SKM, Tradisi Rokok dalam Balutan Teknologi

Ilustrasi merk rokok tanpa cukai yang beredar di pasaran. (Foto: PARBOABOA/Akbar)

PARBOABOA, Jakarta - Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tradisi merokok yang tinggi. Sigaret Kretek, salah satu ikon budaya tembakau di tanah air, kini menghadapi perubahan besar yang mengancam keberadaannya.

Awalnya, kretek dibuat dengan tangan, mencampur tembakau dengan cengkeh. Aroma khas dan rasa yang unik dari kretek menjadikannya favorit di kalangan perokok Indonesia.

Namun, seiring perkembangan zaman, muncul inovasi baru yang disebut Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Lantas apa itu SKM?

Kretek berasal dari kota Kudus, Jawa Tengah, pada akhir abad ke-19. Haji Jamhari, seorang warga setempat, diyakini sebagai penemu kretek. Ia mencampur tembakau dengan cengkeh dan merokoknya untuk meredakan gejala asma yang dideritanya.

Inovasinya ini kemudian menyebar luas dan menjadi populer di kalangan masyarakat. Pada awalnya, kretek dibuat secara manual, satu per satu, oleh para pengrajin rokok. Proses ini membutuhkan ketelitian dan keterampilan, yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi.

Seiring berkembangnya teknologi dan permintaan pasar yang semakin besar, industri kretek mulai beralih ke produksi berbasis mesin.

Di sinilah Sigaret Kretek Mesin (SKM) mulai dikenal. Pada tahun 1970-an, pabrik-pabrik rokok mulai menggunakan mesin untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka. Dengan bantuan mesin, produsen dapat memproduksi kretek dalam jumlah besar dengan lebih cepat dan efisien.

Mesin-mesin ini dirancang untuk mencampur tembakau dengan cengkeh, kemudian menggulungnya dengan kertas rokok, dan akhirnya memotongnya menjadi ukuran yang siap dipasarkan.

Proses ini menghemat banyak waktu dibandingkan dengan produksi manual. Selain itu, SKM memungkinkan standar kualitas yang lebih konsisten dalam setiap batang rokok yang dihasilkan.

Sigaret Kretek Mesin menawarkan sejumlah keunggulan. Salah satu kelebihannya adalah efisiensi produksi. Dengan menggunakan mesin, pabrik dapat memproduksi rokok dalam jumlah besar dalam waktu singkat.

Selain itu, penggunaan mesin juga mengurangi biaya tenaga kerja, yang pada akhirnya dapat menekan harga jual rokok di pasaran.

Namun, ada juga beberapa kekurangan dari SKM. Proses produksi yang menggunakan mesin sering kali mengurangi sentuhan personal dan kualitas rasa yang ada pada kretek tradisional yang dibuat dengan tangan.

Banyak perokok yang merasa bahwa kretek mesin tidak memiliki aroma dan rasa seintens kretek manual. Selain itu, peralihan ke mesin juga menyebabkan berkurangnya lapangan kerja bagi para pengrajin rokok tradisional.

Industri SKM telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Menurut data Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), industri rokok menyumbang sekitar 10% dari total pendapatan negara melalui pajak cukai.

SKM sendiri menyumbang sebagian besar dari produksi rokok nasional, menjadikannya salah satu pilar utama industri ini.

Namun, di sisi lain, ada dampak sosial yang perlu diperhatikan. Dengan peralihan ke produksi mesin, banyak pekerja tradisional kehilangan pekerjaan mereka.

Banyak dari mereka adalah wanita yang bekerja di pabrik-pabrik rokok sebagai penggulung tangan. Meski beberapa pabrik masih mempertahankan produksi manual dalam skala kecil, jumlahnya terus menurun.

Selain itu, ada juga dampak kesehatan yang perlu diperhatikan. Konsumsi rokok, termasuk SKM, telah lama dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, dan gangguan pernapasan.

Meskipun ada regulasi dan kampanye anti-merokok, konsumsi rokok di Indonesia masih cukup tinggi.

Sementara itu, industri SKM juga menghadapi sejumlah tantangan di masa depan. Salah satunya adalah tekanan dari pemerintah dan organisasi kesehatan untuk menurunkan konsumsi rokok di Indonesia.

Pajak cukai yang semakin tinggi dan regulasi yang lebih ketat adalah beberapa langkah yang diambil untuk mengurangi jumlah perokok.

Namun, industri ini juga terus berinovasi untuk bertahan. Beberapa produsen mulai mengembangkan varian rokok dengan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah, serta mengadaptasi kemasan dan desain yang lebih menarik bagi konsumen muda.

Selain itu, ada juga upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari produksi rokok, seperti penggunaan kertas dan filter yang lebih ramah lingkungan.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS