Bantahan Jampidsus Kejagung Soal Unsur Politisasi dalam Kasus Tom Lembong

Tom Lembong (kiri) saat menjadi narasumber dalam podcast bersama Novel Baswedan (kanan) (Foto: Instagram/@novelbaswedanofficial)

PARBOABOA, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, sebagai tersangka dalam kasus impor gula kristal mentah. 

Mantan co-captain tim pemenangan Anies Baswedan-Cak Imin itu, diduga memberikan izin impor gula sebanyak 105 ribu ton yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp400 miliar.

“Saudara TTL (Thomas Trikasih Lembong) diduga memberi izin impor gula kristal mentah kepada PT AP yang kemudian mengolahnya menjadi gula kristal putih,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar pada Selasa (29/10/2024).

Abdul menegaskan, penetapan tersangka terhadap Tom Lembong dilakukan murni berdasarkan bukti yang ditemukan oleh penyidik tanpa ada unsur politisasi. 

Menurutnya, saat bukti-bukti telah terpenuhi, siapapun yang terlibat akan dijadikan tersangka sesuai prosedur normatif penyidikan.

"Siapapun yang menjadi pelakunya, jika bukti sudah memadai, penyidik akan menetapkan status tersangka," tegasnya.

Selain Tom Lembong, tersangka lainnya adalah CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Penyidikan kasus tersebut, lanjut Abdul, sudah berjalan sejak Oktober 2023, dengan melibatkan pemeriksaan sekitar 90 saksi. 

Serupa, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengungkapkan pemeriksaan terhadap Tom Lembong, telah berlangsung sejak 2023 dalam kapasitasnya sebagai saksi. 

Meski begitu, status tersangka baru disematkan kepada Tom pada panggilan ketiganya, yang berlangsung pada Selasa (29/10/2024) lalu.

Proses penetapan tersangka yang memakan waktu panjang ini memicu pertanyaan dari berbagai pihak, termasuk pakar hukum pidana Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting. 

Ia menyoroti bahwa untuk menetapkan keterlibatan seseorang dalam sebuah kasus, penting melihat apakah ada keuntungan pribadi yang diperoleh dari keputusan tersebut.

“Pada kasus [pengambilan] kebijakan, penting untuk memperhatikan apakah ada keuntungan yang diperoleh oleh pejabat terkait, sehingga dugaan pelanggaran dapat dibuktikan,” ujar Ginting.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin juga menekankan bahwa penegakan hukum harus bebas dari unsur politis agar dapat mendukung keadilan dan stabilitas ekonomi.

"Ketika penegakan hukum dijalankan dengan adil, tanpa pandang bulu, dan mampu membangun kepercayaan publik, stabilitas ekonomi akan tercapai," ujar Ujang pada Rabu (30/10/2024).

Sebaliknya, lanjut Dosen Universitas Al Azhar Indonesia itu, jika hukum dipolitisasi, situasinya bisa menjadi berbahaya" .

Ujang juga menambahkan bahwa proses hukum harus menindak siapapun yang terbukti bersalah, tanpa memandang latar belakang atau posisi politik. 

Ia mengingatkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih rentan dipolitisasi, sehingga menjadikan penegakan hukum sebagai alat untuk menyasar pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan politik.

“Sayangnya, hukum kita masih rentan dipolitisasi, di mana digunakan untuk menekan mereka yang dipandang sebagai oposisi,” tambah Ujang.

Kronologi Kasus

Abdul menjelaskan, dugaan keterlibatan Tom Lembong bermula pada 2015, ketika dalam rapat koordinasi antarkementerian disimpulkan bahwa Indonesia memiliki surplus gula dan tidak memerlukan impor. 

Meski demikian, Tom selaku Mendag saat itu tetap mengeluarkan izin impor gula kristal mentah bagi PT AP. 

Padahal, berdasarkan peraturan Mendag dan Menteri Perindustrian (Menperin) Nomor 257 Tahun 2004, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diizinkan melakukan impor gula kristal putih.

"Impor gula kristal ini dilakukan tanpa melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna memastikan kebutuhan gula dalam negeri secara nyata," jelas Abdul.

Selanjutnya, pada 28 Desember 2015, sebuah rapat koordinasi ekonomi kembali digelar, yang mencatat adanya kekurangan gula kristal putih sebanyak 200 ribu ton untuk kebutuhan tahun 2016.

Kebutuhan ini disebut-sebut memiliki kegunaan untuk menjaga stabilitas harga dan pemenuhan stok gula nasional.

Dijelaskan pula bahwa pada periode November hingga Desember 2015, tersangka CS yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, memerintahkan senior manager PT PPI untuk mengadakan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula. 

Padahal, hanya BUMN yang seharusnya diberi izin impor gula kristal putih untuk stabilisasi stok dan harga, bukan perusahaan swasta yang mengolah gula kristal mentah menjadi gula putih.

“PT PPI tampak seperti membeli gula tersebut, namun faktanya gula dijual oleh delapan perusahaan swasta langsung ke pasar melalui distributor afiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram," ungkap Abdul.

Angka tersebut, jelasnya, "jauh lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) senilai Rp13.000 per kilogram, tanpa operasi pasar."

Saat ini, Tom Lembong dan CS ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejagung selama 20 hari untuk proses penyidikan lebih lanjut.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS