PARBOABOA, Jakarta - Indeks kemacetan Jakarta diperkirakan meningkat tahun ini, setelah sempat menurun saat pandemi 2020 hingga 2022.
Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyebut, indeks kemacetan Jakarta tahun ini diperkirakan meningkat melebihi tahun 2019 yang mencapai 53 persen. Sebagian besar kemacetan disebabkan banyaknya kendaraan pribadi di ruas jalanan Ibu Kota.
Bahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah sepeda motor di Jakarta mencapai 17,3 juta unit, sementara kendaraan roda empat berjumlah 3,7 juta unit. Ditambah perilaku warga Jakarta yang masih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi publik untuk beraktivitas sehari-hari.
Warga beralasan mengendarai kendaraan pribadi lebih efektif dan efisien dibandingkan naik transportasi publik.
Seperti yang diceritakan Danu (24), seorang pekerja swasta di DKI Jakarta. Danu menyebut, dirinya setiap hari mengendarai motor dari rumahnya di kawasan Pesing Poglar menuju kantornya di daerah Kapuk Cengkareng, Jakarta Barat.
“Alasan naik motor karena efisiensi waktu, lebih cepat. Ogah transit, kemana-mana lebih fleksibel,” ujar Danu kepada Parboaboa.
Apalagi, lanjut Danu, akses transportasi publik di rumahnya agak sulit. Ia memerlukan waktu sekitar 10 menit berjalan kaki untuk naik angkutan umum (angkot), kemudian sekitar 15 menit menuju stasiun kereta rel listrik (KRL) terdekat dan 20 hingga 25 menit ke Halte Transjakarta.
“Angkot dari rumah harus jalan kaki dulu 10 menit. Di lampu merah Pesing, itu rutenya dari Cengkareng ke Kota doang ya. Dulu mah banyak, ada kopaja, metromini, cuma kan sekarang udah enggak ada,” jelasnya.
Danu mengaku akan beralih menggunakan transportasi publik jika layanannya sudah terintegrasi antara KRL, Transjakarta, dan angkot. Sehingga warga tidak perlu menunggu lama dan harus naik ojek daring yang tarifnya semakin mahal.
“Mau (beralih ke transportasi publik), kalo udah pakai sistem transit oriented development (TOD). Jadi, KRL, Transjakarta, dan angkot transit. Turun ada semua,” tegas Danu.
Pekerja swasta lain yang juga pengendara sepeda motor, Zeinal Wujud (26) mengaku lebih memilih mengendarai motor dari rumahnya di Ciracas, Jakarta Timur ke kantornya di Grogol, Jakarta Barat dengan alasan lebih cepat.
“Naik motor lebih cepat, walaupun macet. Enggak turun naik, sampai kantor ya waktunya 1 jam. Kalo naik kereta kan harus ke Tanah Abang dulu, terus naik gojek lagi dari stasiun bisa menghabiskan waktu 1,5 sampai 2 jam,” jelasnya.
Alasan lainnya, lanjut Zeinal, mahalnya ongkos yang harus ia keluarkan jika menggunakan transportasi publik. Apalagi jarak rumahnya ke stasiun KRL terdekat sekitar 5 kilometer dan harus ditempuh dengan kendaraan umum atau ojek daring yang menghabiskan sekitar Rp20 ribu.
“Naik kereta Rp3 ribu. Dari stasiun ke kantor naik gojek lagi Rp20 ribu. Total kalo pulang-pergi habis Rp86 ribu. Kalo naik motor ngisi full (penuh, red) Rp30 ribu udah bisa buat 4 hari,” jelasnya.
Zeinal juga mengeluhkan layanan transportasi publik di Jakarta, karena di sekitar rumahnya di Ciracas, angkot kerap ngetem mencari setoran sehingga tidak ringkas dan lama.
Tidak hanya itu, Zeinal juga tak nyaman menggunakan KRL saat berangkat dan pulang kerja karena kondisinya yang penuh dan harus transit dulu.
Lebih lanjut, Zeinal mengaku bersedia beralih ke transportasi publik bila pelayanannya sudah baik.
“Mau (beralih ke transportasi publik), kalo angkot enggak lagi ngetem, KRL gak padat,” tegasnya.
Pemerintah Diminta Perbaiki Transportasi Publik
Masih banyaknya masyarakat yang enggan beralih ke transportasi umum untuk mengurai kemacetan juga dikritisi Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno.
Ia meminta pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memperbaiki layanan transportasi publik untuk mengurai masalah kemacetan di Ibu Kota.
Perbaikan tersebut, lanjut Djoko, agar warga mau beralih dari kendaraan pribadi dan menggunakan transportasi publik.
"Kemacetan di Jakarta mayoritas berasal dari kendaraan pribadi sebesar 52,9 persen dan akses transportasi publik hanya 21,3 persen," katanya.
Djoko mengungkapkan, perbaikan layanan juga harus diikuti daerah-daerah penyanggah Ibu Kota seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, karena DKI Jakarta tidak bisa mengatasi kemacetan sendiri.
"Baru dua daerah yang memiliki angkatan umum yaitu Kota Bogor dan Kota Tangerang. Dan itu sebenarnya sudah berjalan di masa BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek). Sebelum pandemi, BPTJ selalu mampu memberikan dukungan dalam bentuk rekomendasi yang berdasarkan bukti (based on evidence) dan juga pengkondisian opini publik," jelasnya.
Sebelumnya, Djoko mengatakan, pemerintah daerah harus memfasilitasi aksesibilitas ke kawasan permukiman dan komersial untuk memberikan kemudahan pengguna kendaraan umum seperti LRT, KRL atau Transjakarta.
“Itu tugas dari Pemda, tapi Pemda bilang enggak punya duit, tapi kok kepala daerahnya kena korupsi ya? Lah duitnya kemana?” imbuhnya.