PARBOABOA, Simalungun – Jalan menuju wilayah adat Sihaporas cukup terjal. Banyak pepohonan pinus yang tumbang.
Di beberapa ruas, campuran tanah liat dan kerikil terlihat berseliweran. Tak satupun pecahan aspal yang tersisa.
Sudah beberapa tahun terakhir, aktivitas PT. Toba Pulp Lestari (TPL) hilir mudik di wilayah tersebut.
Secara geografis, Desa Sihaporas berada sekitar 2 kilometer dari jalan raya provinsi menuju Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
Sejumlah informasi menyebutkan, wilayah tersebut telah ada sejak 1800-an dan mendapat pengakuan dari Raja Siantar Marga Damanik, Tuan Sipolha Marga Damanik dan Tuan Tanah Jawa Marga Sinaga.
Menurut kesaksian Mangitua Ambarita selaku Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (LAMTORAS Sihaporas), Desa Sihaporas juga mendapatkan pengakuan dari kolonial Belanda sejak 1913.
Bentuk pengakuan itu teraktualisasi dalam penerbitan peta enclave pada 1916 yang mencatut wilayah adat Sihaporas.
Bahkan, lanjut Mangitua, Belanda juga memberikan tiga nama istimewa untuk wilayah adat masyarakat Sihaporas.
“Di masa belanda ada 3 sebutan untuk desa Sihaporas, yaitu; Sihaporas Bolon, Sihaporas dan Sihaporas Negeri Dolok,” ujarnya kepada PARBOABOA, Jumat (24/05/24).
Catatan sejarah tersebut membuktikan bahwa Sihaporas merupakan wilayah adat yang telah mendapatkan pengakuan sejak zaman dahulu.
Saat ini, masyarakat Sihaporas tinggal di posko karena sedang melangsungkan ritual Manganjab. Ritual tersebut dibuka secara resmi pada 22 Mei lalu.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, selama Manganjab berlangsung, tidak boleh ada seorang pun yang melakukan kegiatan di luar rumah, khususnya berladang.
Ritual ini dilakukan untuk memohon kesuburan atas tanah guna memperoleh hasil panen yang melimpah.
Selain Manganjab, masyarakat adat di Desa Sihaporas juga memiliki 7 ritual lain yang dilaksanakan secara turun temurun sejak dahulu.
Ritual-ritual tersebut, antara lain Patarias Debata Mulajadi Nabolon, Raga-raga Na Bolak Parsilaonan, Mombang Boru Sipitu Suddut, Manganjab, Ulaon Habonaran I Partukkoan, Pangulu Balang Parorot, dan Manjuluk.
Thomson Ambarita (40) menyebutkan bahwa ritual adat umumnya ditentukan berdasarkan penanggalan pada kalender Batak.
Di samping itu, ia juga menjelaskan, setiap ritus adat harus dijalankan secara sungguh-sungguh oleh semua warga desa.
Mereka percaya, apabila menjalankan ritual adat dengan baik, maka akan mendatangkan hal baik bagi kelangsungan masyarakat adat desa Sihaporas.
Sebaliknya, apabila tidak dijalankan atau dijalankan tidak sesuai ketentuan tradisi, maka masyarakat akan memperoleh hal-hal buruk, bahkan malapetaka.
“Seandainya ritual itu tidak dilakukan, pasti ada bahaya yang datang ke kita. Entah itu kemerosotan ekonomi, penyakit, dan sebagainya,” ujarnya kepada PARBOABOA (24/05/24).
Meskipun memiliki keyakinan kuat dengan ritus adat, hal tersebut tidak mengurangi iman masyarakat terhadap agamanya masing-masing.
Mereka mengintegrasikan kekayaan budaya dengan iman kepada Tuhan. Bagi mereka, agama dan budaya sesungguhnya bisa saling hidup bergandengan tanpa perlu menafikan satu sama lain.
Peran Hutan dalam Keberlangsungan Masyarakat Adat Sihaporas
Pelaksanaan ritual adat masyarakat Sihaporas tidak terlepas dari keberadaan hutan di wilayah tersebut. Hal ini tampak jelas dalam pelaksanaan Manganjab yang membutuhkan hasil alam.
Sebelum ritual Manganjab dilaksanakan, maka masyarakat sudah seharusnya menyiapkan sejumlah kebutuhan hidup mereka.
Sebab, ketika ritus berlangsung, ada Robu Harangan Tolu Ari, yakni larangan untuk tidak ke ladang selama 3 hari berturut-turut.
Setelah hari ketujuh, masyarakat dapat kembali ke hutan atau yang disebut dengan Manangsang Robu untuk melepaskan pantangan ke alam.
Sementara itu, bahan-bahan yang digunakan dalam prosesi ritual adat berasal dari hasil hutan, seperti Junjung Bohit, Holat, Rudang, Sae-sae, lae-lae ri, Pane Batu dan yang terpenting adalah air suci atau Pangurason.
Air suci yang dimaksud di sini adalah air yang belum disentuh oleh manusia atau bersumber dari mata air yang jauh dari aktivitas manusia.
Lahan Konsesi Perusahaan Mengancam Warisan Adat Masyarakat
Kehadiran PT. TPL di wilayah Sihaporas memberi bahaya yang mengancam keberlangsungan ritual adat masyarakat.
Ancaman tersebut, antara lain dapat dilihat dari persediaan bahan-bahan ritual yang semakin sulit diperoleh lantaran hutan telah diubah menjadi kawasan konsesi industri.
Aek Pangurason atau air suci yang dulunya dengan mudah didapatkan karena hutan adat yang terjaga, kini sangat sulit diperoleh.
Bahan lain seperti ikan Sihaporas juga mulai punah akibat pencemaran limbah pestisida yang mempengaruhi kualitas air sungai.
Selain itu, hilangnya tanaman endemik yang telah digantikan menjadi tanaman eucalyptus secara tidak langsung menghambat keberlangsungan ritual adat.
Demikian halnya pada hari-hari sakral ketika ritus adat sedang berlangsung, aktivitas proyek TPL yang hilir mudik mengganggu kultusnya acara.
Tentu, hal ini bertentangan dengan keyakinan masyarakat Sihaporas bahwa selama ritus berlangsung tidak boleh ada aktivitas di luar rumah.
“Ketika waktu Robu dimana masyarakat tidak menduduki lahan, disitulah kesempatan mereka mondar-mandir membawa alat berat. Jadi sudah berkurang hikmat yang kami rasakan ketika menjalankan ritual,” ungkapnya.
Thomas dan sejumlah masyarakat adat telah berulang kali memberitahu pihak perusahaan terkait aturan tersebut, namun tak diindahkan.
“Kami merasa mereka tidak mungkin tidak mengetahui ritual yang kami lakukan. Sebab, kami juga telah memberitahu bahwa ritual adat akan berlangsung,” ungkapnya.
Persoalan tersebut tentu tidak bisa dianggap sepele. Pihak TPL perlu membangun solidaritas dengan kehidupan masyarakat adat Sihaporas, termasuk penghargaan terhadap tradisi yang mereka lakukan.
Editor: Defri Ngo