PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi mulai Pada tanggal 1 September 2023.
BBM non-subsidi yang dimaksdu di antaranya Pertamax, Pertamax Green 95, Pertamax Turbo, serta bahan bakar diesel seperti Pertamina Dex dan Dexlite.
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, menegaskan harga produk Pertamina setelah kenaikan masih kompetitif dibandingkan dengan pesaing lainnya.
Harga tersebut juga telah mematuhi batas atas yang ditetapkan untuk setiap jenis BBM pada bulan September 2023.
Namun, pertanyaan muncul mengenai dampak dari kenaikan harga BBM non-subsidi ini terhadap masyarakat yang masih berjuang untuk pulih pascapandemi Covid-19.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyatakan kebijakan kenaikan harga BBM non-subsidi ini akan berdampak luas dan bisa mengganggu perekonomian nasional.
Dalam penjelasannya, Achmad mengidentifikasi efek jangka pendek dan jangka panjang dari kenaikan harga BBM non-subsidi.
Dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM non-subsidi akan mempengaruhi biaya hidup masyarakat secara keseluruhan.
Sektor-sektor seperti transportasi, logistik, dan harga pangan akan terpengaruh. Kenaikan biaya transportasi akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa lainnya.
Ini sering disebut sebagai efek domino yang tidak dapat dihindari jika harga BBM naik.
Namun, menurut Achmad, dampak jangka panjang dari kenaikan harga BBM jauh lebih mengkhawatirkan.
Kenaikan harga BBM dapat mengurangi minat konsumen untuk berbelanja, karena harga barang naik yang dipicu biaya transportasi yang meningkat.
Hal ini akan menyebabkan penurunan daya beli yang sudah lemah. Industri dalam negeri akan kesulitan meningkatkan produksi dan penjualan mereka.
Akibatnya, akan terjadi peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan menambah angka pengangguran.
Meskipun Pertamina memiliki alasan bisnis untuk menyesuaikan harga BBM dengan fluktuasi pasar global dan harga minyak dunia, pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga memiliki tanggung jawab untuk memprioritaskan kesejahteraan masyarakat.
Achmad mengusulkan bahwa pemerintah seharusnya mencari solusi lain, seperti memberikan subsidi atau insentif kepada Pertamina, untuk menjaga stabilitas harga BBM.
Menurut laporan OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi hanya mencapai 4,7 persen untuk tahun ini, yang dianggap lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih berfokus pada pemulihan ekonomi daripada menambah beban dengan kenaikan harga BBM.
Achmad menilai kebijakan ini menunjukkan kurangnya prioritas pemerintah terhadap rakyat kecil. Menurutnya, kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan dampak sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai negara demokrasi, kebijakan publik harus mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dia mendesak pemerintah dan Pertamina untuk merevisi kebijakan ini agar rakyat kecil tidak menderita di tengah ketidakpastian ekonomi.
Pemerintah juga didesak meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan agar masyarakat dapat memahami alasan di balik kebijakan tersebut dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Editor: Umaya khusniah