PARBOABOA, Jakarta - Suasana di Jalan Syahdan, Palmerah pada Selasa (21/08/2024) malam tampak gaduh. Kendaraan lalu lalang. Para pengamen keluar masuk warung makan.
Joko (21) berdiri mematung di depan gerai es krim ternama. Tangannya memegang kantong sambil menadah ke arah pengunjung. Dari beberapa yang keluar, hanya seorang remaja yang memberi selembar uang dengan wajah gusar.
Ia kemudian berjalan ke arah warung terdekat dan kembali menadahkan kantong ke pelanggan. Tidak satu pun dari mereka yang mengulurkan tangan dan memberi uang.
Joko tentu tak sendiri. Dua orang lelaki berusia sebaya berdiri di belakangnya. Seorang memutar musik dan seorang lain mengenakan ornamen ondel-ondel.
Sudah dua tahun berlalu, ketiganya menghabiskan waktu di jalan sebagai pengamen. Sebelum beralih ke ngamen ondel-ondel, mereka pernah menjadi penyanyi jalanan.
Ondel-ondel dipilih sebagai sarana, karena selain lebih praktis, tetapi menjadi upaya melestarikan budaya Betawi. Ketiganya memotret gambaran mengenai minimnya pelestarian tradisi tersebut.
"Main [ondel-ondel] ini biar bisa lestarikan budaya bang. Biar budaya kita tetap hidup," pungkas Joko kepada PARBOABOA, Selasa (21/08/2024).
Sependek pemahaman mereka, ondel-ondel merupakan warisan budaya Betawi yang digunakan sebagai hiburan saat acara pernikahan. Warisan tersebut sudah jarang dipentaskan seperti dahulu.
"Ia, dulu kan banyak sekali bang. Kita kalau ke pesta selalu ada ondel-ondel. Sekarang mah susah banget. Paling kami yang sering main," tambah Joko dengan tatapan lesu.
Meski demikian, Joko tidak menutup mata terhadap alasan lain. Tuntutan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi pertimbangan penting.
“Jelas nyari duit untuk makan juga bang. Lumayanlah buat beli lauk, bayar kontrakan, juga kebutuhan hidup lain. Pokoknya untuk sedikit-sedikit,” jelas Joko.
Pendapatan mereka dari mengamen tak seberapa. Joko menyebut kisarannya cukup bervariasi, tergantung kerja keras dan pemberian orang.
Jika beruntung, mereka bisa mengumpulkan sekitar Rp 100.000,00 per orang. Namun, ketika sedang kurang beruntung, hasilnya bisa turun hingga Rp 30.000,00 per orang.
"Semua tergantung situasi sih bang. Ada orang yang baik itu bisa beri sampai dua puluh ribu. Tapi yang lain bahkan hanya lima ratus rupiah. Jadi tergantung kebaikan orang saja."
Joko mengisahkan, kadang ada orang yang sungguh mengapresiasi kerja keras mereka. Anak-anak kecil dan orang tua masuk dalam kategori ini. Sementara yang muda bertindak sebaliknya.
Pernah sekali, gerombolan anak muda menghalang-halangi mereka ketika hendak ngamen. Gerombolan tersebut mencibir penampilan ondel-ondel yang dinilai lucu.
Peristiwa itu bukan nasib sial pertama. Beberapa kali mereka bahkan jadi target pihak keamanan. Alasannya karena mengganggu ketertiban lalu lintas.
Padahal, tutur Joko "kami tidak masuk ke tengah jalan kalau ngamen. Kan kami jalan di pinggir. Heran ya kalau mereka harus ngejar kami. Apa alasannya?"
Ia lantas mengutarakan harapan agar mereka dilindungi saat ngamen. Perlindungan itu dilakukan misalnya dengan memberi izin resmi terhadap aktivitas mereka.
“Maunya sih enggak ditangkep-tangkepin, Bang. Makanya kasih izin aja, bang. Kalau bisa, dukung biar Betawi nggak punah,” ungkap Joko menutup percakapan.
Komodifikasi Budaya
Ondel-ondel adalah satu dari delapan Ikon Budaya Betawi berupa boneka besar dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan diameter sekitar 80 cm.
Boneka ini diangkat menjadi warisan budaya yang dilindungi dan dilestarikan melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2017.
Filosofi di balik ondel-ondel melambangkan kekuatan yang mampu menjaga keamanan, ketertiban, keberanian, ketegasan, kejujuran, serta penolakan segala bentuk manipulasi.
Ondel-ondel memiliki nama asli "barungan" yang awalnya berfungsi sebagai penolak bala dari gangguan roh halus yang sering menghantui masyarakat.
