PARBOABOA, Pematangsiantar – Seorang personel kepolisian, Ipda PJ melaporkan kembali anaknya MFA (16) ke Polda Sumut. Sebelumnya, MFA lebih dulu melaporkan ayahnya itu dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun, MFA malah ditetapkan sebagai tesangka.
"Hal ini tentunya sangat ironis bagi kami di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Sumut. Bayangkan, anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan ayah kandungnya sendiri malah menjadi tersangka atas laporan balik ayahnya yang notabene merupakan oknum anggota Polri berpangkat Ipda di Polres Pematangsiantar," kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Sumut, Komalasari, Minggu (17/10).
Diketahui, laporan MFA kepada ayahnya itu bernomor LP/2332/XII/2020/SUMUT/SPKT tertanggal 3 Desember 2020. Sementara itu, laporan dari Ipda PJ kepada MFA bernomor LP/27/I/2021/SU/STR tanggal 14 Januari 2021 tentang kekerasan fisik dalam keluarga.
Komalasari menilai, awalnya mereka melapor ke Polres Pematangsiantar namun tidak ditindaklanjuti. Kemudian mereka membuat laporan ke Polda Sumut.
"Laporan itu tidak diproses di Polres Pematangsiantar. Pelapor dan korban yang datang ke sana malah diarahkan bertemu Wakapolres dan Kasi Propam yang menurut kita justru mengintimidasi korban dan orang tuanya agar tidak melaporkan kasus itu. Karena itu orang tua korban mengadu ke LPAI dan mendapat pendampingan membuat laporan kasus itu ke Polda Sumut pada 3 desember 2020 sehari setelah peristiwa kekerasan itu terjadi," ucap Komalasari.
Komalasari menyebut MFA kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 8 Oktober 2021. Dia menyebut, penetapan ini tidak tepat.
"Dari proses panjang laporan kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT yang dialami korban MFA ini, kemudian muncul laporan balik dari pelaku yang kita simpulkan sebagai rekayasa dengan tujuan untuk menghentikan laporan Y dan MFA terhadap pelaku. Terlebih luka yang dialami pelaku dalam laporannya pada tanggal 14 januari 2021 itu soal peristiwa yang terjadi pada 2 desember 2020, kan aneh kalau laporan itu diterima," tutur Komalasari.
Sementara itu, ibu korban, Yusmawati, menceritakan kisah anaknya diduga menjadi korban KDRT. Yusmawati mengatakan anaknya menjadi korban karena pembelian air galon.
"Karena dia (pelaku) nanya, anak laki-laki saya (korban MFA) ini ngasih tahu ke pelaku kalau galon airnya cuma dibeli satu sama adiknya. 'Ayah, galon ayah cuma satu yang dibeli, sisa uangnya Rp 5000 ada sama adik Akli' kata anak saya ini. Tapi dia emosi langsung ngambil sapu mukulin anak saya, bukan cuma mukul tapi sapu itu ditindihkan ke leher anak saya sampai jatuh," ungkap Yusmawati.
Yusmawati menambahkan bahwa perlakukan kasar yang dilakukan pelaku sudah bertahun-tahun mereka alami. Selain dialami korban MFA, kekerasan juga dialami anak perempuannya sejak 2015 hingga akhirnya menikah dan tinggal terpisah.
"Ini yang kemudian menjadi pertimbangan untuk melanjutkan kasus tersebut agar pelaku berubah," jelas Yusmawati.