PARBOABOA, Jakarta - Konflik agraria di Indonesia terus menjadi persoalan serius yang tak kunjung usai.
Proyek Strategis Nasional atau PSN yang digadang-gadang sebagai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi menambah persoalan baru.
Target ambisius pemerintah melalui pembangunan infrastruktur dan proyek besar lainnya ini, bahkan kerap menjadi pemicu konflik lahan.
Di berbagai wilayah, masyarakat sipil yang mempertahankan hak atas tanahnya sering kali berhadapan dengan ancaman kriminalisasi.
Di sisi lain, kritik terhadap pelaksanaan proyek-proyek tersebut, terutama yang berdampak pada penggusuran atau perampasan lahan, kerap dijawab dengan tindakan hukum, menyasar mereka yang bersuara lantang.
Belum lama ini misalnya, aktivis sekaligus Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu dilaporkan ke ke Polresta Tangerang buntut kritikannya terhadap pembangunan PSN Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Hal itu bermula ketika ia menyoroti rendahnya nilai ganti rugi atas tanah rakyat yang masuk dalam kawasan itu.
Menurut dia, nilai ganti rugi yang diberikan kepada warga atas tanah yang masuk kawasan PSN ini dinilai jauh dari layak, hanya berkisar Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per meter. Padahal, pada pembebasan lahan di kawasan PIK pada 2007, nilai ganti rugi mencapai Rp 250.000 per meter.
Ketimpangan ini, lanjutnya, perlu mendapat perhatian karena nilai jual objek pajak (NJOP) di kawasan tersebut juga mengalami penurunan drastis, dari Rp 150.000 menjadi Rp 48.000 per meter.
Itulah sebabnya, ia menduga warga selama ini dipaksa menerima harga yang jauh di bawah standar untuk melepas tanah mereka demi kepentingan PSN.
"Saya sudah menemukan bagaimana transaksi penekanan terhadap rakyat untuk menjual tanahnya setelah PSN itu (harga penggantinya) menjadi Rp 50.000 per meter," kata Said Didu yang mengaku sudah turun ke lokasi sejak bulan Mei 2024.
Tak hanya itu, perluasan wilayah PSN PIK 2 juga memunculkan pertanyaan besar, karena kawasan yang semula mencakup 1.700 hektar kini terus bertambah menjadi sekitar 35.000 hektar.
Said Didu menegaskan, cakupan wilayah yang sebelumnya hanya dua kecamatan, sekarang menjadi sembilan kecamatan.
Bahkan, ada perkiraan cakupan tersebut bisa mencapai 100.000 hektar, lebih luas dari Singapura, jika rencana perluasan hingga ke daerah Merak terealisasi.
Pernyataan-pernyataan inilah yang membuat Said Didu dilaporkan ke polisi, selain juga, karena ia menduga ada penggusuran secara paksa terhadap rakyat oleh oknum aparat mulai dari tingkat desa dan dibantu oleh pihak Apdesi.
Ketua APDESI Kabupaten Tangerang, Maskota, menyampaikan bahwa Said Didu dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tuduhan tersebut berkaitan dengan penyebaran berita bohong yang dianggap mencemarkan nama baik.
Laporan ini, kata dia, mengacu pada dua hal utama, yaitu dugaan bahwa kepala desa memaksa warga untuk menjual tanah mereka kepada pengembang, dan tuduhan penggusuran warga secara tidak manusiawi.
Maskota mengklaim, laporan tersebut murni diinisiasi oleh para kepala desa, APDESI Kabupaten Tangerang, dan masyarakat, tanpa keterlibatan pihak pengembang PIK 2.
Di sisi lain, pihak pengembang PIK 2 melalui Sekretaris Perusahaannya, Christy Grasella, menyatakan tidak dapat memberikan komentar terkait kasus ini, dengan alasan tidak mengenal pelapor secara langsung.
Absennya Partai Politik
Aksi Said Didu dalam memperjuangkan hak warga Tangerang yang terdampak PSN PIK-2 terus mendapatkan dukungan luas dari publik.
Sebagai salah satu figur yang vokal, ia dianggap mewakili suara masyarakat kecil yang kerap diabaikan dalam proses pembangunan berskala besar.
Akademisi sekaligus Pengamat Politik, Rocky Gerung menerangkan, perjuangan Said Didu sebagai cerminan dari tumbuhnya kesadaran di kalangan masyarakat kelas bawah yang memerlukan sosok berani untuk memperjuangkan hak mereka.
Meski, kata dia, berbagai upaya dilakukan untuk membungkam gerakan ini, kesadaran rakyat yang terorganisasi tetap berkembang untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi.
"Ini suara yang real, yang menunjukan bahwa Indonesia, kesadaran kelas menengah untuk menuntut hak sedang ditumbuhkan," kata Rocy melansir Youtube Rocky Gerung Official, Jumat (22/11/2024).
Namun, sayangnya tegas dia, partai politik sebagai corong aspirasi publik, saat ini tidak bersimpati pada orang-orang seperti Said Didu.
Bahkan, elite politik, sebutnya, lebih sibuk dengan agenda internal partai daripada memberikan perhatian pada masalah tata ruang yang menindas rakyat kecil.
"Parpol tidak berbicara tentang konflik agraria" mereka, "sibuk dengan upaya untuk memenangkan elite mereka di pojok-pojok kabupaten atau pojok-pojok kota," pungkasnya.
Kendati demikian, ia mengapresiasi munculnya gejala baru bahwa, "reaksi kelas menengah itu pasti lebih mampu menerangkan tuntutan-tuntutan yang sifatnya oposisional tentang keterbukaan informasi."
Melansir laman resmi kpa.or,id, pada tahun 2023, Indonesia mencatatkan 241 konflik agraria yang merampas 638.188 hektar lahan dan berdampak pada 135.608 keluarga.
Konflik ini melibatkan tanah pertanian, wilayah adat, area tangkapan ikan, dan permukiman.
Sementara itu, sebanyak 608 pejuang hak atas tanah menjadi korban akibat pendekatan represif yang digunakan di wilayah konflik.
Angka-angka ini menjadikan Indonesia berada di urutan teratas konflik agraria di Asia, mengungguli negara-negara seperti Filipina, Kamboja, India Bangladesh, dan Nepal.
Tak hanya itu, Indonesia juga tercatat menyumbang 74% dari total insiden, dengan 94% korban individu dan 84% korban rumah tangga.
Dari 690 kasus konflik agraria di enam negara Asia, Filipina mencatat luas lahan konflik terbesar, sementara Indonesia menempati posisi tertinggi kedua dengan jumlah keluarga terdampak mencapai 135.000.
Faktor pemicu konflik agraria terbanyak adalah ekspansi korporasi (36%), disusul oleh kebijakan pemerintah (29%), terutama terkait proyek infrastruktur besar seperti jalan, pelabuhan, dan bandara. Indonesia menyumbang 90% dari total konflik akibat program pemerintah, termasuk proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Adapun kategori perusahaan yang terlibat paling banyak adalah agribisnis, perkebunan, tambang, dan properti, dengan perusahaan kayu meskipun sedikit kasus, mendominasi luas lahan konflik (48%).
Editor: Gregorius Agung