Upah Tak Layak: Realita Pahit di Balik Perjuangan Guru Honorer

Ilustrasi guru honorer mengajar di kelas. (Foto: Shutterstock)

PARBOABOA, Medan - Malam itu, Rabu (3/07/2024), suasana restoran seafood Medan Kerang di Jalan Bukit Barisan, Kecamatan Medan Timur, tampak ramai. 

Para pelanggan yang sedari awal memenuhi meja-meja, sibuk menyantap makanan laut yang segar dan menggugah selera.

Di sudut restoran, Titi Nuraini (23) berdiri memeriksa satu per satu jenis kerang yang tersedia, memastikan semuanya siap untuk dijual keesokan harinya.

Sudah tujuh bulan Titi bekerja di restoran ini sebagai admin stok. Sebuah pekerjaan yang jauh dari impiannya, namun memberinya penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup. 

Titi adalah lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dari salah satu Universitas Negeri di Kota Medan. Sebelum bekerja di Medan Kerang, ia pernah menjadi guru di sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) di kota yang sama.

Keputusannya menjadi guru TK bukan tanpa alasan. Titi berharap pengalaman mengajar itu akan membantunya menjadi seorang guru profesional setelah menyelesaikan studi. 

Ia juga membayangkan dirinya bisa mandiri dan tak lagi bergantung pada orang tua.

Namun kenyataan tak selalu sejalan dengan impian. Selama tiga bulan mengajar di TK tersebut, Titi hanya menerima upah sebesar Rp700.000 per bulan. Angka yang terlalu kecil untuk menutupi biaya hidupnya. 

"Hanya tiga bulan bertahan karena gajinya sedikit," kata Titi mengingat masa-masa itu. 

Dengan biaya kos Rp500.000 per bulan dan ongkos ojek online yang harus ia keluarkan setiap hari, penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Menjadi guru ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Selain upah yang tak layak, Titi juga dihadapkan dengan berbagai persoalan saat melamar pekerjaan di beberapa sekolah lain. 

Tes kemahiran bahasa Inggris, psikotes, hingga kekuatan 'orang dalam' menjadi faktor yang menentukan diterima atau tidaknya ia sebagai guru. 

Sayangnya, meski sudah berulang kali mencoba, keberuntungan tak berpihak padanya. 

"Mungkin karena kalah di psikotes, ada yang kurang dari penilaian mereka," ucapnya dengan nada pasrah.

Akhirnya, kondisi sulit ini memaksa Titi untuk beralih profesi. Menjadi admin stok di restoran seafood mungkin bukan pekerjaan yang ia impikan, tapi setidaknya pekerjaan ini memberinya penghasilan yang cukup. 

Meski begitu, ambisinya menjadi seorang guru tak pernah padam. Di balik senyum manisnya, Titi masih menyimpan harapan besar. 

Suatu saat, ia ingin mewujudkan cita-citanya sebagai guru dan menjadi teladan bagi adik-adiknya.

"Sebagai anak pertama, aku ingin bisa jadi role model untuk adik-adik ke depannya," katanya penuh harap.

Aiga Putra Azhari, seorang lulusan fakultas keguruan dari salah satu Universitas Negeri di Kota Medan, punya cerita serupa.

Setelah lulus pada tahun 2018, Aiga sempat menjalani profesi sebagai guru honorer di sekolah Tsanawiyah di Kota Medan. 

Namun, hanya dalam waktu tiga bulan, ia memutuskan untuk meninggalkan profesi yang sempat ia geluti itu dan memilih karier lain sebagai sales marketing di perusahaan swasta.

Keputusan Aiga untuk beralih dari dunia pendidikan bukanlah tanpa alasan. Sebagai guru honorer, Aiga merasakan upah yang diterimanya terasa jauh dari layak. 

Ia merasa bahwa penghargaan yang diberikan kepada guru, baik secara materi maupun penghargaan lainnya, sangat minim. Hal ini membuatnya semakin ragu untuk melanjutkan karier sebagai pendidik.

Namun, bukan hanya soal upah yang membuat Aiga mengambil keputusan tersebut. Ia mengamati bahwa sistem pendidikan yang ada saat ini masih banyak kekurangan. 

Menurutnya, ada banyak guru yang lebih fokus mengejar status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) daripada mengajar dengan hati yang tulus. 

Hal ini, menurut Aiga, menciptakan situasi di mana banyak guru mengajar hanya untuk memenuhi kewajiban, tanpa semangat dan dedikasi.

"Kadang saya lihat, ada guru yang berhasil jadi PNS, tapi ketika mengajar, mereka tidak benar-benar mendidik dengan sungguh-sungguh," ujarnya.

Aiga juga melihat bagaimana ketidakadilan sering terjadi dalam dunia pendidikan, terutama bagi guru-guru yang bekerja di daerah terpencil atau perbatasan. 

Meski mereka bekerja dengan penuh dedikasi, apresiasi yang mereka terima sering kali tidak sebanding dengan usaha yang mereka lakukan. 

Hal ini semakin meneguhkan Aiga bahwa profesi guru, dalam kondisi saat ini, bukanlah pilihan yang ideal bagi dirinya.

Menurut survei yang dilakukan oleh Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa, terungkap bahwa 74,3% guru honorer atau kontrak memiliki pendapatan bulanan di bawah Rp2 juta.

Dari angka tersebut, 20,5% di antaranya hanya menerima gaji kurang dari Rp500 ribu per bulan.

Sebanyak 26,4% guru honorer lainnya memperoleh penghasilan antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan.

Ada pula 10,2% guru yang menerima upah sebesar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta setiap bulan.

Sedangkan 17% lainnya mendapatkan penghasilan antara Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per bulan.

Lebih lanjut, survei IDEAS juga mengungkap bahwa 12,8% responden memperoleh gaji bulanan antara Rp2 juta hingga Rp3 juta.

Sebanyak 7,6% dari mereka menerima gaji antara Rp3 juta hingga Rp4 juta per bulan.

Sementara itu, 4,2% guru honorer dilaporkan mendapatkan penghasilan bulanan sebesar Rp4 juta hingga Rp5 juta.

Sementara itu, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menunjukkan, jumlah guru di Indonesia mencapai 3,36 juta pada tahun ajaran 2023/24. 

Namun, meskipun jumlahnya tampak besar, Indonesia masih kekurangan sekitar 1,3 juta tenaga guru.

Pengamat pendidikan, Rizal Hasibuan mengatakan, rasio perbandingan antara jumlah murid dan guru dari takaran kualitas mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya terbilang cukup.

Hanya saja kata dia, yang menjadi problem saat ini adalah sebaran tenaga pendidik di setiap daerah. Di Sumut, misalnya, rasio murid dengan guru pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) tahun ajaran 2019/2020, 1 berbanding 16.

Menurut Rizal, letak persoalannya ada pada ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat dalam memetakan tenaga pendidik.

Hal ini, tambahnya, mustahil bisa mengurai kemelut dunia pendidikan, sekalipun di tingkat Kabupaten/Kota pemetaan konsisten dilakukan.

"Saya melihat isu tenaga pendidik dan kependidikan selalu dijadikan sebagai isu yang seksi ya, yang selalu dibawa dalam Pilpres dan Pilkada tanpa ditindaklanjuti setelah pejabta itu duduk, gitu ya," kata Rizal kepada Parboaboa.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS