PARBOABAO, Jakarta - Di tengah perjuangan panjang melawan Tuberkulosis (TBC) di Indonesia, hadir sebuah inovasi yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi pasien TBC.
Terobosan ini adalah kanal aduan digital bernama LaporTBC, yang memungkinkan komunitas untuk menyampaikan keluhan dan memantau kondisi layanan secara langsung.
Dengan dukungan berbagai pihak, inisiatif ini menawarkan harapan baru dalam penanggulangan TBC yang lebih responsif dan inklusif.
Terbaru, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dan POP TB mengadakan Pertemuan Nasional untuk memperluas dan mengadvokasi Community-Led Monitoring (CLM) Tuberkulosis melalui LaporTBC, di Mangkuluhur Artotel Suites, Jakarta Selatan Selasa (14/01/2025).
Adapun pertemuan ini diadakan untuk memperkenalkan lebih lanjut platform LaporTBC kepada masyarakat luas, agar mereka dapat lebih mudah melaporkan masalah terkait layanan TBC.
Platform ini telah beroperasi sejak Januari 2024 dan hingga Desember 2024 telah menerima lebih dari 427 aduan dari total 8.243 akses.
LaporTBC memungkinkan pasien TBC untuk melaporkan empat jenis masalah utama: stigma dan diskriminasi, aduan enabler, umpan balik layanan, dan layanan konseling.
Ahmad Jajuli, perwakilan dari POP TB Indonesia, menjelaskan bahwa meskipun LaporTBC tidak berfungsi sebagai alat evaluasi atau pengawasan layanan kesehatan, ia tetap menjadi sarana yang sangat penting bagi pasien untuk menyampaikan keluhannya secara langsung.
Setiap aduan yang masuk akan divalidasi dan ditindaklanjuti oleh admin untuk memastikan apakah masalah tersebut masih berlangsung atau sudah selesai.
Namun, meski potensi besar LaporTBC sudah terbukti, sayangnya hanya 1% dari total kasus TBC yang terlaporkan (821.200 kasus di 2023) yang menggunakan platform ini.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun layanan ini sudah tersedia, akses dan pemahaman masyarakat terhadapnya masih terbatas.
Nurliyanti, perwakilan STPI, mengungkapkan bahwa perlu ada pelibatan berbagai pihak, baik nasional maupun subnasional, seperti Sub Recipient (SR), Sub Sub Recipient (SSR), dan Organisasi Penyintas TBC (OPT), serta para kader yang bisa menyosialisasikan LaporTBC lebih jauh lagi ke pasien TBC.
Walau demikian, tantangan utama dalam penggunaan LaporTBC adalah kenyataan bahwa tidak semua pasien TBC memiliki akses atau pemahaman yang cukup tentang teknologi internet.
Oleh karena itu, keterlibatan kader dari SR/SSR sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan data dan melaporkan keluhan pasien secara langsung.
Sebagai contoh, salah satu manajer kasus yang hadir dalam pertemuan ini berbagi pengalamannya,
"Kami bekerja sama dengan SSR di kabupaten, namun ada perbedaan informasi yang kami sampaikan dengan yang disampaikan oleh kader. Hal ini kadang menyebabkan kebingungan pada penerima manfaat mengenai cara menggunakan LaporTBC," jelasnya.
Namun demikian, STPI terus berupaya mengatasi tantangan ini dengan memperkenalkan berbagai alat dan media sosial lainnya seperti pamflet, poster, dan media komunikasi informasi edukasi (KIE) lainnya.
Hal ini bertujuan agar informasi yang disampaikan tentang LaporTBC bisa tersebar merata dan diterima dengan baik oleh semua pihak, tanpa ada miskomunikasi.
Target Eliminasi TBC 2030
Dalam kesempatan yang sama, dr. Henry Diatmo, Direktur Eksekutif STPI, mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki waktu lima tahun untuk mencapai eliminasi TBC pada 2030.
Untuk itu, langkah-langkah cepat harus dilakukan, termasuk dengan penyebarluasan LaporTBC.
"Jika kita ingin melihat dampak yang nyata dalam upaya eliminasi TBC, kita harus mempercepat penyebaran LaporTBC. Kami optimis bahwa dengan strategi ini, kita bisa mewujudkan eliminasi TBC pada 2030," kata dr. Henry.
Pertemuan ini juga menghasilkan rencana tindak lanjut berupa kolaborasi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, organisasi kesehatan, dan komunitas penyintas TBC.
Kolaborasi ini diharapkan dapat memperluas implementasi dan penggunaan LaporTBC di seluruh Indonesia, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas layanan TBC dan memberantas stigma yang sering dialami oleh pasien.
Selain itu, kerja sama ini juga bertujuan untuk memperkuat keterlibatan komunitas dalam program penanggulangan TBC secara lebih efektif.
Sebagai bagian dari upaya memerangi TBC, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai regulasi yang mendukung, termasuk Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Regulasi ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan penanggulangan TBC di tingkat nasional dan daerah, serta memperbaiki akses layanan kesehatan bagi masyarakat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menjadi landasan penting dalam upaya penyediaan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, termasuk pasien TBC.
Menurut data terbaru, pada tahun 2023 tercatat 821.200 kasus TBC di Indonesia. Meski angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tantangan penanggulangan TBC masih sangat besar.
Selain masalah teknis dalam pelayanan kesehatan, stigma sosial dan diskriminasi terhadap pasien TBC juga menjadi kendala yang tidak kalah penting.
Oleh karena itu, LaporTBC diharapkan dapat berfungsi sebagai solusi untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut dengan cara yang lebih transparan dan inklusif.