikan seperti tuntutan menyelesaikan karya ilmiah dan membaca jurnal, beban pelayanan seperti kewajiban jaga malam, tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan keluarga, serta masih adanya praktik perundungan.

Selama periode Juli hingga Desember 2023, Kementerian Kesehatan menerima 216 laporan mengenai dugaan perundungan di lingkungan rumah sakit.

Sebanyak 109 kasus terjadi di rumah sakit vertikal, sementara 107 lainnya dilaporkan di rumah sakit umum daerah (RSUD), fakultas kedokteran universitas, rumah sakit universitas, dan tempat lainnya.

"Kita menerima banyak sekali laporan terkait hal ini. Oleh karena itu, kami melakukan skrining ini untuk mendeteksi apakah perundungan menjadi salah satu faktor penyebab depresi di kalangan PPDS," ujar Siti.

Dia menambahkan bahwa akan ada pemeriksaan lanjutan untuk penanganan yang lebih komprehensif.

"Jika ditemukan adanya beban pendidikan atau pelayanan yang berat, tentu ini harus dievaluasi," katanya.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, tercatat bahwa jumlah calon dokter spesialis yang mengalami depresi tertinggi terdapat di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta, dengan angka 614 orang.

RS Dr. Hasan Sadikin di Bandung, Jawa Barat, dan RS Dr. Sardjito di Sleman, Yogyakarta, menempati posisi kedua dan ketiga, dengan masing-masing 350 dan 326 orang.

Hartono, mantan ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) yang menjabat pada 2015-2017, mengungkapkan, hingga kini belum ada tindak lanjut konkret dari universitas-universitas untuk mengimplementasikan kebijakan yang diinstruksikan oleh Menteri Kesehatan ke dalam peraturan rektor, misalnya.

"Peraturan rektor nantinya akan dituangkan dalam pedoman atau SOP di tingkat fakultas dan program studi," kata Hartono.

Di situ sambungnya, akan diatur secara teknis, termasuk bagaimana melaporkan perundungan dan jaminan keamanan bagi pelapor.

“Tindak lanjutnya juga harus jelas," tambahnya.

Menkes Marah

Insiden ini memantik respon tegas dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang langsung bergerak cepat.

Menkes Budi tak bisa menyembunyikan kemarahannya atas kembali terjadinya kasus bullying di lingkungan PPDS.

Budi pun memerintahkan melakukan investigasi mendalam untuk mengungkap fakta di balik kasus perundungan ini.

Selain itu, Kemenkes Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, dr. Azhar Jaya juga memutuskan untuk menghentikan sementara program studi anestesi di FK Undip Semarang, yang berafiliasi dengan RSUP Dr. Kariadi selama proses investigasi berlangsung.

"Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) sudah diterjunkan untuk melakukan investigasi," ujar Plt Kepala Biro Komunikasi Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Kamis (15/08/2024).

Menkes Budi kali ini bahan memutuskan untuk memberikan sanksi yang lebih berat bagi pelaku maupun institusi yang terlibat.

Bahkan Budi mengakui, sanksi sudah diberikan sejak enam bulan lalu, “tapi sepertinya belum ada efek jera. Sekarang, kami akan beri hukuman yang lebih keras," tegasnya, Rabu (14/8/2024).

Azhar Jaya membenarkan hal tersebut, bahwa pihaknya akan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perundungan yang terbukti bersalah.

Jika yang terlibat adalah pejabat tegasnya, maka mereka harus mengundurkan diri. 

“Jika pelakunya adalah PPDS residen senior, kami akan melarang mereka melanjutkan program residensi di RSUP dr. Kariadi," ujarnya.

Bahkan, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Nomor TK.02.02/D/44137/2024 yang menghentikan Program Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr. Kariadi.

Menurut catatan Kemenkes RI, terdapat tujuh laporan perundungan yang terjadi di RSUP Dr. Kariadi. Namun, detail mengenai bentuk perundungan tersebut masih belum dipublikasikan.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS