PARBOABOA - Novelis terbesar Indonesia Pramoedya Ananta Toer menempatkan perempuan pada posisi paling terhormat. Itu nyata dalam penokohan di sejumlah karyanya. Pram, demikian ia akrab disapa, menciptakan karakter perempuan yang tegar, berani, tidak cengeng, dan mandiri, dalam Panggil Aku Kartini Saja, Calon Arang, Bumi Manusia, Larasati, Gadis Pantai, Arok Dedes, dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, misalnya.
Setting peristiwa seluruh karya Pram adalah masa lalu termasuk yang sudah lama sekali lampau; begitupun pesan moralnya masih relevan untuk zaman ‘now’ yang lebih merupakan milik generasi milineal. Tampaknya karena itulah buku-buku seri perempuan karya peraih Hadiah Magsaysay, seperti kata putrinya, Astuti Ananta Toer (Titi), selalu habis meski telah berulang kali dicetak.
“Kalau mau pemilihan presiden, rapat-rapat di DPR, atau pas ada perayaan hari perempuan, buku Pram seri perempuan laku. Misalnya, Panggil Aku Kartini Saja, Gadis Pantai, Larasati, Midah... Banyak pembaca yang nyari. Jadi dari sisi penjualan, [itu] menjanjikan sekali,” kata Titi.
Salah satu karakter perempuan ciptaan Pram adalah Nyai Ontosoroh. Gundik Tuan Mellema, pengusaha Belanda, ini oleh sang pengarang digambarkan dengan kuat sebagai perempuan yang berani menentang kebijakan Hindia-Belanda yang menindas kaum pribumi.
Penciptaan karakter Nyai Ontosoroh bukan tanpa maksud. Pram ingin menyampaikan pesan bahwa perempuan Indonesia itu harus maju, berpendidikan, memiliki wawasan ke-Indonesiaan, berkarakter, dan berani. Kepada Titi, salah satu manusia paling istimewa dalam hidupnya, ia berpesan demikian di pelbagai kesempatan.
“Saya yang selalu dikedepankan; saya harus maju dan berani. Ibu malah dilarang maju.” Titi mengenang.
Buah hati digembelengnya langsung agar menjadi sosok seperti yang dikehendakinya. Untuk memupuk keberanian, sering ia meminta anak remaja itu berdeklamasi di depan tetamu. Ia juga kerap mengajaknya bertandang ke rumah sejumlah tokoh atau menghadiri rapat-rapat. “Jadi saya berdansa dengan orang-orang dewasa. Yang masih diingat itu, dengan Gumelar, pelukis.”
Jauh-jauh hari Pram sudah mempersiapkan Titi untuk melanjutkan studi ke Rusia. “Setiap sore saya udah belajar bahasa: Perancis, dan Jerman. Papi yang mengajari secara pribadi. Saat saya masih kecil, dia bilang, ‘Nanti kamu berangkat; dengan sendirinya kamu akan bisa [menjalani hidup di luar negeri meski masih belia].’”
Tentang Nyai Ontosoroh, Pram berkisah di tahun 2000 kepada P. Hasudungan Sirait, Rin Hindryati, dan Rheinhardt yang sedang menulis kitab Pram Melawan. Intinya, Ontosoroh diciptakannya saat terjadi pemberontakan besar di Pulau Buru. Sebagai catatan, Pramoedya dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik oleh penguasa rezim militer Soeharto. Di sana ia menulis karya monumentalnya yakni novel tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca (1980-1987).
Saat pemberontakan meletus di Pulau Buru banyak tapol yang sudah merosot morilnya. “Lantas saya ceritakan soal Ontosoroh. ‘Lihat itu perempuan: menghadapi kekuasaan kolonial seorang diri. Kalian lelaki masa’ merosot begitu mentalnya’. Nah, itu cerita berkembang dari mulut ke mulut. Dan memang berhasil…kalau enggak, akan terlalu banyak yang bunuh diri. Jadi munculnya Nyai Ontosoroh karena persitwa pembunuhan massal.”
Tokoh Ontosoroh ternyata dicintai khalayak pembaca, kemudian. Apakah dia merupakan personifikasi seseorang? “Ia merupakan perpaduan dari ibu saya sendiri. Saya terlalu dekat dengan ibu saya. Dialah guru saya. Wanita yang mengagumkan!”
Hubungan Pram dengan ibunya, Oemi Saidah, memang spesial. Ia terlalu banyak menyaksikan penderitaan orang yang melahirkannya; begitupun perempuan itu tidak pernah mencurahkan isi hatinya tentang nestapanya, ke dia.
Oemi Saidah adalah murid Raden Mas Toer, ayah Pram. Karena itu hubungan suami dan istri itu lebih sebagai guru dan murid saja. “Kelihatannya, kalau saya melihat, [hubungan keduanya] ada batasannya,” kata Oemisafaatoen Toer, adik Pram, seperti termaktub dalam buku Pram Melawan.
Selain Ontosoroh, karakter perempuan yang lahir karena Pram terinspirasi oleh sosok kaum Hawa tangguh di lingkungan dekatnya adalah Gadis Pantai. Novel ini menceritakan tentang lelaki bangsawan Jawa yang telah menikah berkali-kali tapi naksir pada perempuan kebanyakan. Dara itu kemudian dinikahinya.
Perempuan sahaya yang tak lain dari Mbah Satimah, nenek Pram, ternyata tak mampu memberi suaminya anak laki-laki. Menurut tradisi (Jawa) di zaman itu, jika melahirkan anak perempuan di persalinan perdana maka ia akan langsung dikembalikan ke orangtuanya, sedangkan sang anak akan diambil pihak suami. Itulah yang terjadi. Pram mendengar kisah-kisah ketidakadilan tersebut dan memfantasikannya. “Ya saya tulis. Berapa persen riilnya, enggak soal,” tutur dia kepada penulis Pram Melawan.
Titi mengatakan, salah satu figur perempuan yang dikagumi Pram adalah Mbak Satimah alias Gadis Pantai. “Ke saya Pram bercerita: nenek itu seorang perempuan hebat. Dalam keadaan sangat miskin juga dia tidak pernah meminta bantuan ke siapa pun. Meski untuk memenuhi kebutuhannya dia sampai harus menjual rombengan. Padahal nenek itu kan selir bupati.”
Polarisasi
Melawan ketidakadilan, memerangi penindasan, dan membangkitkan kesadaran rakyatnya, termasuk yang perempuan, agar terus memperjuangkan hak-haknya, itu antara lain alasan sehingga Pram menulis. Adapun kaum laki-laki kita, di mata sastrawan utama ini mereka terlalu hegemonik padahal gagal total sebab bisanya hanya menghasilkan bangsa kuli hingga hari ini. Ia pun berseru agar perempuan melawan hegemoni kaum lelaki.
Zaman telah berubah banyak dibanding yang dilihat Pramoedya Ananta Toer di masa keproduktifannya sebagai penulis. Sekarang adalah era generasi milenial dan Z. Menurut sensus penduduk tahn 2020, per September 2020 jumlah mereka sudah mayoritas yakni 270,20 juta jiwa.
Dalam sensus penduduk 2020, Gen Z dan Milenial mendominasi penduduk Indonesia yaitu per September 2020 mencapai 270,20 juta jiwa. Milenial 69,38 juta jiwa (25,87% dari total populasi). Sedangkan generasi Z tercatat 74,93 juta (27,94%).
Dibanding para pendahulunya, generasi milenial dan Z ini memang unik. Salah satu yang mencolok dari mereka adalah kegandrungan pada teknologi berinternet. Mereka tak bisa dijauhkan dari gadget. Dalam mendapatkan informasi mereka lebih banyak mengandalkan media sosial, bukan literatur berbahankan kertas lagi. Itu tentu tak jadi masalah kalau saja sumber informasinya sehat dan kemampuan mereka untuk mencernanya secara kritis, tinggi.
Masalahnya media, terlebih media sosial, di negeri kita bermasalah berat sejak perpecahan akibat pemilihan presiden 2014. Polarisasi mengemuka. Media sosial, umpamanya, cenderung menjadi instrumen politik yang dimanfaatkan betul oleh mereka yang bertarung hingga detik ini memperebutkan kekuasaan. Kabar bohong (hoax) pun mereka biakkan di sana.
Pertarungan antara kelompok moderat dan konservatif dalam konteks keagamaan kini mengeras terutama di media sosial.
Selain itu ideologi keagamaan yang ekstrim tumbuh subur juga termasuk yang ajarannya menggusur kaum perempuan dari ruang publik yang menyetarakan jenis kelamin. Kemajuan kaum perempuan seperti yang diperjuangkan dengan gigih oleh Raden Ajeng Kartini, Pramoedya Ananta Toer, dan yang lain seperti sedang dilucuti.
Pramoedya Ananta Toer sudah lama tiada (ia berpulang pada 30 April 2006). Kalau saja masih hidup tentulah dia akan sangat galau melihat pergerakan pendulum perempuan di Indonesia sekarang: kian ke kanan padahal perempuan Arab Saudi cenderung semakin ke tengah. Yang terakhir ini kini sudah boleh menyetir dan menonton bioskop. Ah, pendulum memang senantiasa bergerak!
Editor: Hasudungan Sirait