PARBOABOA, Jakarta - Pada tahun 2025, tarif KRL Jabodetabek bakal menggunakan sistem berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Rencana ini tercantum dalam Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025, yang mengungkapkan adanya perubahan dalam sistem subsidi dan tarif transportasi.
Menurut dokumen tersebut, belanja subsidi Public Service Obligation (PSO) tahun 2025 untuk PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI mencapai Rp 4,79 triliun.
Subsidi ini mencakup berbagai layanan kereta api, termasuk KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak dekat, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, hingga LRT Jabodebek.
Namun, terdapat hal penting terkait alokasi subsidi ini, yaitu penerapan tiket elektronik berbasis NIK khusus bagi pengguna KRL Jabodetabek.
Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merespons rencana tersebut dengan berencana mengadakan diskusi publik.
Diskusi ini bertujuan untuk membahas dan menilai dampak penerapan tarif KRL berbasis NIK terhadap masyarakat.
"DJKA akan melibatkan akademisi dan perwakilan masyarakat dalam diskusi ini untuk memastikan skema tarif subsidi yang diterapkan tidak memberatkan pengguna KRL Jabodetabek," kata Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Risal Wasal, Kamis (28/8).
Namun, sebelum diskusi publik berlangsung, pembahasan mengenai skema subsidi akan dilakukan secara internal oleh pemerintah.
Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa skema tarif yang diusulkan benar-benar tepat sasaran dan efektif dalam mengelola subsidi.
Risal menambahkan, penerapan tarif berbasis NIK ini tidak akan langsung diberlakukan, melainkan dilakukan secara bertahap.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat akan menjadi bagian penting dari proses ini.
“Skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dengan sosialisasi yang komprehensif sebelum penerapan penuh," jelasnya.
Terkait dengan rencana ini, banyak pertanyaan muncul di kalangan masyarakat, terutama mengenai kemungkinan kenaikan tarif KRL.
Penerapan tarif berbasis NIK ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas subsidi, namun juga menimbulkan kekhawatiran akan potensi kenaikan tarif yang membebani pengguna.
Sebagai rujukan utama penerapan regulasi ini adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian serta Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api.
UU tersebut mengatur tentang pengelolaan, pengaturan, dan penyelenggaraan layanan kereta api, termasuk tarif dan subsidi yang diterapkan.
Di tengah rencana ini, beberapa pihak mendorong transparansi dalam penetapan tarif baru dan meminta agar pemerintah mempertimbangkan daya beli masyarakat.
Seiring dengan upaya tersebut, pengaturan tarif berbasis NIK ini diharapkan menjadi solusi yang lebih adil dan tepat sasaran dalam memberikan subsidi transportasi publik di wilayah Jabodetabek.
Sementara itu, DJKA berkomitmen untuk melakukan diskusi lebih lanjut dan membuka ruang partisipasi publik.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah berharap masyarakat bisa lebih memahami tujuan di balik kebijakan ini dan bagaimana kebijakan tersebut akan diimplementasikan secara bertahap.
Keputusan final mengenai penerapan tarif berbasis NIK ini masih menunggu hasil diskusi dan kajian lebih lanjut.
Pemerintah berjanji untuk terus memantau dan mengevaluasi dampaknya terhadap pengguna KRL Jabodetabek agar kebijakan yang diambil tidak hanya efektif, tetapi juga adil bagi semua pihak.
Apakah kebijakan ini akan membawa manfaat yang diharapkan atau justru menimbulkan tantangan baru bagi pengguna transportasi massal di Jabodetabek, masih perlu ditunggu perkembangan selanjutnya.
Editor: Norben Syukur