PARBOABOA, Jakarta - Bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Herybertus Geradus Laju Nabit resmi memecat 249 tenaga kesehatan (nakes) berstatus honorer.
Kabar ini mencuat pasca demonstrasi yang dilakukan para nakes di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Rabu (06/03/2024).
Sebelumnya, demonstrasi serupa terjadi di halaman kantor Bupati Manggarai, Senin (12/02/2024). Di sana, mereka hanya bertemu sekretaris daerah (Sekda) yang meminta untuk bersabar sambil menunggu penuntasan dokumen pelaksanaan anggaran (DPA).
Kedua demonstrasi itu bertolak dari tuntutan agar bupati mempertimbangkan kenaikan gaji yang setara dengan upah minimum kabupaten (UMK).
Pasalnya, selama bekerja, para nakes hanya memperoleh upah sebesar Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu setiap bulan.
Upah ini tidak setara dengan beban kerja yang mereka jalankan di puskesmas-puskesmas daerah. Beban ekonomi dalam rumah tangga menambah persoalan baru.
Tuntutan lain berisi permintaan perpanjangan surat perintah kerja (SPK), pengangkatan nakes menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), dan penambahan kuota seleksi P3K 2024.
Faktanya, para nakes yang melakukan demonstrasi telah mengajukan permohonan SPK sejak tiga bulan yang lalu. Namun, surat itu tak kunjung ditandatangani bupati dengan berbagai alasan.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, Jumat (12/04/2024) mengkonfirmasi, perpanjangan SPK merupakan kewenangan pemerintah daerah. Wewenang ini dilaksanakan berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan anggaran pemerintah setempat.
Namun demikian, tuntutan-tuntutan tersebut tidak diterima Nabit. Ia bahkan membela diri dengan menyebut para nakes tidak loyal. Demonstrasi yang dilakukan di kantor DPRD dinilai sebagai bentuk ketidakdisiplinan terhadap prosedur kerja pemerintah.
Nabit terjebak amarah, lantas mengajukan ketidakpercayaan kepada para nakes. Konsekuensinya, ia mengambil jalan pintas dengan melakukan pemecatan massal kepada 249 nakes. Publik geger, tetapi keputusan tetap berada di tangan Nabit.
Arogansi Bupati Nabit
Ketua Komisi A DPRD Manggarai, Thomas Edison Rihimone menyayangkan sikap bupati Nabit. Menurutnya, bupati selaku kepala daerah seharusnya terbuka hati untuk menerima aspirasi masyarakat.
“Saya pikir, pemecatan itu merupakan langkah arogan yang dipertontonkan bupati. Seharusnya, ia bisa membuka hati untuk mendengarkan aspirasi dari para nakes,” ungkap Edi kepada PARBOABOA, Sabtu (13/04/2024).
Sebagai pimpinan yang membidangi urusan pemerintah dan hukum, Edi menceritakan, persoalan yang dialami 249 nakes itu turut ditangani olehnya bersama anggota DPRD Komisi A.
“Kita terbuka untuk terima semua aspirasi mereka. Kita juga fasilitasi mereka untuk mempertimbangkan tuntutan-tuntutan itu. Tapi sayang, ada semacam narasi bahwa siapa yang kemudian muncul di kantor DPRD (red: demonstran/nakes) harus diberhentikan,” ungkap Edi.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Tomo itu menyebut, narasi yang dimaksud justru bersifat contra of parliament. Sebab, DPRD sendiri menjalankan tugas sesuai amanat konstitusi. Mereka harus mendengarkan suara rakyat yang meminta bantuan.
Lebih lanjut, ia menyinggung, bupati sebagai kepala daerah juga seharusnya mendengarkan keluhan nakes dan memperhatikan nasib hidup mereka. Komunikasi diperlukan agar mampu memecahkan persoalan yang terjadi.
“Komunikasi itu penting, entah dengan nakes atau kita selaku legislatif. Kalau komunikasi dijalankan dengan baik, maka persoalan semacam ini tidak terjadi.”
Secara prosedural, demikian singgung Edi, keputusan Nabit tentu melanggar ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Instrumen hukum ini menghendaki pentingnya mekanisme yang jelas dalam membuat keputusan terkait ketenagakerjaan.
“Pemecatan tersebut tidak sesuai dengan mekanisme hukum dalam UU No. 12 Tahun 2003. Seharusnya, sebelum pemecatan perlu ada teguran terlebih dahulu. Kalau teguran diabaikan, langkah selanjutnya adalah membuat surat peringatan (SP). Tidak boleh asal pecat.”
