PARBOABOA, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan kasus mafia tanah tak kunjung usai karena melibatkan orang-orang besar di belakangnya.
"Menguasai (tanah) tanpa hak, terkadang melibatkan orang gede yang juga memiliki klaim," kata Mahfud MD saat rapat koordinasi dengan beberapa tokoh dan kementerian atau lembaga terkait mafia tahan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (19/01/2023).
Mahfud kemudian mencontohkan salah satu kasus mafia tanah yang melibatkan orang besar itu.
Sebelumnya, kasus dugaan penggunaan lahan hak guna usaha (HGU) milik PTPN VIII tanpa izin oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ternyata, pondok pesantren itu adalah milik eks pentolan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
"Sesudah diteliti, dipingit-pingit, banyak lagi orang gede yang punya tanda di situ, pensiunan menteri lah, pensiun jenderal lah, mantan bupati lah. Punya semua di situ. Rumit lagi masalahnya," tutur Mahfud.
Ia mengatakan, untuk saat ini sudah terlalu banyak kasus mafia tanah yang dilaporkan ke pihak terkait, mulai dari kepolisian hingga Kejaksaan Agung, namun rata-rata menemui jalan buntu karena terbentur dengan prosedur atau bukti yang bersifat formal.
"Kan bertingkat dari seluruh Indonesia, di Polri juga lagi banyak masalah, di Kejaksaan Agung banyak. Jadi tim anti mafia tanah itu sudah banyak. Tapi ya itu tadi, selalu mentok pada prosedur-prosedur dan bukti-bukti yang sifatnya formal, sehingga perlu dicari instrumen hukum baru," jelasnya.
Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah kini merencanakan untuk membuat pengadilan khusus yang menangani sengketa tanah dengan terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung (MK). Kemudian nantinya, pemerintah harus memikirkan apakah pengadilan tanah itu masuk ke PTUN atau pengadilan umum.
"Nah, kita masih mau cari jalan terobosan, antara lain tadi, dibuat pengadilan khusus yaitu pengadilan tanah. Tentu kami akan bicara dengan Mahkamah Agung, karena pengadilan itu sudah pakemnya, tetapi prinsipnya kita sudah berpikir harus dibuat instrumen hukum baru" ungkapnya.
Adapun instrumen baru itu, lanjutnya, bisa dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau Undang-Undang.
"Kami bicara dulu dengan Mahkamah Agung. Yang penting kami bicara dulu wujudnya kayak apa, lalu bajunya nanti apakah perppu, atau undang-undang, kita nanti lihat," pungkasnya.