PARBOABOA, Jakarta - Hak rumah ibadat masih menjadi problematika kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sepanjang 2023.
Hal itu dibahas dalam 'Laporan dan Refleksi Akhir Tahun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan 2023' yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB), di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2023).
Perwakilan Advokasi KBB sekaligus Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Ihsan Ali-Fauzi, menyampaikan YLBHI mencatat beberapa kasus penolakan rumah ibadat sepanjang 2023.
Mulai dari Maret yaitu penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kemudian di April yakni penutupan tempat ibadat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Purwakarta, Jawa Barat.
Selanjutnya di bulan Juni 2023 yaitu penutupan sementara Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Diikuti pada Agustus 2023 penolakan pembangunan vihara di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat.
Selain itu, pada September terjadi penolakan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen, Aceh Darussalam.
“Meski jumlah kasus yang dilaporkan tidak banyak untuk ukuran negara sebesar Indonesia, karena negara kita besar sekali, dan ada beberapa kasus yang jumlahnya tidak banyak, tetapikan jumlah kecil itu bukan berarti tidak penting. Kecil berarti tetap masalah masih ada,” ujarnya.
Bahkan kata dia, ada peristiwa lama yang kemudian terulang kembali hingga saat ini. Contoh menonjol adalah nasib beberapa gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh Darussalam.
Kemudian pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal, Kota Bogor, Jawa Barat. Termasuk masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa tempat.
Adapun kasus yang memakan waktu hingga 15 tahun lamanya seperti Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Taman Yasmin, Bogor. Sebelum akhirnya gereja tersebut diresmikan pada April 2023.
Menjadi pelajaran dari kasus tersebut bahwa penting untuk tidak tunduk pada satu pihak, yaitu penolak gereja.
Bahkan kata Ihsan, ketika gereja tersebut telah diresmikan, justru masih ada beberapa masalah yang tersisa.
Sebagian jemaat yang menolak perpindahan tempat berpendapat hasil mediasi melangkahi keputusan inkrah MA. Alhasil proses transformasi konflik masih perlu berlanjut demi memulihkan hubungan yang terpecah.
Tidak Ada Urun Rembuk
Masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam hal hak rumah ibadat direspons Presiden Joko Widodo dengan mempertimbangkan pernaikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006.
Di antaranya, mengatur kedudukan dan fungsi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai lembaga yang mengelola pendirian rumah ibadat.
Adapun juga kebijakan lain melalui Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Raperpres KUB). Ihsan menekankan bahwa pihaknya melihat tidak ada keterangan terbuka untuk publik mengapa Raperpres ini disiapkan.
“Apa dasarnya, dan ke mana arah perbaikan yang hendak ditujunya. Urun rembuk mengenainya juga tidak berlangsung secara menyeluruh, terbuka, dan hanya melibatkan kelompok-kelompok tertentu saja,” papar Ihsan.
Dengan raperpers itu semangat reformasi dalam PBM 2006 berpotensi terkikis. Buruknya jika tidak hilang sama sekali maka peran pemerintah daerah menjadi tidak penting, apalagi dengan pembentukan FKUB nasional.
Ihsan menekankan, raperpres tersebut mengandung semangat sentralisasi seperti pada masa Orde Baru. Misalnya saja seperti desentralisasi, urusan agama kerap menjadi urusan pusat. Urusan kerukunan juga bukan hanya masalah agama, melainkan juga masalah sosial-dan politik.
Padahal selain oleh Kementerian Agama, PBM 2006 juga turut dibentuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ihsan juga menilai dari raperpres itu terkesan kuat pemerintah pusat turut campur ke dalam urusan-urusan daerah, misalnya dengan pembentukan FKUB nasional.
Lebih rinci, di pasal 8 hingga 10 menjelaskan fungsi FKUB nasional yang antara lain melakukan mitigasi dan memberikan dukungan terhadap resolusi konflik keagamaan yang berskala nasional. Sayangnya hal itu tidak dijelaskan bagaimana mekanisme kerjanya agar masalah di daerah dapat diselesaikan.
Ihsan khawatir, FKUB nasional menjadi kontraproduktif karena memperpanjang jalur penyelesaian konflik. Sebab dalam hal ini yang lebih mengerti mengenai akar-akar konflik di daerah yaitu aktor-aktor di daerah. Selain itu menjadi 'keranjang sampah' para elit di pemerintahan daerah karena melempar masalah yang tidak mampu diselesaikannya.
Selain itu ada fungsi yang terhapus dalam ranperpres atau yang termaktub dalam PBM 2006, yaitu memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah. Padahal hal itu penting.
Pihaknya menduga, adanya fungsi tersebut mungkin membuat repot anggota FKUB kota/kabupaten. Hal itu karena mereka harus memverifikasi berbagai persyaratan. Selain itu membuat anggota FKUB kota/kabupaten 'bisa dibeli' dan terpecah.
Efeknya, membuat FKUB kota/kabupaten juga akhirnya lupa pada tugas pokoknya memperkuat kerukunan.
“Kelemahan itu tidak bisa diatasi dengan membentuk FKUB pusat. Melainkan harus diperkuat dengan aturan yang tegas mengenai ekanisme yang dengan jelas mewajibkan Pemda memperkuat FKUB kota/kabupaten dan meminta pertanggungjawabannya,” tegas Ihsan.
Editor: Aprilia Rahapit