PARBOABOA, Jakarta - Presiden RI, Joko Widodo punya ambisi yang prestisius untuk mengangkat derajat Indonesia jadi negara maju di 2045.
Cita-cita ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJPN 2025-2045. Bahkan, Bappenas memprediksi masa keemasan itu akan lebih cepat datangnya, yakni di tahun 2038.
Amalia Adininggar Widyasanti, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam sebuah keterangan pada pertengahan Juli tahun ini mengatakan, harapan tersebut akan tercapai dengan memperbaiki pertumbuhan ekonomi dari 5 persen saat ini menjadi 7 persen.
Selain itu, Indonesia, tegasnya, perlu bekerja keras untuk mencapai status negara berpendapatan perkapita tinggi.
Sebagai informasi, Pada tahun 2022, pendapatan perkapita Indonesia mencapai US$ 4.580, meningkat dari US$ 4.140 pada tahun 2021.
Sementara itu, Bank Dunia telah mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas sejak 1 Juli 2023, dengan pendapatan per kapita di atas batas US$ 4.466 - US$ 13.845.
Adapun untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, pendapatan perkapita harus mencapai setidaknya US$ 13.845.
Itu artinya Indonesia perlu meningkatkan pendapatan per kapitanya tiga kali lipat dari angka saat ini pada tahun 2038 nanti.
Untuk mencapai target ini, kata Amalia, Bappenas telah menyusun RPJPN 2025-2045. Strategi tersebut mencakup transformasi menyeluruh di berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk ekonomi, sosial dan tata Kelola pemerintahan.
Ambisi Indonesia menjadi negara maju pernah juga diungkapkan oleh Menteri BUMN, Erick Thohir. Ia menyebutnya, Indonesia akan mengalami piramida terbalik di tahun 2038 karena jumlah generasi tua lebih banyak ketimbang generasi muda.
Kata dia, kondisi ini akan menyerupai Jepang di mana jumlah usia produktif yang semakin sedikit akan terserap di dunia kerja.
Ia menyampaikan bahwa keberhasilan Indonesia dalam menekan inflasi ke level 3% dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5% saat ini patut disyukuri.
Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, pungkasnya situasi ekonomi Indonesia masih relatif terkendali.
Menurut Erick, pencapaian tersebut merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang mendukung iklim investasi di Indonesia, sehingga meningkatkan kepercayaan dari investor lokal dan asing.
Ia menambahkan, pertumbuhan nasional yang solid ini menciptakan persepsi positif - dengan data yang memproyeksikan bahwa pada tahun 2075, Indonesia akan menjadi negara terbesar keempat di dunia.
Mimpi yang sulit tercapai
Cita-cita menjemput keemasan Indonesia menjadi negara maju tampaknya sulit tercapai.
Tak berselang lama dari harapan yang dihembuskan oleh Amalia Adininggar Widyasanti, saat ini terjadi anomali karena kondisi industri manufaktur Indonesia yang terus memburuk.
Belum lama ini, Amalia mengungkapkan kondisi yang tidak menguntungkan itu. Ia mengatakan, kontribusi manufaktur terhadap PDB terus menurun, sebelum Indonesia mencapai status negara berpenghasilan tinggi.
"Kita tua sebelum kaya. Kita tidak menginginkan hal tersebut," tegasnya.
Menurutnya, Indonesia pernah mencapai kejayaan dalam industri manufaktur, dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 32 persen pada tahun 2002. Namun, prestasi tersebut berangsur-angsur hilang. Bappenas mencatat bahwa kontribusi industri manufaktur terus menurun setiap tahun.
"Saat ini, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB kurang dari 20 persen, yang tidak ideal untuk perekonomian Indonesia," katanya menekankan pentingnya Industri manufaktur bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Pada tahun 2020, pertumbuhan PDB sektor manufaktur menurun sebesar 2,93 persen dengan kontribusi 19,88 persen. Lalu pada tahun 2021 pertumbuhan naik menjadi 3,39 persen, meskipun kontribusinya menurun menjadi 19,25 persen.
Pada tahun 2022, pertumbuhan meningkat menjadi 4,89 persen dengan kontribusi 18,34 persen. Pada tahun 2023, sektor ini tumbuh sebesar 4,64 persen dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 18,67 persen.
Di kuartal I-2024, pertumbuhan mencapai 4,13 persen dengan kontribusi 19,28 persen.
Ronny P. Sasmita, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kinerja sektor manufaktur di Indonesia.
Pertama, kemunduran dan ketertinggalan teknologi membuat biaya produksi meningkat sehingga produk menjadi kurang kompetitif.
Kedua, kurangnya dukungan nyata dari pemerintah, seperti insentif untuk pelaku usaha dalam meningkatkan teknologi mereka.
Ketiga, kebijakan perdagangan yang tidak terukur menyebabkan produk impor membanjiri pasar domestik. Keempat, minimnya dukungan untuk riset dan pengembangan produk lokal.
"Akibat dari faktor-faktor ini, produk manufaktur lokal kalah bersaing dengan produk impor, yang harganya lebih murah," kata Ronny.
Pada saat yang sama, daya beli masyarakat menurun karena berbagai faktor internal dan eksternal, membuat mereka lebih memilih produk impor yang lebih terjangkau.
Kondisi ini, lanjutnya berdampak pada penyusutan penciptaan lapangan kerja baru. Terlebih karena sektor manufaktur adalah sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
"Penurunan peran sektor manufaktur akan memperlambat penyerapan tenaga kerja baru," ujarnya.
Oleh karena itu, Ronny menekankan bahwa pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi berbagai masalah yang menghambat perkembangan sektor manufaktur.