Apakah Laki-Laki Dapat Menjadi Korban Kekerasan Seksual?

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap laki-laki (Foto: Daniel Reche_Kreator/Pexels)

PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan seksual seringkali diasosiasikan dengan perempuan sebagai korban. Namun, dalam kenyataan, laki-laki juga dapat menjadi korban kekerasan seksual. 

Laporan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID pada 2020 menyebut, sekitar 33% laki-laki pernah menjadi korban kekerasan seksual, terutama dalam bentuk pelecehan seksual.

Sementara itu, riset Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dengan melibatkan 62.224 responden memperlihatkan, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. 

Fakta tersebut sangat menarik mengingat laki-laki jarang dianggap sebagai korban kekerasan seksual. Keberadaan mereka justru lebih sering dipersepsi sebagai pelaku. 

"Meskipun kemungkinan laki-laki mengalami kekerasan seksual lebih kecil, banyak kasus yang tidak terungkap ke ruang publik," tulis Bestha Inatsan Ashila dan Naomi Rehulina Barus (2023). 

Alasannya, laki-laki cenderung tidak melaporkan kejadian tersebut, sehingga data tentang kekerasan seksual yang menimpa mereka sering kali diabaikan.

"Kasus kekerasan seksual yang dialami laki-laki masih jarang terungkap karena berbagai faktor, seperti stigma sosial, minimnya pemahaman, dan hambatan hukum."  

Laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual seringkali menghadapi hambatan untuk melaporkan kasus mereka karena terbelenggu rasa malu dan takut dianggap lemah.

Selain itu, stereotip gender yang menganggap bahwa laki-laki selalu kuat dan mampu melindungi diri juga menjadi salah satu penyebab korban enggan berbicara.

Padahal, dalam konteks perlindungan hukum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk yang dialami laki-laki. 

Namun, implementasi UU TPKS masih menghadapi berbagai kendala. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai kekerasan seksual pada laki-laki. 

Banyak korban merasa tidak ditanggapi serius saat melaporkan kasus mereka, bahkan ada yang justru mendapat perlakuan yang memperparah trauma.

Selain itu, minimnya layanan psikososial yang mendukung pemulihan laki-laki korban kekerasan seksual juga menjadi masalah tersendiri. 

Lembaga-lembaga pendampingan korban kekerasan seksual lebih banyak berfokus pada perempuan, sehingga laki-laki seolah merasa tidak memiliki tempat untuk mencari bantuan.

Padahal, mereka juga mengalami berbagai reaksi psikologis yang sama dengan perempuan seperti depresi, kemarahan, rasa bersalah, disfungsi seksual, trauma, hingga keinginan bunuh diri.

"Korban laki-laki juga menghadapi masalah lain seperti peningkatan perasaan tidak berdaya, citra diri yang rusak, dan munculnya jarak emosional dengan orang-orang di sekitarnya," tulis Bestha Inatsan Ashila dan Naomi Rehulina Barus. 

Tak jarang, laki-laki korban perkosaan justru menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpanya, karena merasa telah memberi peluang kepada pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.

Ubah Paradigma

Perubahan paradigma mengenai kekerasan seksual sangat dibutuhkan agar semua korban, baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum. 

Pemerintah dituntut untuk melakukan edukasi terhadap masyarakat mengenai kekerasan seksual terhadap laki-laki, mulai dari sekolah hingga lingkungan kerja. 

Aparat penegak hukum juga harus diberikan pelatihan khusus agar lebih peka dan responsif terhadap laporan kasus kekerasan seksual yang melibatkan laki-laki sebagai korban.

Selain itu, diperlukan peningkatan akses terhadap layanan pendampingan bagi laki-laki korban kekerasan seksual, termasuk layanan konseling yang bersifat ramah laki-laki, dukungan hukum, serta rehabilitasi psikososial. 

Sebab, korban laki-laki memiliki kebutuhan yang berbeda dari korban perempuan dan seringkali merasa enggan untuk membahas kekerasan seksual yang dialaminya serta dampak yang ditimbulkan.

Selanjutnya, penyintas kekerasan seksual dianjurkan untuk berkonsultasi dengan crisis center atau ahli yang kompeten untuk mengusut persoalan tersebut.

Sebagian besar penyedia layanan memang dikelola oleh perempuan, namun biasanya juga memiliki konselor pria dan perempuan. 

Layanan konseling dapat membantu korban mengatasi reaksi fisik dan emosional yang mereka alami serta memberikan informasi yang diperlukan mengenai prosedur medis dan proses hukum. 

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan semakin banyak korban yang berani untuk berbicara dan menuntut keadilan terkait kejadian yang menimpa dirinya sendiri.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS