Remaja Jakarta Memprihatinkan, 34 Persen Alami Gangguan Mental

Sebanyak 34 persen siswa SMA di Jakarta ternyata mengalami gejala gangguan mental. (Foto: iStock/Mangkelin)

PARBOABOA - Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) bersama Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) mengungkap kondisi kesehatan mental remaja di Jakarta yang memprihatinkan.

Dari 741 siswa SMA yang menjadi responden, sebanyak 34 persen mengalami gejala gangguan mental. Dari jumlah tersebut, 30 persen menunjukkan gejala sering marah dan cenderung agresif.

Ketua tim peneliti, Ray Wagiu Basrowi, menjelaskan bahwa hasil ini mencerminkan risiko yang signifikan pada kelompok usia remaja.

Beberapa penyebab utama yang teridentifikasi antara lain konflik dengan teman sebaya (26 persen), gangguan emosional seperti kekhawatiran berlebih (23 persen), dan hiperaktif yang mengganggu konsentrasi (29 persen).

Kondisi ini membuat remaja semakin sulit mengelola emosi mereka, terutama di tengah tuntutan akademik dan tekanan sosial yang semakin tinggi.

Jakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena keragamannya yang dianggap mampu mewakili karakteristik remaja di berbagai daerah.

Studi dilakukan di tiga wilayah berbeda, yakni akarta Selatan, Utara, dan Timur, dengan pendekatan ilmiah yang ketat. Hasilnya memberikan gambaran yang komprehensif tentang kesehatan mental remaja di ibu kota.

Meskipun data menunjukkan tingginya angka remaja yang memiliki masalah kesehatan mental, hanya sedikit dari mereka yang mencari bantuan profesional.

Sebanyak 67 persen responden mengaku enggan mengunjungi ruang bimbingan konseling (BK) di sekolah. Sebaliknya, teman sebaya menjadi pilihan utama untuk mencurahkan perasaan atau mencari solusi. Bahkan, hanya 8 persen yang mau terbuka kepada guru.

Namun, studi ini juga membawa kabar baik. Sebanyak 86 persen remaja yang menjadi responden memiliki kemampuan bersosialisasi yang positif.

Mereka masih bisa menghormati orang tua dan menjalin interaksi yang baik dengan lingkungan sekitar.

Mudah marah merupakan salah satu gejala gangguan mental. (Foto: iStock/Champja)

Masa Remaja dan Tantangan Kesehatan Mental

Masa remaja sering disebut sebagai periode transisi yang penuh dinamika. Di fase ini, seseorang mengalami berbagai perubahan besar, baik secara fisik, emosional, maupun sosial.

Remaja mulai mencari jati diri, membangun hubungan dengan teman sebaya, dan menghadapi berbagai tekanan, baik dari lingkungan keluarga maupun sekolah.

Di tengah proses ini, kesehatan mental memainkan peran krusial dalam membentuk kepribadian dan cara remaja menghadapi dunia.

Tekanan yang dialami remaja tidak hanya berasal dari tuntutan akademik, tetapi juga dari ekspektasi sosial yang sering kali tidak realistis.

Media sosial, misalnya, menjadi salah satu sumber tekanan yang signifikan. Remaja merasa harus selalu tampil sempurna, mendapatkan pengakuan, atau menjadi populer di kalangan teman-temannya.

Kondisi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu perasaan cemas, rendah diri, bahkan depresi.

Bullying dapat menyebabkan korban mengalami gangguan mental. (Foto: iStock/PonyWang)

Selain itu, konflik dengan teman sebaya juga menjadi salah satu penyebab utama gangguan kesehatan mental.

Dalam penelitian HCC dan FKI, sebanyak 26 persen remaja melaporkan bahwa konflik dengan teman sebaya berdampak negatif pada kesejahteraan emosional mereka.

Hal ini sering kali disebabkan oleh kesalahpahaman, persaingan, atau bahkan perundungan (bullying). Masalah ini dapat memperburuk kondisi mental remaja, terutama jika tidak ada dukungan yang memadai dari lingkungan sekitar.

Kesehatan mental pada remaja juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka mengelola emosi. Sayangnya, tidak semua remaja memiliki keterampilan ini.

Kekhawatiran berlebih atau gangguan emosional lainnya, seperti yang dilaporkan oleh 23 persen responden dalam studi, sering kali membuat remaja merasa kewalahan.

Mereka merasa tidak mampu menghadapi tantangan yang ada, sehingga cenderung menarik diri atau bahkan menunjukkan perilaku agresif.

Hiperaktif juga menjadi salah satu masalah yang banyak dialami remaja. Sebanyak 29 persen responden mengaku mengalami kesulitan berkonsentrasi akibat hiperaktif.

Kondisi ini tidak hanya memengaruhi prestasi akademik, tetapi juga interaksi sosial mereka. Remaja dengan masalah ini sering kali merasa frustrasi karena tidak mampu memenuhi ekspektasi lingkungan.

Sayangnya, stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi hambatan besar bagi remaja untuk mendapatkan bantuan. Banyak yang merasa malu atau takut dianggap lemah jika mendatangi ruang bimbingan konseling.

Sebanyak 67 persen remaja dalam studi ini memilih untuk tidak berkonsultasi ke BK, meskipun mereka menyadari ada masalah yang perlu diselesaikan.

Sebaliknya, mereka lebih nyaman berbagi masalah dengan teman sebaya, meskipun solusi yang diberikan sering kali kurang efektif.

Penting untuk diingat bahwa masa remaja adalah periode pembentukan fondasi kehidupan seseorang. Gangguan kesehatan mental yang tidak ditangani dengan baik dapat berdampak jangka panjang, seperti kesulitan membangun hubungan, rendahnya kepercayaan diri, dan risiko gangguan mental yang lebih serius di kemudian hari.

Oleh karena itu, dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga, teman, dan sekolah, menjadi sangat penting.

Orang tua dapat memainkan peran utama dengan menciptakan suasana rumah yang mendukung kesehatan mental anak.

Mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan penguatan positif, dan membuka ruang diskusi adalah langkah sederhana yang dapat memberikan dampak besar.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS