Kondisi Self-Harm di Indonesia

Kondisi Self-harm di Indonesia. (Foto:Situs halodoc)

PARBOABOA, Jakarta - Self-harm, atau tindakan menyakiti diri sendiri, adalah fenomena yang semakin banyak terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda di Indonesia.

Tindakan ini sering kali dilakukan tanpa niat untuk bunuh diri, tetapi lebih sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit emosional.

Namun, dampaknya bisa sangat merugikan, baik secara fisik maupun mental.

Apa Itu Self-Harm?

Self-harm adalah tindakan melukai diri sendiri secara sengaja. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti memotong kulit, membakar diri, memukul diri sendiri, atau bahkan mengonsumsi zat berbahaya.

Meskipun tindakan ini mungkin tampak ekstrem, bagi banyak orang yang melakukannya, self-harm adalah cara untuk mengatasi perasaan yang terlalu sulit untuk dihadapi.

Mereka mungkin merasa tidak ada cara lain untuk mengekspresikan atau mengurangi rasa sakit emosional yang mereka rasakan.

Sementara, World Health Organization (WHO), mendefinisikan self-harm sebagai perilaku di mana seseorang dengan sengaja menyakiti tubuhnya sendiri sebagai bentuk ekspresi untuk menghadapi masalah emosional yang tidak dapat diatasi.

Self-harm sering kali tidak terkait langsung dengan keinginan untuk bunuh diri, meskipun dapat meningkatkan risiko untuk tindakan tersebut.

Sedangkan, American Psychological Association (APA), mengartikan self-harm, sebagai  tindakan menyakiti diri sendiri dengan sengaja tanpa niat untuk bunuh diri.

Hal ini termasuk tindakan seperti memotong, membakar, atau melukai tubuh sendiri dengan tujuan untuk mengatasi perasaan emosional yang sulit atau mendapatkan rasa kontrol atas situasi yang dirasakan.

Penyebab Self-Harm

Penyebab self-harm bervariasi dari individu ke individu, tetapi beberapa faktor umum meliputi:

Pertama, Gangguan Mental. Kondisi seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD) seringkali terkait dengan self-harm.

Orang yang mengalami gangguan ini mungkin merasa terbebani oleh perasaan mereka dan menggunakan self-harm sebagai pelarian.

Kedua, Tekanan Sosial. Remaja dan dewasa muda sering kali merasa tertekan untuk memenuhi harapan sosial yang tinggi.

Ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi ini bisa memicu rasa frustasi dan putus asa yang kemudian memicu self-harm.

Ketiga, Pengalaman Traumatis. Mereka yang telah mengalami kekerasan fisik, emosional, atau seksual sering kali merasa tidak berdaya dan menggunakan self-harm.

Ilustrasi bullying, salah satu contoh penyebab self-harm. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Langkah ini sebagai salah satu cara untuk mengendalikan setidaknya satu aspek dari hidup mereka.

Keempat, Kurangnya Dukungan.Individu yang merasa sendirian atau tidak didukung oleh keluarga dan teman lebih rentan untuk melakukan self-harm.

Ketika mereka merasa tidak ada orang yang bisa diajak bicara, self-harm menjadi cara mereka untuk mengungkapkan rasa sakit mereka.

Dampak Self-Harm

Self-harm membawa berbagai konsekuensi serius, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Akibatnya tidak hanya dirasakan oleh individu yang melakukannya tetapi juga oleh orang-orang di sekitarnya.

Pertama, Kerusakan Fisik. Luka yang disebabkan oleh self-harm bisa meninggalkan bekas yang permanen. Infeksi adalah risiko yang sering terjadi jika luka tidak dirawat dengan benar.

Dalam kasus yang ekstrem, self-harm bisa menyebabkan cedera serius atau bahkan kematian tidak disengaja.

Kedua, Masalah Mental yang Lebih Dalam. Meskipun self-harm mungkin memberikan kelegaan sementara, itu tidak menyelesaikan masalah mendasar.

Sebaliknya, kebiasaan ini bisa memperburuk kondisi mental individu, menyebabkan spiral ke bawah ke arah depresi yang lebih parah atau pikiran untuk bunuh diri.

Ketiga, Isolasi Sosial. Orang yang melakukan self-harm sering kali merasa malu atau takut akan penilaian dari orang lain, yang dapat menyebabkan mereka menarik diri dari hubungan sosial.

Isolasi ini hanya memperburuk perasaan kesepian dan putus asa.

Kondisi di Indonesia

Meskipun self-harm sering kali sulit dideteksi dan dilaporkan, data menunjukkan bahwa fenomena ini sedang meningkat di Indonesia.

Menurut laporan WHO, sekitar 6,3% remaja di Indonesia pernah melakukan self-harm setidaknya sekali dalam hidup mereka.

Angka ini menunjukkan bahwa self-harm adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih dari masyarakat dan pemerintah.

Sementara berdasarkan survei nasional oleh Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2022, prevalensi self-harm pada remaja usia 15-24 tahun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 7-10%.

Ini berarti sekitar 7 hingga 10 dari setiap 100 remaja pernah melakukan self-harm setidaknya sekali dalam hidup mereka.

Tekanan akademik, konflik keluarga, dan akses mudah ke informasi tentang self-harm melalui internet dianggap sebagai faktor pemicu utama.

Diketahui, beberapa alasan self-harm sering dilakukan oleh remaja. Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “Psikologi Perkembangan-Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima)”, masa remaja dikenal sebagai usia penuh masalah.

Pertama, sepanjang masa kanak-kanak hingga awal remaja, sebagian besar masalah mereka diselesaikan oleh orangtua atau guru.

Akibatnya, banyak remaja yang tidak memiliki pengalaman dalam menghadapi masalah mereka sendiri.

Kedua, remaja sering merasa sudah mandiri dan ingin menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, termasuk orangtua.

Namun, ketika mereka gagal mencapai penyelesaian yang diharapkan, mereka menjadi stres dan tertekan.

Tekanan ini akhirnya membuat mereka bingung dan tidak tahu cara melampiaskannya dengan baik.

Walaupun demikian Self-harm kenyataanya bisa dilakukan siapa saja tidak hanya rewaja.

Hal ini seperti yang diungkapkan dalam laporan khusus PARBOBOA, Senin, (26/08/2024).

Bahkan dari laporan yang sama, Self-harm juga terjadi bukan hanya pada mereka yang tidak beruntung secara ekonomi atau sosial.

Anak-anak dari kalangan super kaya (super rich) ternyata juga ada yang terjebak dalam perilaku ini.

Menurut psikolog Ratih Ibrahim, meskipun mereka memiliki segalanya, ada di antara mereka yang tetap merasa kesepian dan hidupnya tidak berarti.

Dengan segala kemewahan yang mereka miliki, mereka kehilangan rasa tertantang dalam hidup, yang akhirnya membuat mereka putus asa dan mencari pelarian.

Jalan Keluar

Mengatasi self-harm membutuhkan pendekatan yang holistik, melibatkan individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pertama, Pendidikan dan Kesadaran. Meningkatkan kesadaran tentang self-harm melalui kampanye edukasi di sekolah, komunitas, dan media massa sangat penting.

Pendidikan ini harus mencakup tanda-tanda self-harm, cara berbicara dengan orang yang mungkin terlibat dalam self-harm, dan bagaimana mencari bantuan.

Kedua, Dukungan Keluarga dan Teman. Keluarga dan teman sangat berperan dalam memberikan dukungan bagi individu yang terlibat dalam perilaku self-harm.

Mendengarkan tanpa menghakimi dan menunjukkan kasih sayang bisa sangat membantu.

Menciptakan lingkungan yang mendukung dan terbuka untuk diskusi adalah langkah pertama dalam pencegahan.

Ketiga, Akses ke Layanan Kesehatan Mental. Memperluas akses ke layanan kesehatan mental, terutama di daerah pedesaan, dapat membantu mereka yang membutuhkan.

Konseling, terapi, dan, dalam beberapa kasus, pengobatan, dapat membantu individu mengatasi masalah yang mendasari self-harm.

Keempat, Pendekatan di Sekolah. Sekolah dapat memainkan peran kunci dalam pencegahan self-harm dengan menciptakan program pencegahan dan mendukung siswa yang mengalami masalah mental.

Program ini bisa mencakup konseling, peer support, dan pendidikan tentang kesehatan mental.

Kelima, Kebijakan Pemerintah. Pemerintah dapat berperan dengan mengembangkan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan self-harm.

Ini termasuk penyediaan dana untuk layanan kesehatan mental dan pelatihan bagi tenaga medis dan guru untuk mengenali tanda-tanda self-harm.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS