Balada di Kaki Gunung Meratus: Invasi Tambang Meruak, Ritus Aruh Terdesak

Potret Pegunungan Meratus yang telah dimasuki perusahaan-perusahaan tambang (Foto: PARBOABOA/Anna)

PARBOABOA, Jakarta - Sudah dua puluh lima tahun lamanya, invasi tambang dari sejumlah korporat besar memasuki wilayah Dayak Pitap, Pegunungan Meratus.

Di antara sekian banyak mega proyek tambang tersebut, PT. Malindo Jaya Dirjaya (MJD) merupakan salah satu yang terbesar.

Liputan khusus PARBOABOA, menyebut nama PT. MJD sebagai perusahaan sawit dengan konsesi sekitar 10.000 hektar, di mana setengahnya berada di wilayah Dayak Pitap.

MJD sendiri telah beroperasi di wilayah Dayak Pitap sejak 1999. Kehadiran mereka disinyalir sebagai penyebab rusaknya hutan warga.

"Dalam waktu singkat, lahan seluas empat hektar telah diubah menjadi area pembibitan dengan lebih dari 13.000 bibit sawit yang siap ditanam," tulis PARBOABOA, Senin (05/07/2024).

Selain MJD, ada tiga perusahaan lain yang telah memiliki izin operasional, yakni PT Sinar Kemilau Abadi, PT Saribumi Sinar Karya, dan  CV Razza Nugraha Agro.

Ketiga perusahaan tersebut telah memperoleh izin tambang dengan masa berlaku hingga 2029, bahkan ada yang sampai 2034.

Tak pelak, keberadaan ketiganya menyebabkan pengaruh negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup masyarakat dan akses mereka pada ritus budaya.

Kepala Desa Kambiyain, Kecamatan Tebing Tinggi, Anang Suriani, mengafirmasi keberadaan perusahaan tambang dan perkebunan sawit dapat membawa penderitaan bagi masyarakat adat jika dilakukan dalam jangka waktu yang lama.

Ia menyebut, "selama ini, kehidupan masyarakat berjalan dengan lancar tanpa adanya aktivitas tambang atau perkebunan."

Salah satu pengaruh besar pertambangan, kisah Anang, adalah terganggunya pelaksanaan ritus Aruh yang telah dijalankan masyarakat Dayak Pitap selama berabad-abad.

Tradisi ini diakui sebagai jalan untuk membangun hubungan spiritual antara masyarakat dengan para leluhur, Sang Khalik, dan alam sekitar.

Lalu, apa sebenarnya motif dibalik pelaksanaan ritus Aruh? Apa maknanya dalam kehidupan masyarakat Dayak Pitap? Bagaimana perkembangannya kini? 

Sekilas tentang Ritus Aruh

Ritus Aruh atau Aruh Baharin adalah sebuah perayaan besar atau pesta panen yang diadakan oleh masyarakat Dayak Meratus Halong, termasuk suku Dayak Pitap. 

Secara terminologis, Aruh Baharin merupakan bentuk syukuran keluarga atas hasil panen padi yang melimpah di ladang mereka. 

Menurut riset Eter Nabiring (2013) dan Hartatik (2017), bentuk upacara tersebut dapat dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur atas panen pertama di ladang baru.

Aruh Baharin juga dimaknai sebagai syukuran yang ditujukan untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang mereka peroleh. 

Masyarakat Dayak Pitap umumnya memahami Aruh atau Aruh Baharin sebagai pesta panen atau wujud syukur kepada dewa bumi, dewa kayu, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Nabiring dalam riet serupa menyebut ritus Aruh memiliki beberapa tujuan penting, termasuk syukuran atas hajat atau permohonan yang terkabul, mengatasi kesulitan, menghadapi gejala alam, serta syukuran atas panen padi yang melimpah. 

Biasanya, ritus syukur ini dibuat dalam dua versi, yakni pertama ketika seseorang mengalami kesulitan dan memohon bantuan kepada leluhur atau Yang Maha Kuasa. 

Sedangkan kedua, sebagai bentuk syukur atas kesuksesan usaha, di mana ritus Aruh menjadi pesan bahwa rezeki harus dinikmati bersama banyak orang.

Ritual Aruh biasanya digelar setiap tiga hingga sepuluh tahun sekali dan berlangsung antara September dan Oktober. Sedangkan, waktu pelaksanaannya dibuat selama tujuh hari dari siang hingga malam. 

Puncak prosesi terjadi pada malam ketiga hingga keenam, di mana para balian menari batandik mengelilingi tempat pemujaan, diiringi alat musik tradisional. 

Hari pertama dan kedua diisi dengan acara nyiwuwunrung untuk menghias balai, sementara hari ketujuh diisi dengan tarian monyet dan memasak makanan untuk dimakan bersama di malam terakhir. 

Perlengkapan utama upacara ini mencakup kerbau, kambing, ayam, dan beras yang diolah menjadi berbagai jenis sesajen, serta beberapa binatang hutan seperti kancil dan tupai.  

Bagaimana Nasibnya Hari Ini?

Proyek tambang yang beroperasi di wilayah Dayak Pitap tak dapat dipungkiri memiliki bias negatif terhadap kelangsungan ritus Aruh.

Pembabatan hutan yang serampangan telah mengakibatkan hancurnya alam. Risikonya, masyarakat sulit memperoleh bahan makanan untuk menunjang kebutuhan hidup mereka.

Lebih lanjut, ketika alam mengalami kerusakan, lingkungan tentu akan terganggu dan hutan tidak lagi produktif. 

Anang Suriani mempertanyakan, jika hal ini terjadi, bagaimana mereka dapat bercocok tanam dengan baik? Bagaimana masyarakat Dayak Pitap bisa menghasilkan padi? 

Padi bagi masyarakat Dayak Pitap lebih dari sekedar urusan memberi makan perut. Mereka menghargai padi sebagai rezeki yang diberikan leluhur dan harus disyukuri jika panen.

"Melalui padi tersebut, kami dapat mempersembahkan kurban kepada leluhur dan Sang Pencipta sebagai bentuk ucapan terima kasih," jelas Anang kepada PARBOABOA.

Seorang warga lain bernama Eka mengisahkan hal serupa. Pria lulusan Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar itu menyinggung pentingnya hutan bagi masyarakat Dayak Pitap.

"Sebagian besar masyarakat Dayak bergantung pada bertani. Jika hutan dan tanah kami ditambang, kami tidak akan bisa bertani dan berkebun dengan bebas lagi," jelasnya.

Risiko lain, ritus Aruh sebagai bagian dari warisan budaya akan terancam. Jika demikian, bagaimana masyarakat harus membangun hubungan dengan leluhur? Kemanakah mereka harus mengadu?

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS