PARBOABOA - Dengan latar krisis iklim yang mengancam kehidupan, Eka Kurniawan dalam cerpen Sumur menyuguhkan kisah cinta tragis yang penuh kesedihan dan konflik.
Dirilis pada Juni 2021, cerpen ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka. Cerita ini pun juga membawa pembaca ke dalam perenungan mendalam tentang dampak perubahan alam bagi psikologis dan kehidupan manusia.
Sumur memiliki ketebalan 51 halaman yang menjadikannya sebagai karya eksklusif karena hanya dicetak sekali dengan jumlah 2000 eksemplar.
Dalam cerpen ini, ia memberikan sebuah penggambaran tentang problematika kehidupan manusia akibat sumber mata air yang mulai mengering, krisis pangan, kelaparan hingga kematian yang digambarkan secara jelas sehingga dapat membangkitkan imajinasi pembaca.
Eka menuliskan Sumur sebagai cerpen yang penuh kemurungan. Air, yang menjadi simbol kehidupan, berubah menjadi sumber kesedihan, terutama bagi dua tokoh sentral, Siti dan Toyib.
Toyib, sejak kecil, sudah menyimpan perasaan terhadap Siti. Cintanya begitu dalam sehingga ia rela menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan Siti, bahkan sebelum berangkat sekolah sekalipun.
Namun sayangnya, kisah cinta mereka harus berakhir tragis ketika terjadi konflik antara ayah Toyib dan ayah Siti.
Konflik ini dipicu oleh persoalan air yang tidak mengalir ke lahan sawah pada musim kemarau.
Emosi yang tak terbendung menyebabkan Ayah Toyib dan Siti saling beradu, hingga naasnya, Ayah siti harus meregang nyawa karena terkena sabetan parang dalam pertikaian tersebut.
Akibat peristiwa ini, Ayah Toyib pun masuk ke dalam bui. Toyib dan Siti yang sebelumnya dekat harus mengalami patah hati, bahkan enggan bertegur sapa satu sama lain.
Keduanya harus menjalani hidup masing-masing selama beberapa tahun, dan Siti memutuskan untuk merantau ke kota, sedangkan Toyib terpaksa harus menikah karena dijodohkan oleh ibunya.
Karena dirasa masih mencintai Siti, setelah Ayah Toyib bebas, Toyib berencana menemui Siti bersama ayahnya yang berencana bekerja di kota.
Naasnya, tragedi kembali terjadi, di tengah perjalanan, Ayah Toyib justru meninggal dilumat banjir karena arus sungai yang amat deras.
Setelah bertahun-tahun, Siti akhirnya pulang ke desa karena suaminya yang ia nikahi di kota menderita kelumpuhan.
Sumur, yang menjadi sumber kehidupan desa, perlahan-lahan mempertemukan kembali Siti dan Toyib.
Namun, meski mereka dipertemukan kembali, kenangan kelam di masa lalu membuat mereka tak dapat bersatu. Luka yang diakibatkan oleh tragedi masa lalu terlalu dalam untuk disembuhkan.
Menarik Perhatian Internasional
Berkat keahliannya dalam merangkai kisah cinta tragis yang dibalut dengan isu krisis iklim, Sumur berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Well, oleh Annie Tucker.
Cerpen ini juga masuk dalam antologi Tales of Two Planets: Stories of Climate Changes and Inequality in a Divided World, yang diterbitkan oleh Penguin Books pada tahun 2020.
Antologi ini merupakan kumpulan cerita, puisi, dan esai dari berbagai penulis dunia. Selain karya Eka, antologi ini juga menampilkan cerita dari penulis ternama seperti Krys Lee (Korea Selatan), Aminatta Forna (Sierra Leone), dan Margaret Atwood (Kanada).
Tidak hanya itu, pada tahun 2021, Eka mengumumkan bahwa Sumur akan diadaptasi menjadi film.
Pengumuman ini dimulai dari cuitan di Twitter, ketika Joko Anwar meminta klarifikasi kepada Paul Agusta tentang penggarapan film Sumur.
Paul Agusta membenarkan kabar tersebut, dan mengatakan bahwa ia akan menggarap film ini bersama Tumpal Tampubolon serta Mandy Marahimin sebagai produser.
Meski informasi lebih lanjut tentang adaptasi film ini belum dirilis, kabar tersebut sudah mengundang banyak antusiasme dari penggemar.
Lewat Sumur, Eka Kurniawan mengingatkan kita bahwa perubahan iklim tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga kehidupan manusia, emosi, dan hubungan antar sesama.
Kisah cinta yang patah ini mencerminkan betapa rapuhnya kehidupan saat alam mulai kehilangan keseimbangannya.
Penulis: Surya Mahmuda