PARBOABOA, Jakarta - Belakangan ini, narasi mengenai bahaya Bisphenol-A (BPA) terhadap kesehatan semakin sering terdengar.
Namun, seiring berkembangnya diskusi mengenai potensi bahaya BPA, hingga kini, belum ada riset yang kuat dan kesepakatan di kalangan ahli yang mendasari pernyataan tersebut.
Di tengah gencarnya pemberitaan, masyarakat pun semakin bingung.
Di sisi lain, kendati banyak yang telah mendengar tentang BPA, namun hanya sedikit yang benar-benar memahaminya dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan mereka.
BPA adalah senyawa kimia yang telah lama digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pertama kali dibuat pada tahun 1891, senyawa ini telah digunakan secara luas dalam berbagai industri, termasuk dalam produk kemasan pangan.
Tak hanya itu, BPA juga ditemukan dalam banyak produk lain seperti tambal gigi, makanan dan minuman kaleng, hingga kertas termal yang sering kita temui pada struk belanja.
Sementara itu, pada air minum, BPA sering dikaitkan dengan kemasan galon berbahan polikarbonat. Belum ada juga laporan kasus penyakit atau masalah kesehatan yang terbukti secara langsung disebabkan oleh kontaminasi BPA dari air minum dalam kemasan tersebut.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam subspesialis Endokrinologi, Metabolisme dan Diabetes, Dr. Laurentius Aswin Pramono, dalam sebuah keterangan pada Senin (26/8/20245) mengkonfirmasi belum adanya penelitian yang secara pasti membuktikan bahwa BPA menyebabkan gangguan kesehatan.
Menurutnya, BPA yang masuk ke dalam tubuh akan diolah oleh hati dan dibuang melalui urine dan feses, sehingga tidak masuk ke dalam sistem peredaran darah. Ini berarti dalam jumlah kecil, kata dia, BPA tidak membahayakan kesehatan.
Keamanan air minum dalam kemasan galon berbahan polikarbonat juga diperkuat oleh hasil penelitian independen dari Kelompok Studi Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB).
Penelitian ini menunjukkan bahwa semua sampel air galon yang diuji aman untuk dikonsumsi, sesuai dengan standar dan regulasi yang ditetapkan pemerintah.
Paparan BPA dari penggunaan galon air minum yang dikonsumsi sehari-hari masih berada dalam batas aman, dengan batas aman BPA menurut Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) adalah 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari.
Penelitian yang dilakukan oleh ITB menggunakan alat ukur canggih, High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang mampu mendeteksi BPA dengan akurasi tinggi.
Hasilnya menunjukkan bahwa BPA tidak terdeteksi dalam sampel air kemasan galon, yang berarti kadar BPA jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI), BPOM, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dr. Akhmad Zainal Abidin, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB, menegaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang kualitas dan keamanan air minum dalam kemasan galon, berdasarkan uji ilmiah yang ketat dan independen.
Ia juga mengingatkan pentingnya memperlakukan galon dengan baik, termasuk menghindarkan galon dari paparan suhu ekstrim. Dengan edukasi yang tepat, tegas dia, masyarakat tidak perlu khawatir mengonsumsi air dari galon setiap hari.
Sebelumnya, pada Juli lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 yang memperbarui ketentuan terkait label pangan olahan.
Dalam peraturan ini, BPOM menambahkan dua pasal baru yang mengatur pelabelan risiko Bisfenol A (BPA) pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK). Produsen diberi waktu empat tahun untuk menyesuaikan dengan aturan baru ini.
Pasal 48A mengharuskan produsen mencantumkan petunjuk penyimpanan yang lebih rinci pada label AMDK, sedangkan Pasal 61A mewajibkan label pada kemasan plastik polikarbonat, yang biasa digunakan pada galon guna ulang, untuk menyatakan potensi pelepasan BPA ke dalam air minum.
Data BPOM menunjukkan bahwa sebagian besar galon air minum di Indonesia terbuat dari polikarbonat, dan ada peningkatan kadar BPA yang terdeteksi pada air minum dalam kemasan ini selama 2021-2022.
Langkah BPOM ini merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh paparan BPA, seperti gangguan hormonal dan risiko penyakit serius lainnya.
Langkah ini sejalan dengan kebijakan di negara-negara lain yang telah melarang penggunaan BPA dalam kemasan pangan, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.
Paparan BPA, terutama dari galon air minum yang digunakan berulang kali, dapat meniru hormon alami dalam tubuh dan mengganggu fungsi sistem endokrin, yang mengatur banyak proses penting seperti pertumbuhan dan metabolisme.
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib menegaskan bahwa meskipun efek paparan BPA mungkin tidak langsung terasa, risiko jangka panjangnya sangat serius.
Oleh karena itu, regulasi BPOM ini, tegasnya dinilai sebagai langkah penting dalam melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang bahaya BPA.
Editor: Gregorius Agung