PARBOABOA, Simalungun – Semilir angin menggoyang hamparan pohon karet di sepanjang jalan. Tampak sebuah jalan selebar empat meter yang masih beralaskan tanah dan rerumputan di sekelilingnya.
Tanah yang terhampar menjadi jalan masuk itu semakin menyempit. Pohon karet yang sebelumnya berada di sisi jalan aspal berganti menjadi pohon kelapa.
Di ujung jalan, tampak sebuah pemandangan beberapa orang sedang sibuk memilah sampah. Tempat yang merupakan pembuangan sampah tidak resmi di Batu VIII, perbatasan Desa Senio, Kecamatan Gunung Malela dan Dolok Hataran, Kecamatan Siantar itu memperlihatkan tumpukan sampah.
Seorang wanita terlihat sibuk memilah-milah sampah di pinggiran jurang di lokasi itu. Ia menundukkan badan untuk mengambil barang-barang yang diperkirakan masih bisa dijual.
Setelah berkenalan, diketahui wanita paruh baya ini bernama Nurlela Nainggolan. Nurlela adalah warga Desa Dolok Hataran yang berada tidak jauh dari tempat pembuangan sampah ini.
Sambil duduk memilah sampah, ia menceritakan kesehariannya. Di mana setiap pukul 07.30 pagi, ia sudah memulai harinya yaitu memilah sampah.
“Ya, kalau orang bilang seperti pekerja kantoran lah ya dek,” ujar Nurlela sambil tertawa kecil.
Nurlela kembali meneruskan cerita hidupnya, di mana dalam satu hari ia bisa mendapatkan sekitar Rp40 sampai Rp50 ribu. Itupun masih harus dipotong ongkos pulang pergi ke rumah sebesar Rp10 ribu.
Ketika tengah bercerita, seorang pekerja pengangkut sampah memanggil wanita berusia 56 tahun ini dan memintanya membuatkan kopi.
Nurlela kemudian berjalan mengumpulkan kayu bakar kecil dan kering sebagai bahan bakar untuk memasak kopi di sebuah panci hitam pekat.
Sambil menunggu kopi siap dihidangkan, suasana di sekitar lokasi itu terlihat beberapa petugas pengangkut sampah dengan kendaraan roda tiga. Beberapa pemulung lainnya terlihat sedang memilah sampah plastik, botol minuman, karton. Kemudian memasukkannya ke dalam karung yang mereka bawa.
Kicauan burung terdengar bersahutan menciptakan harmoni alam yang kontras dengan lingkungan di sekitarnya.
Sambil memasak kopi, Nurlela kembali menceritakan pengalaman hidupnya. Sejak tahun 2000, ia memulai pekerjaan sebagai pemulung botol minuman plastik. Saat itu, botol plastik belum terlalu diminati oleh pengepul.
Sebelumnya, Nurlela Nainggolan pernah bekerja sebagai buruh tani di sawah dan kebun orang lain.
“Lebih enak seperti ini. Meskipun dibilang orang hina, ya tidak peduli aku, karena yang terpenting tidak hina di mata Allah,” ucapnya.
Selain itu, Nurlela juga pernah bekerja sebagai staf di lapangan di kebun. Namun, karena merasa tidak nyaman dengan waktu kerja yang terikat dengan peraturan, ia memilih keluar dari pekerjaannya.
Nurlela menegaskan bahwa dirinya ingin mengutamakan waktu untuk beribadah dan berkumpul bersama keluarganya.
“Sudah susah di dunia, ya kalau tidak beribadah nantinya susah di akhirat, ya buat apa?” katanya.
Seiring berjalannya waktu, Nurlela beralih dari memulung seng, besi dan karton ke botol plastik yang sekarang ini lebih bernilai.
Perempuan yang lahir di Pagar Jawa, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun itu mulai menetap di Dolok Hataran setelah menikah.
Ia lanjut menceritakan tentang anak-anaknya yang sudah tamat dari Universitas Muslim Nusantara Al Wasliyah (UMN Al Washliyah), sebuah pencapaian yang sangat dibanggakannya.
Kala itu, anaknya mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Nurlela sempat merasakan beban yang berat. Namun, ia tetap berusaha agar anaknya bisa bersekolah dengan baik.
Kini, setelah anaknya tamat kuliah dan ia sudah lanjut usia, maka pekerjaan pemulung pun harus dijalaninya hanya setengah hari. Paling lama, Nurlela Nainggolan pulang pada pukul 13.30.
Beberapa pengalaman menarik saat memulung adalah, Nurlela pernah menemukan beberapa barang yang masih layak pakai seperti baju, tas dan sepatu.
Barang-barang tersebut biasanya dibersihkan dan diperbaiki sebelum dijual kembali atau digunakan sendiri.
Menurutnya, temuan-temuan seperti itu menjadi penghibur dan penyemangat bagi Nurlela di tengah pekerjaannya yang berat.
Di sisi lain, ada juga yang membuat pekerjaan ini sangat menantang. Salah satunya adalah saat hujan datang.
Tanah di sekitar tempat pembuangan sampah yang beralaskan tanah liat menjadi berlumpur dan licin.
Kondisi ini sangat berbahaya, terutama karena tempat pembuangan sampah ini berada di pinggiran jurang yang cukup dalam, sekitar 7 sampai 10 meter ke bawah. Nurlela harus berhati-hati agar tidak terjatuh.
Ketika hujan turun, Nurlela sering kali terpaksa menghentikan pekerjaannya lebih awal karena khawatir akan keselamatannya.
Di tengah perbincangan, seekor kucing berwarna oranye datang menggosokkan badannya ke kaki Nurlela. Terjadi interaksi yang hangat antara Nurlela dan si kucing.
Setelah ia selesai mempersiapkan dua gelas kopi, Nurlela berjalan pelan dan mengantarkannya kepada petugas sampah di sekitar lokasi itu.
Saat Nurlela sedang menyajikan kopi untuk beberapa petugas sampah, seorang dari mereka memanggilnya kembali untuk dibuatkan kopi lagi. Nurlela pun kembali mempersiapkan air panas untuk memasak kopi.
Setelah itu, Nurlela dan beberapa pemulung lainnya duduk di bawah pohon rindang bersama beberapa petugas sampah lain untuk beristirahat sejenak dari teriknya matahari.
Salah seorang petugas sampah dari Desa Lestari, Ramadan Sibarani bergabung dalam percakapan. Ia menceritakan tentang betapa sedikitnya peningkatan gaji yang diterima. Meskipun masih jauh dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Simalungun.
Kemudian, beberapa petugas lainnya tampak menyambut pembicaraan tersebut dengan santai.
Di antara para petugas sampah, terlihat kedekatan yang sangat erat meskipun mereka berasal dari desa yang berbeda.
Gaji yang mereka terima juga berbeda. Petugas sampah di Desa Sitalasari mendapatkan dua juta rupiah per bulan, Desa Nusa Harapan 1,2 juta rupiah per bulan dan Desa Lestari Indah 900 ribu rupiah per bulan.
“Memang tertindas lah, tapi sebenarnya kalian tertindas kali. Kalau kami tertindas aja nggak ada kali nya,” canda seorang petugas sampah dari Sitalasari, memancing tawa rekan-rekannya.
Tak berselang lama, seorang petugas sampah dari Desa Sitalasari yang kerap dipanggil San oleh beberapa petugas setempat, berbagi cerita lucu tentang pengalaman mereka saat hampir ditilang oleh Petugas Satlantas Polres Simalungun.
Ia mengatakan bahwa penggunaan helm dan kaca spion dalam pekerjaan mereka sangat tidak praktis.
“Kami kalau pakai helm pak, payah mengutip sampah ini. Panas dan gerah. Kaca spion bukannya mau dipasang, tapi terkadang saat jalan yang tidak rata, nyangkut di bagian baju kami,” ungkapnya.
Akhirnya ia kesal dan meminta agar kendaraan penuh sampah mereka dimasukkan ke kantor polisi. Namun, jawaban polisi mengundang tawa kami.
“Loh, kok jadi bapak yang ngatur, udah jangan-jangan,” ujar polisi itu.
Akhirnya, mereka tidak jadi diberikan surat tilang dan melanjutkan pekerjaannya mengutip sampah masyarakat.
Suasana yang hangat dan kebersamaan di tempat pembuangan sampah itu terasa begitu nyata.
Di balik kejamnya kehidupan, tumpukan sampah dan kotoran, terdapat cerita perjuangan semangat hidup yang luar biasa dari para pemulung dan petugas sampah yang tak pernah menyerah dalam menghadapi kerasnya kehidupan.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Para pemulung dan petugas kembali bekerja. Suara canda dan tawa pun perlahan menghilang seiring berlalunya waktu beristirahat.
Editor: Fika