PARBOABOA, Jakarta – Pemilihan Umum 2024 digadang-gadangkan tidak akan sama seperti pemilu sebelumnya yakni 2014 dan 2019. Sejumlah pengamat menyebut kondisi ini disebabkan karena politik identitas tak lagi mendominasi acara pesta demokrasi yang dilakukan selama lima tahun sekali itu.
Dalam pemilu 2019 lalu, politik identitas kerap dijadikan senjata bagi kelompok atau organisasi tertentu untuk menjatuhkan lawannya.
Apa alasan politik identitas dalam gelaran pemilu 2024 mendatang diprediksi tak lagi sehebat dulu?
Salah satu alasan utamanya ialah peran dari para capres dan cawapres dalam pemilu nanti.
Direktur Utama Paramadina Public Policy Institute, Ahmad khoirul Umam mengatakan, persaingan politik tidak lagi sepanas pemilu 2019 jika berpatokan pada tiga calon presiden yang dirilis lembaga survei SMRC baru-baru ini untuk Pemilu 2024.
Dalam perilisan tersebut, SMRC memuat tiga calon presiden yakni, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.
"Kalau merujuk tiga itu, maka potensinya narasi tentang politik identitas akan menurun," kata Umam dalam diskusi daring bertajuk 'Peran dan Tantangan Politik Islam Menuju Pemilu 2024', Selasa (19/4).
Menurut Umam, melemahnya politik identitas pada Pemilu 2024 disebabkan oleh kubu Prabowo yang di Pemilu sebelumnya terlalu memanfaatkan kelompok Islam kanan, namun justru menunjukkan citra yang sebaliknya.
"Kalau misal terjadi koreksi, tidak yakin Prabowo akan menggunakan politik identitas lagi. Karena dia sudah dianggap inkonsisten dengan klaim dan langkah politiknya," katanya.
Sementara itu, Umam berpendapat kubu Anies juga memiliki kemungkinan kecil untuk memanfaatkan kelompok Islam pada Pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, Anies tidak akan bisa menggunakan sayap kanan untuk mendapatkan suara pada Pilpres 2024.
Akan tetapi, menurut Umam, kemampuan sejumlah pihak untuk kembali memanfaatkan sayap kanan pada Pilpres tetap ada. Hal ini dikarenakan politik identitas merupakan isu paling murah dan efektif yang dapat digunakan dalam momentum elektoral.
"Karena ini adalah murah meriah, efektif memobilisasi kekuatan massa, terpenting dari segmen Islam, di bawah Jokowi relatif minim ruang dialog dengan kelompok muslim ini," katanya.
"Nah, kekecewaan, kemarahan kelompok ini, kalau sudah tidak di-maintenance maka ini terkonsolidasi dengan baik untuk memberikan dukungan pada siapapun," tambah Umam.