Polemik ADP 2025: Panggung Penghargaan atau Ujian Integritas?

AJI Indonesia menolak penyelenggaraan Anugerah Dewan Pers (ADP) 2025 karena dinilai tidak transparan (Foto: dok. AJI)

PARBOABOA, Jakarta - Rencana penyelenggaraan Anugerah Dewan Pers (ADP) 2025 memunculkan polemik serius di kalangan komunitas pers nasional. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara tegas menolak pelaksanaan ajang tersebut karena dinilai menyimpang dari prinsip keterbukaan dan partisipasi yang menjadi fondasi ADP sejak pertama kali digelar pada 2021.

Menurut AJI, proses persiapan ADP 2025 berlangsung tanpa transparansi dan tanpa pelibatan 11 lembaga konstituen Dewan Pers, yang sebelumnya menjadi aktor utama dalam pengajuan nominasi dan pembentukan dewan juri. 

Berbeda dari mekanisme tahun-tahun sebelumnya, penyelenggaraan ADP tahun ini disebut berlangsung tertutup, tanpa proses pencalonan terbuka, tanpa tim juri independen, dan tanpa kejelasan mekanisme seleksi.

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, mengungkapkan bahwa organisasinya sama sekali tidak mengetahui tahapan awal pelaksanaan ajang tersebut.

“Kami tidak tahu bagaimana proses awalnya, tiba-tiba sudah mendapat informasi ADP 2025 akan diselenggarakan Desember ini,” kata Nany dalam siaran pers yang diterima, Senin (8/12/2025).

Perubahan paling mencolok yang dipersoalkan AJI adalah dihapusnya kategori penghargaan bagi jurnalis dan perusahaan pers/media. 

Alasan yang dikemukakan Dewan Pers, bahwa kondisi media sedang tidak sehat, dianggap AJI sebagai logika yang keliru. 

Bagi AJI, justru dalam situasi sulit, keberadaan penghargaan yang jujur dan berintegritas sangat penting untuk menjaga moral serta semangat para pekerja pers.

Kekhawatiran lebih jauh disampaikan oleh Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana. Ia menilai proses yang tertutup berpotensi merusak reputasi ADP yang selama ini dikenal memiliki integritas.

“Jika proses dilakukan secara tertutup, sembunyi-sembunyi dalam gelap, publik akan menilai ADP ini seperti penghargaan lain yang berbayar. Kita mesti jaga integritas Anugerah Dewan Pers,” ujar Bayu.

Berdasarkan penilaian tersebut, AJI mendesak beberapa langkah tegas. Mereka meminta Dewan Pers membatalkan pelaksanaan ADP 2025 dan mengembalikan mekanisme ke pola lama yang transparan dan partisipatif. 

Selain itu, AJI mendorong agar Dewan Pers memprioritaskan pemulihan akses dan prasarana bagi jurnalis di wilayah terdampak banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. 

AJI juga meminta Gubernur Jakarta membatalkan penggunaan Balai Kota sebagai lokasi acara, serta mendorong 11 lembaga konstituen Dewan Pers untuk duduk bersama demi menyelamatkan integritas penghargaan tersebut.

Tanggapan Dewan Pers

Di sisi lain, Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, menepis tudingan bahwa pelaksanaan ADP 2025 melanggar aturan. Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil pleno internal dan tetap berada dalam koridor yang sah.

“Itu keputusan pleno Dewan Pers, tak ada aturan yang dilanggar. Tapi saran AJI bagus, kami catat baik-baik,” ujar Komaruddin mengutip laporan Tempo, Senin (8/12/2025).

Komaruddin juga membantah bahwa proses dilakukan secara tertutup. Menurutnya, mekanisme penentuan penerima penghargaan berlangsung secara transparan dan telah melalui pertimbangan internal Dewan Pers. 

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ADP 2025 hanya akan memberikan penghargaan kepada satu tokoh nasional yang dianggap memiliki kedekatan dengan dunia pers serta dinilai konsisten membela media sebagai pilar demokrasi.

“Tahun ini yang dipilih tokoh bangsa yang jadi media darling dan membela pers sebagai media demokrasi. Semuanya berlangsung transparan," katanya.

Ia mengakui bahwa mekanisme tahun ini memang berbeda dari pola partisipatif sebelumnya, namun berjanji akan melakukan perbaikan pada penyelenggaraan berikutnya.

“Semuanya berlangsung transparan, mengingat di dalam DP ada unsur perwakilan dari Konstituen. Tahun depan kami perbaiki,” ujar Komaruddin.

Polemik ini memperlihatkan ketegangan yang belum reda antara prinsip ideal penyelenggaraan penghargaan pers yang terbuka dan kebutuhan lembaga untuk mengambil keputusan secara internal. 

Bagi AJI, persoalan utamanya bukan sekadar siapa yang mendapat penghargaan, melainkan bagaimana proses seleksi itu dijalankan agar tetap dipercaya publik. 

Sementara bagi Dewan Pers, ADP 2025 dianggap telah berjalan dalam koridor keputusan kelembagaan, meski diakui masih menyisakan ruang perbaikan.

Kontroversi ini menempatkan Anugerah Dewan Pers 2025 bukan hanya sebagai ajang penghargaan, melainkan sebagai ujian serius bagi komitmen transparansi dan integritas tata kelola pers di Indonesia.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS