Kasus Bunuh Diri di Indonesia Meningkat: Bagaimana Cara Menolong Sesama?

Ilustrasi pencegahan bunuh diri (Foto: rsjrw.id)

PARBOABOA, Jakarta - Bunuh diri merupakan fenomena laten yang merambah seluruh penduduk dunia tanpa terkecuali. 

World Health Organization (WHO) mencatat hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, atau setara dengan satu orang setiap 40 detik.

Di Asia Tenggara, angka bunuh diri tertinggi terdapat di Thailand dengan presentasi 12,9 kasus per 100.000 penduduk, diikuti Singapura (7,9), Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), Indonesia (3,7), dan Filipina (3,7). 

Data WHO pada 2017 lalu juga mencatat sebanyak 7.355 kasus bunuh diri di Indonesia, atau sekitar 0,44% dari total kematian akibat kecelakaan maupun kematian karena sakit.

Selanjutnya, sejak 2018 hingga 2022, kasus bunuh diri di Indonesia mencapai 2,4%. Angka tersebut terus meningkat setiap tahun, terutama pada kelompok usia 15-29 tahun.

Dalam laporannya yang berjudul Suicide, WHO menyatakan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar keempat di kalangan individu berusia 15-29 tahun di seluruh dunia.

Tindakan tersebut selalu dimulai dengan tiga tahap, yakni ide, ancaman, dan percobaan. Pada tahap ide, seseorang mulai merasakan keinginan untuk bunuh diri. 

Biasanya, keinginan ini tidak diungkapkan secara terbuka dan hanya dirasakan sendiri oleh individu terkait. Jika ide bunuh diri terus ada, tahap berikutnya adalah ancaman. 

Orang mulai menunjukkan tanda-tanda atau sinyal tentang niatnya, seperti membuat postingan di media sosial yang mengungkapkan rasa bosan hidup atau keinginan untuk mengakhiri penderitaan.

Tahap terakhir adalah percobaan, di mana individu telah melakukan upaya bunuh diri. Meskipun sudah melakukan percobaan, tindakan ini masih dapat dicegah jika mendapatkan penanganan yang tepat. 

Orang yang memiliki ide bunuh diri berisiko untuk mengembangkan tahap ancaman dan percobaan, yang dapat berujung pada kematian.

Ragam Penyebab

Riset Emirensian Lues dan kawan-kawan (2022) menerangkan sejumlah faktor penyebab bunuh diri, antara lain dikarenakan motif egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistic. 

Selain itu, muncul faktor pendorong seperti persoalan sosio-ekonomi, psikologi, pendidikan, interaksi dan komunikasi, serta motivasi sosial lainnya. 

Faktor-faktor sosial mencakup kehamilan di luar nikah, pengaruh media sosial, kurangnya peran dan perhatian orang tua dalam memberikan kasih sayang kepada anak, serta perubahan sosial yang berkembang pesat, terutama di bidang teknologi.

Perubahan sosial terjadi dalam sistem sosial yang kompleks dan mencakup perubahan nilai, norma, sikap, serta pola perilaku masyarakat, termasuk perubahan lembaga sosial, khususnya lembaga keluarga. 

Sebagai contoh, tulis riset tersebut, "perubahan dalam sistem ekonomi yang berfokus pada industri telah menyebabkan pergeseran dari sistem keluarga tradisional menuju modern." 

Hal ini terlihat dari peran suami dan istri yang kini lebih setara dalam keluarga dan hubungan antara anak dan orang tua yang tidak lagi bersifat otoriter. 

Di pihak lain, meningkatnya angka perselingkuhan dan pernikahan dini, penurunan kondisi sosial ekonomi, serta berkurangnya interaksi antara anggota keluarga menjadi faktor pendukung.

Akibat dari perubahan sosial ini, "peran keluarga sebagai pengawas, serta fungsi afeksi, agama, pendidikan, dan ekonomi mulai mengalami perubahan." 

Orang tua yang semakin sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sering kali mengabaikan perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anaknya, yang seharusnya menjadi bagian penting dari tugas mereka.

Terpisah, Perawat Spesialis Jiwa, Angelina Roida Eka (2023) dalam sebuah riset menyebut, salah satu alasan terkuat yang mempengaruhi seseorang bunuh diri adalah depresi.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami depresi memiliki kemungkinan 4,1 kali lebih besar untuk terdorong melakukan bunuh diri," tulis Angelina.

Secara ilmiah, depresi didefinisikan sebagai gangguan jiwa yang disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, terutama dopamin. 

"Otak kita terdiri dari neuron, yaitu saraf yang mengendalikan semua fungsi tubuh, seperti detak jantung, pernapasan, rasa lapar, pemikiran, dan regulasi emosi seperti bahagia, sedih, dan marah," lanjut dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Unika St. Paulus Ruteng itu.

Neurotransmitter adalah zat kimia yang membantu neuron dalam menjalankan fungsinya. Ketidakseimbangan neurotransmiter dapat menimbulkan berbagai masalah. 

Salah satu neurotransmitter penting adalah dopamin, yang berfungsi merangsang otak untuk meningkatkan suasana hati. 

Dopamin membantu meningkatkan perasaan bahagia seseorang. Ketika seseorang merasa jatuh cinta, dipuji, atau disayangi, produksi dopamin meningkat, sehingga membuatnya merasa bahagia.

Sebaliknya, pengalaman tidak menyenangkan seperti dihina, dirundung, kehilangan orang dekat, atau dipecat dari pekerjaan dapat menurunkan kadar dopamin. 

"Hal tersebut berpotensi mengurangi perasaan bahagia dan meningkatkan risiko depresi," ujar Angelina. 

Serupa, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam webinar bertajuk “Update Deteksi dan Tatalaksana Risiko Bunuh Diri di Masyarakat” pada Sabtu (03/08/2024) mengafirmasi penyebab umum bunuh diri adalah depresi. 

"Selain itu, skizofrenia atau gangguan jiwa berat juga menjadi faktor penyebab lain," tulis Kemenkes.

Gangguan depresi atau gangguan jiwa sering kali disebabkan oleh ketidakseimbangan biologis di otak, dengan faktor pemicu yang berbeda-beda untuk setiap individu. 

Sinergi Bersama

Isu bunuh diri semakin meningkat di berbagai kalangan. Kondisi ini perlu ditangani dengan baik agar tidak menimbulkan masalah yang lebih serius dalam skala besar. 

Sayangnya, pemahaman tentang hak setiap individu untuk mendapatkan penanganan psikologis belum tumbuh dengan baik di kalangan masyarakat, sehingga perlu upaya peningkatan. 

Upaya untuk mencapai kesehatan jiwa yang optimal harus dilakukan secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat. 

Sementara Angelina Roida Eka (2023), merekomendasikan upaya mencegah depresi dengan cara menjaga tiga pilar penting, yakni perasaan, pikiran, dan perilaku.

Menurutnya, kesehatan mental dapat dijaga dengan membangun pola hidup sehat, seperti menghargai diri, menetapkan batasan, membangun kehidupan spiritualitas, manajemen keuangan yang bijak, serta menjaga kesehatan fisik.

Sering kali, singgung Angelina, kita kurang memperhatikan diri sendiri dan hanya fokus pada orang lain. 

"Misalnya, kita mudah menyalahkan diri dengan mengatakan, 'saya memang bodoh' atau 'saya tidak becus,' untuk suatu kesalahan yang sebenarnya tidak kita lakukan."  

Rasa bersalah terhadap diri sendiri menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap diri atau self-respect. 

Oleh karena itu, saran Angelina, kita perlu membangun self-respect dengan memahami kelemahan dan kelebihan, lebih banyak bersyukur, alih-alih fokus pada kesalahan dan berhenti pada penyesalan. 

Ia juga menyarankan untuk mengelola kesalahan atau pengalaman kegagalan sebagai pelajaran dalam hidup. Selanjutnya, menetapkan batasan menjadi hal penting untuk menjaga kesehatan jiwa. 

"Untuk mengetahui batasan, kita harus mengenal diri sendiri, termasuk hal-hal yang membuat kita terganggu. Terkadang, menolak ajakan orang lain jika itu memang merugikan kita atau tidak bisa kita penuhi adalah hal yang wajar." 

Di samping itu, membangun kehidupan spiritualitas yang baik, atau yang dikenal dengan coping religius, adalah cara lain untuk merawat kesehatan jiwa. 

Namun, hal tersebut tidak hanya terkait dengan rajin berdoa, tetapi juga dengan mengamalkan nilai-nilai religius dalam agama atau kepercayaan yang dianut.

Lebih lanjut,  manajemen keuangan yang baik juga penting untuk kesehatan jiwa. Masalah keuangan bisa membuat seseorang cemas, stres, hingga berujung pada depresi.

Beberapa cara yang bisa dilakukan dalam manajemen keuangan adalah menyediakan dana darurat, menabung, mencatat pengeluaran, dan jika memungkinkan, berinvestasi.

Semua orang perlu menyadari bahwa masalah kesehatan jiwa, teristimewa bunuh diri merupakan fenomena yang dapat saja terjadi dalam kehidupan, tanpa memandang status sosial dan ekonomi.

Jika sinyal-sinyal depresi mulai muncul, orang sebaiknya mencari pertolongan kepada dokter, tenaga spesialis atau orang terdekat guna meminimalisir kejadian serupa di masa depan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS