Mengurai Benang Kusut Pendidikan Keguruan di Indonesia

Kantor Kemendikbudristek di Kecamatan Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Dhoni)

PARBOABOA, Jakarta - Peran guru sebagai ujung tombak pendidikan di Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata.

Penelitian Bhakti dan Maryani (2016) menegaskan guru bukanlah profesi biasa, melainkan sebuah jabatan profesional yang menuntut berbagai kompetensi, seperti kepribadian, pedagogis dan sosial. 

Di balik pentingnya peran tersebut, ada tantangan besar dalam memastikan kualitas guru yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). 

Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015 silam menampilkan fakta rendahnya kompetensi pedagogis guru. Temuan serupa disampaikan Organization for Economic and Development (OECD).

Menurut OECD sebagaimana dikutip PARBOABOA pada Rabu (15/08/2024), aspek pedagogi mencakup pengembangan kurikulum yang relevan, penggunaan teknologi, serta penerapan teknik penilaian yang efektif.

"Situasi ini pada akhirnya berdampak pada kemampuan calon guru dalam menerapkan metode pengajaran yang efektif di dalam kelas," ungkap OECD.

Pun demikian, banyak lulusan LPTK yang akhirnya bekerja sebagai guru honorer dengan gaji di bawah Rp 300.000 per bulan atau bekerja di sektor yang tidak linear dengan pendidikan mereka.

Di sisi lain, akreditasi LPTK yang seharusnya menjadi indikator mutu, belum tentu menjamin kualitas yang dihasilkan. 

Situasi demikian menempatkan LPTK dalam sorotan sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas rendahnya kompetensi yang dimiliki para lulusan guru.

Jumlah LPTK yang terus bertambah seiring dengan euforia kebijakan sertifikasi guru mencerminkan minat yang tinggi terhadap profesi ini. 

Data SIDIK pada 2016 lalu menunjukkan, Indonesia kini memiliki 429 LPTK, dengan 89,2% di antaranya merupakan LPTK swasta. 

Namun, jumlah yang banyak ternyata tidak sebanding dengan daya serap lapangan kerja, di mana hanya sekitar 40.000 guru yang dibutuhkan setiap tahunnya, sementara LPTK meluluskan lebih dari 300.000 calon guru setiap tahun. 

Menurut riset Simon Sili Sabon dan Widodo (2021), hal tersebut menyingkap "adanya surplus lulusan LPTK yang mencapai lebih dari 260.000 orang setiap tahun."

Surplus lulusan menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya angka pengangguran bagi lulusan LPTK. Pertanyaan pun muncul mengenai kualitas LPTK swasta yang begitu banyak.

Apakah semua LPTK benar-benar memenuhi standar yang diperlukan? Apakah sistem pendidikan keguruan kita telah dievaluasi secara menyeluruh untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja?

Sistem Pendidikan Keguruan

Sistem pendidikan keguruan di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan sejak diterbitkannya Permendikbud No. 87 Tahun 2013 yang mengatur tentang Pendidikan Profesi Guru (PPG). 

Kebijakan ini diharapkan mampu mencetak guru-guru profesional yang siap mengajar di berbagai satuan pendidikan di seluruh negeri.

Sejak implementasi kebijakan tersebut, jalur untuk menjadi seorang guru profesional telah mengalami perubahan mendasar. 

Berdasarkan temuan yang disajikan Pangestika dan Alfariza (2015), terlihat bahwa kini calon guru tidak cukup hanya menyelesaikan pendidikan sarjana. 

Mereka diwajibkan untuk melanjutkan ke program PPG selama satu tahun guna memperoleh gelar guru profesional yang dikenal dengan singkatan "Gr". 

Ini berarti, "lulusan sarjana pendidikan pun belum otomatis dapat diakui sebagai calon guru profesional tanpa melalui PPG," tulis Alfariza. 

Lebih lanjut, lulusan sarjana non-kependidikan pun harus mengikuti program matrikulasi sebelum dapat melanjutkan ke PPG. 

Adapun sistem pembelajaran dalam program studi PPG mencakup workshop, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), dan uji kompetensi. 

Mahasiswa dinyatakan lulus PPG jika memenuhi syarat minimal kelulusan, yaitu 80%. Mereka yang belum mencapai kriteria minimal diberi kesempatan untuk memperbaiki hasil mereka hingga mencapai standar yang ditetapkan.

Dalam praktiknya, rekrutmen guru untuk mengajar di Sekolah Dasar (SD) sering kali masih melibatkan lulusan S1 PGSD, D2 PGSD, atau bahkan mereka yang berlatar belakang pendidikan lain. 

Guru-guru ini direkrut kepala sekolah, pemerintah daerah, atau pemerintah pusat berdasarkan kebutuhan sekolah, meskipun belum memiliki sertifikat pendidik karena belum mengikuti PPG. 

Hal ini menjadi tantangan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Idealnya, rekrutmen guru dilakukan sesuai dengan regulasi yang berlaku, yakni hanya menerima lulusan PPG yang telah tersertifikasi. 

Namun kenyataannya, hingga 2020 lalu, program studi PPG masih membuka pintu bagi guru dalam jabatan yang telah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik. 

Transformasi sistem pendidikan keguruan menjadi langkah penting dalam menciptakan guru-guru yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni, tetapi juga memenuhi standar profesionalisme yang diharapkan masyarakat. 

Bagaimana Kualitas LPTK? 

LPTK merupakan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Namun, kualitas LPTK di Indonesia beberapa tahun terakhir mendapat sorotan utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Menurut Pangkalan Data Dikti (PDDikti) 2020, terdapat 595 LPTK yang tersebar di seluruh Indonesia. 

LPTK ini dikelola oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Dari jumlah tersebut, 43% merupakan PTA, 11,1% adalah PTN, dan 45,9% adalah PTS.

Umumnya, LPTK menyelenggarakan 603 program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), yang jumlahnya bahkan melebihi jumlah LPTK itu sendiri. 

Hal ini dibuat karena beberapa LPTK, seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memiliki kampus PGSD di berbagai lokasi, seperti Sumedang, Purwakarta, Cibiru, dan Serang.

Namun, kualitas LPTK masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan hasil akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BANPT), baru sekitar 40,3% dari seluruh LPTK yang terakreditasi. 

Kondisi demikian menunjukkan masih banyak LPTK yang beroperasi hanya dengan izin operasional dari Ditjen Dikti, tanpa adanya penilaian kualitas yang komprehensif.

Dari 603 program studi PGSD, baru 41,1% yang terakreditasi, dan hanya 11,7% dari program studi yang terakreditasi tersebut yang berhasil meraih nilai A. 

Sebagian besar lainnya, yakni 52,4%, mendapatkan nilai B, sementara 35,9% sisanya hanya memperoleh nilai C. 

Fakta ini menunjukkan banyak LPTK yang belum mampu mencapai standar mutu yang diharapkan.

Lulusan dari LPTK yang bermutu rendah kemungkinan besar akan kesulitan dalam persaingan di dunia kerja, dan jika mereka berhasil menjadi guru, maka mereka hanya akan menghasilkan anak didik dengan prestasi yang minim.

Kondisi ini menjadi lebih kritis mengingat bahwa untuk menjadi guru profesional, lulusan sarjana pendidikan harus mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG). 

Hingga kini, hanya 126 LPTK (21,2%) yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program studi PPG. 

Sementara, dari 145 program studi PPG yang ada, baru 24,8% yang telah terakreditasi oleh BANPT, dan semuanya hanya memperoleh nilai B. 

Kenyataan tersebut semakin menegaskan bahwa kualitas LPTK, terutama yang menyelenggarakan PPG, masih perlu ditingkatkan secara signifikan.

Tanpa adanya peningkatan kualitas di lembaga-lembaga LPTK, upaya untuk mencetak guru-guru berkualitas yang mampu mengajar dengan kompetensi tinggi akan terus menghadapi tantangan besar. 

Opsi Kebijakan 

Dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan keguruan di Indonesia, pemerintah pusat perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan peningkatan kualitas guru dan LPTK. 

Simon Sili Sabon dan Widodo (2021) menyarankan setidaknya tujuh kebijakan praktis yang perlu dilakukan pemerintah, antara lain:

Pertama, penegakan regulasi rekrutmen guru. Menurut Sabon dan Widodo, pemerintah harus secara ketat mengimplementasikan undang-undang yang mengatur rekrutmen guru. 

Dalam undang-undang tersebut, jelas disebutkan bahwa hanya calon guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang layak direkrut. Namun, selama ini regulasi tersebut sering diabaikan tanpa adanya sanksi yang tegas. 

Konsekuensinya, banyak guru yang dipekerjakan tanpa sertifikat pendidik, sehingga membebani anggaran pemerintah karena mereka harus menjalani program Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk mendapatkan sertifikat tersebut. 

Oleh karena itu, "rekrutmen guru harus disesuaikan dengan ketentuan undang-undang, yakni hanya menerima lulusan program studi PPG." tulis Simon dan Widodo.

Kedua, sosialisasi program PPG. Sosialisasi secara masif perlu dilakukan untuk menyadarkan masyarakat bahwa menjadi guru profesional memerlukan partisipasi dalam program PPG setelah menyelesaikan pendidikan sarjana. 

Hal ini penting untuk memastikan bahwa calon guru sudah memiliki pemahaman yang jelas tentang langkah-langkah yang harus diambil untuk meraih profesi tersebut.

Ketiga, akreditasi LPTK. Menurut Simon dan Widodo, LPTK yang beroperasi hanya berdasarkan izin operasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu didorong untuk segera mengajukan akreditasi. 

Mereka harus diberi waktu, misalnya satu tahun, untuk mengajukan akreditasi. Jika dalam jangka waktu yang ditetapkan, mereka tidak melakukan pengajuan akreditasi, izin  penyelenggaraan program studi tersebut sebaiknya dicabut.

Demikian pula, program studi yang hanya memiliki akreditasi C harus diberi kesempatan selama empat tahun untuk meningkatkan status akreditasinya. 

"Jika dalam waktu yang diberikan tidak ada peningkatan, izin operasionalnya juga harus dihentikan."

Keempat, pemenuhan standar dosen. LPTK yang masih memiliki dosen tetap yang tidak memenuhi standar kualitas dan kuantitas harus diberi waktu satu tahun untuk memenuhi standar tersebut. 

"Jika dalam waktu yang ditetapkan tidak ada perbaikan, izin operasional program studi tersebut harus dicabut," jelas Simon dan Widodo. 

Selain itu, tulis keduanya "LPTK yang memiliki rasio mahasiswa-dosen (RMD) lebih dari 50 harus melakukan perbaikan dalam manajemen penerimaan mahasiswa baru." 

LPTK harus menyeimbangkan jumlah mahasiswa dengan daya tampung dan jumlah dosen agar tidak menciptakan pengangguran intelektual atau menghasilkan calon guru dengan mutu yang rendah.

Kelima, efisiensi beban dosen. Beban kerja dosen yang terlalu ringan dapat menjadi beban bagi anggaran LPTK karena biaya operasional yang tinggi. 

Oleh karena itu, "perlu dibuat kesepakatan dalam proses rekrutmen dosen bahwa jika beban kerjanya tidak memadai, mereka harus bersedia untuk dipotong gajinya atau dihadapkan pada pemutusan hubungan kerja (PHK)."

Keenam, peningkatan mutu input mahasiswa. Minat lulusan sekolah menengah untuk masuk ke LPTK sudah cukup tinggi. Hal ini menjadi peluang bagi LPTK untuk menjaring calon guru yang unggul secara akademis. 

Namun, seleksi masuk tidak cukup hanya mengandalkan tes tertulis, tetapi "perlu dikombinasikan dengan tes wawancara untuk memastikan bahwa calon mahasiswa benar-benar memiliki passion dalam profesi guru." 

Simon dan Widodo mencontohkan kondisi di Singapura, di mana Ditjen GTK dapat menyeleksi siswa-siswi terbaik di sekolah menengah dan menawarkan program beasiswa untuk memotivasi mereka menjadi guru.

Ketujuh, peningkatan mutu magang. Praktik baik dari sistem magang di India dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. 

Praktik tersebut meliputi mekanisme bimbingan dan pengawasan yang intensif oleh dosen pembimbing selama seminggu saat mahasiswa melakukan magang. 

Pengawasan yang lebih ketat dapat memastikan bahwa calon guru mendapatkan pengalaman yang berkualitas selama masa magang mereka.

Melalui penerapan kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan mutu pendidikan keguruan di Indonesia akan meningkat, sehingga menghasilkan guru yang kompeten dan mampu mengajar dengan kualitas yang tinggi.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS