PARBOABOA, Jakarta - Pemerintah belum lama ini memberi sinyal yang jelas bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Hal itu dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang menyebutkan, pengumuman resmi terkait kebijakan ini akan dilakukan pekan depan.
"Akan diumumkan minggu depan, disimulasikan dulu," ujarnya di Jakarta, Selasa (3/11/2024).
Kata dia, sebelum diumumkan, pemerintah akan melakukan kajian untuk kemudian dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto guna mendapatkan persetujuan akhir.
Tak hanya soal kenaikan PPN, tambahnya, pengumuman nanti juga akan mencakup kebijakan insentif fiskal untuk tahun 2024.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga telah mempertegas rencana ini. Menurut Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kemenkeu, Parjiono, meskipun tarif PPN dinaikkan, pemerintah tetap memperhatikan daya beli masyarakat.
Ia menyatakan, kelompok masyarakat miskin, sektor kesehatan, pendidikan, dan layanan penting lainnya "akan tetap mendapatkan pengecualian dari kenaikan PPN."
Untuk menjaga keseimbangan, pemerintah akan memperkuat subsidi sebagai bentuk perlindungan sosial bagi kelompok rentan.
Selain itu, insentif perpajakan akan diarahkan untuk mendukung kelas menengah dan atas guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Diketahui, alasan pemerintah menaikan PPN sebesar 12 persen mengacu pada Pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Di sana ditegaskan, PPN dapat diubah menjadi paling tinggi 15 persen. Namun, anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, naik 15 persen merupakan ketentuan maksimal.
Undang-Undang yang sama, kata dia, mengatur ketentuan minimal, yaitu PPN bisa turun, paling rendah menjadi 5 persen.
Rieke mengusulkan, ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang tidak baik-baik saja, pemerintah sebaiknya memilih kebijakan yang paling menguntungkan rakyat dengan membatal kenaikan PPN.
Harusnya "mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya," pungkas dia.
Selain itu, ia juga berharap pemerintahan Prabowo Subianto dapat mengadopsi sistem pengawasan berbasis self-assessment dalam tata kelola perpajakan.
Sistem ini dipandang mampu meningkatkan kelancaran mekanisme perpajakan, yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan negara tetapi juga menjadi alat penting dalam pemberantasan korupsi dan pengelolaan utang negara.
Melalui penerapan self-assessment, tegasnya, seluruh transaksi, baik keuangan maupun nonkeuangan dari wajib pajak, diharapkan dapat dilaporkan secara komprehensif dan transparan, sehingga memberikan kepercayaan lebih terhadap pengelolaan pajak dan mendukung tata kelola negara yang lebih baik.
Sementara itu, Partai Buruh bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan menggelar aksi mogok kerja jika kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat tidak segera dibatalkan.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, aksi ini direncanakan melibatkan jutaan buruh di seluruh Indonesia sebagai bentuk protes terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen dan ketidakadilan dalam penetapan upah minimum.
"Kita (KSPI) bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia," ujar Iqbal.
Menurut dia, dampak kenaikan PPN akan memperbesar kesenjangan sosial dan menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Kebijakan tersebut juga dianggap akan menyebabkan lonjakan harga barang dan jasa, sementara kenaikan upah minimum yang ada belum mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Tidak hanya dari kalangan buruh, para pengusaha juga menyatakan keberatan atas rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Mereka mengkhawatirkan dampak besar yang akan langsung dirasakan, khususnya pada sektor makanan dan minuman.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, menjelaskan bahwa meskipun kenaikan hanya 1 persen, efeknya bisa cukup signifikan. Harga produk makanan dan minuman diperkirakan akan naik sekitar 2-3 persen.
Kata dia, situasi ini harus menjadi perhatian serius karena sektor barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan minuman bersifat sangat sensitif terhadap harga.
Kenaikan, pungkasnya, hanya "akan membebani konsumen yang harus menanggung tambahan biaya dari kenaikan tersebut."
Motif kenaikan PPN
Dalam keterangan terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menduga motif pemerintah menaikkan PPN sebesar 12 persen karena tahu rasio pajak akan turun di 2025.
Apalagi, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan fiskal seperti penurunan PPh Badan dari 22 persen menjadi 20 persen dan program pengampunan pajak (tax amnesty) tahap ketiga. Namun, langkah-langkah ini dinilai dapat menurunkan rasio pajak karena berpotensi melemahkan kepatuhan wajib pajak.
Belum lagi. kata Bhima, insentif-insentif fiskal yang jumlahnya terus menggelontor tanpa terkendali, "dan ini juga akan menjadi beban berat bagi rasio pajak."
Bhima memprediksi jika pemerintah terlalu memaksakan kenaikan PPN ini untuk mengejar rasio pajak yang lebih tinggi, dampaknya bisa merusak perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat melambat hingga sekitar 4 persen pada 2025, jauh dari target pertumbuhan 8 persen.
Selain itu, menurutnya, keputusan tersebut juga tampaknya dipengaruhi oleh pelebaran defisit anggaran yang diakibatkan oleh program-program populis pemerintah, seperti penyediaan makan bergizi gratis, swasembada pangan, dan pembangunan tiga juta rumah per tahun.
Di sisi lain, defisit anggaran semakin diperberat dengan utang jatuh tempo yang diperkirakan mencapai Rp800 triliun pada 2025, ditambah bunga utang yang totalnya sekitar Rp1.350 triliun. Pemerintah, akhirnya, kata dia, harus mencari sumber pendapatan baru, termasuk dari pajak, untuk menutup kebutuhan tersebut.
Karena itu, ia mengingatkan pemerintah agar tidak hanya memikirkan kebutuhan fiskal, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat.
Ia menjelaskan, Kenaikan PPN berisiko menyedot likuiditas dari masyarakat, mengganggu konsumsi rumah tangga, dan berujung pada penurunan penerimaan pajak lainnya, seperti PPh dan bea cukai. Kebijakan tersebut bahkan bisa dianggap sebagai langkah egois karena lebih mementingkan stabilitas kas pemerintah daripada kesejahteraan rakyat.
Dalam analisisnya , jika konsumsi rumah tangga terus menurun akibat kenaikan PPN, kelas menengah yang menjadi motor ekonomi justru akan semakin berhemat, mengurangi pengeluaran, dan memperlambat laju perekonomian.