Sependapat dengan Edi, Presiden Asosiasi Pekerja Kesehatan seluruh Indonesia (APKSI) Sepri Latifan, Jumat (12/04/2024) menyebut Nabit ‘agak blunder’ ketika mengeluarkan keputusan memecat ratusan nakes.
Keputusan yang disinyalir timbul dari emosionalitas dan arogansi sikap itu amat disayangkan. Bupati Nabit seharusnya berdiri sebagai corong untuk mencari jalan keluar terkait keluhan-keluhan masyarakat.
Fenomena Gunung Es
Pemecatan terhadap 249 nakes di Manggarai disebut-sebut sebagai fenomena gunung es kepemimpinan bupati Nabit. Pasalnya, selama memimpin wilayah itu, ia seringkali terlibat persoalan. Sudah begitu, Nabit selalu menghindar dari demonstrasi massa.
“Sepanjang saya jadi DPRD di Manggarai, bupati Nabit tidak pernah bertemu demonstran, kecuali kasus geothermal kemarin,” ungkap Edi.
Sebagai informasi, bupati Nabit sebelumnya terlibat dalam mengizinkan pembangunan proyek panas bumi (geothermal) di wilayah Poco Leok, Manggarai. Surat izin itu mendapat protes keras dari Aliansi Masyarakat Adat dan pemerhati lingkungan hidup.
Hasilnya, kurang lebih 500 orang demonstran turun ke jalan dan melakukan protes di kantor bupati dan DPRD, Sabtu (19/08/2023). Mereka mendesak bupati untuk mencabut izin pembangunan geothermal di tengah wilayah adat.
Salah seorang demonstran bernama Maria menyatakan, penetapan Poco Leok sebagai lokasi pembangunan proyek geothermal, alih-alih bersembunyi di balik dalil pembangunan strategis nasional (PSN), ternyata bermaksud membunuh survivalitas masyarakat adat.
Kasus itu masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat sekaligus memberi prototipe baru terkait keterlibatan bupati Nabit.
Kini, keputusan untuk memberhentikan 249 nakes memperkuat tuduhan negatif terhadap kinerja Nabit. Ia tampak tak memiliki jawaban atas keluhan yang disampaikan ratusan nakes.
Kasus ini, demikian ungkap Edi, akan menjadi fenomena gunung es yang kelak melahirkan protes luas di kalangan masyarakat.
Reputasi Nabit sebagai pimpinan wilayah dipertaruhkan. Kerendahan hatinya dituntut untuk memecah kebuntuan para nakes yang mengharapkan pekerjaan.
Kerendahan Hati sebagai Jalan Keluar
Koordinator Forum Nakes non-ASN Manggarai Elias Ndala menyebutkan, ratusan nakes yang mendapat pemecatan sedang berupaya membangun dialog dengan bupati Nabit.
“Pihak kami sedang berupaya untuk bertemu secara langsung dengan bupati. Kalau memungkinkan, maka rencana pertemuan akan terjadi setelah liburan Idul Fitri,” tulis Elias kepada PARBOABOA, Sabtu (13/04/2024).
Ia bersama para nakes yang dipecat hendak mengakui kesalahan mereka dan menyampaikan permohonan maaf kepada bupati Nabit. Kedewasaan sikap ini menuai keprihatinan publik.
Wakil Presiden APKSI, Saharuddin turut menyampaikan rasa empati. Ia berharap, persoalan itu seharusnya bisa diselesaikan dengan dewasa. Mediasi diperlukan agar tercipta solusi untuk menyelesaikan persoalan terkait.
Sementara itu, Edi sebagai perwakilan Komisi A DPRD mengharapkan agar bupati kembali membangun komunikasi yang baik dengan para nakes.
“Saya harap, permintaan maaf para nakes diterima bupati. Selanjutnya, mereka bisa kembali dipekerjakan seperti semula.”
Masyarakat Manggarai tentu sedang menunggu keputusan akhir bupati Nabit. Apapun hasilnya, citra politik Nabit dipertaruhkan kelak.
Jika ia akhirnya menerima permintaan maaf para nakes, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai politisi yang dewasa dan tidak mudah terpaut sentimen.
Sebaliknya, jika ia tetap bersikukuh pada pendirian, maka masyarakat akan mengenangnya sebagai pejabat yang pernah mematikan harapan hidup sekelompok masyarakat di Manggarai.
Editor: Defri Ngo