Praktisnya, "sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, selalu diadakan ritual sesajen. Oleh karena itu, pembuatan ondel-ondel tidak bisa sembarangan," ungkap Bambang, anggota Komunitas ondel-ondel Jakarta.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini telah mengalami perubahan dan lebih banyak dijadikan hiburan yang menarik, termasuk dalam fenomena ngamen.
"Peran ondel-ondel sebagai budaya Betawi dan kesenian mengalami pergeseran menjadi alat yang bernilai ekonomis," pungkas M. Arifin Ritani Noor dan Tatang Yusup (2023) dalam sebuah penelitian.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Khotibi Achyar, mengungkapkan bahwa fenomena ondel-ondel yang digunakan untuk ngamen perlu ditinjau kembali. Jika tidak, Pemprov DKI Jakarta bisa dianggap gagal dalam membina masyarakat.
Khotibi menyarankan untuk dilakukan penertiban dan pembinaan secara rutin dan terukur agar warisan budaya Betawi ini tetap terjaga sesuai pakem yang benar.
Menurut Khotibi, pembinaan yang maksimal akan memberikan harapan bagi sanggar-sanggar resmi untuk terus melestarikan ondel-ondel.
Selain itu, perlu ada tindakan tegas terhadap oknum yang memanfaatkan ondel-ondel untuk ngamen, agar tidak terjadi penyelewengan yang semakin meluas dan mengabaikan nilai-nilai budaya.
Fenomena ngamen ondel-ondel yang semakin marak juga berdampak pada hilangnya identitas asli kampung ondel-ondel di Jl. Kembang Pacar, Kramat Pulo, Jakarta Pusat, yang dulu dikenal luas.
Di kawasan tersebut, ondel-ondel bisa ditemukan dalam berbagai ukuran, mulai dari mini hingga raksasa.
Dahulunya, ondel-ondel hanya ditampilkan pada acara-acara tertentu, seperti HUT Kota Jakarta, arak-arakan pengantin sunat, dan acara pernikahan.
"Ondel-ondel adalah ikon Kota Jakarta, bukan digunakan sebagai alat ngamen di jalanan. Jika digunakan untuk ngamen, itu sudah termasuk pelecehan budaya," tegas Khotibi.
Ruang Ekspresi
Sejarawan JJ Rizal memiliki pendapat berbeda. Ia mengkritik kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang berencana melarang penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen dan bahkan menyiapkan sanksi bagi pelanggar.
Menurut Rizal, pelarangan dan sanksi terhadap ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen adalah contoh kebijakan yang keliru dan tidak menghargai budaya.
"Sebab, dalam sejarah yang mentradisi di Betawi, ondel-ondel memang digunakan untuk mengamen," ungkap Rizal dalam sebuah keterangan, Rabu (24/03/2024) lalu.
Ia menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta memahami tradisi ondel-ondel sebagai produk kebudayaan sebelum mengambil langkah pelarangan.
Dengan pemahaman yang lebih baik, pemerintah dapat mengedukasi masyarakat tentang filosofi di balik ngamen ondel-ondel daripada melegitimasi kesalahpahaman yang ada.
Rizal mengungkapkan, para seniman memiliki cara tersendiri dalam melestarikan ondel-ondel sebagai produk kebudayaan agar tidak punah.
Dengan menggunakan ondel-ondel sebagai sarana mengamen, maka tradisi kuno Betawi ini tetap hidup di ruang publik. Namun, jika dilarang, maka perlahan-lahan akan terlupakan.
"Fenomena maraknya ondel-ondel di jalanan adalah cerminan bahwa pemerintah Jakarta hadir di tempat yang salah, bukan di tengah-tengah budaya Betawi. Ini adalah masalah lama yang tidak pernah diselesaikan dengan serius," ujar Rizal.
Lebih lanjut, ia menyoroti kerja-kerja kebudayaan yang berada di bawah naungan pariwisata yang kini menjadi dinas sendiri.
Dengan pembagian peran demikian, masalah ondel-ondel seharusnya ditangani dengan perspektif yang baru.
"Jika dilokalisir, maka itu akan menyalahi sejarah ondel-ondel itu sendiri. Selain itu, hal ini juga dapat memicu munculnya praktik-praktik mafia dalam penyelenggaraan ruang tampil ondel-ondel, yang jelas tidak sehat," tutup Rizal.
Seniman ondel-ondel Betawi, Hasanuddin, memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan sejarawan JJ Rizal, terutama dari segi teknis.
Sebagai seniman asli Betawi yang telah melestarikan tradisi ini secara turun-temurun, Hasanuddin merasa kesal dengan praktik pengamen ondel-ondel yang tidak autentik.
"Kebanyakan dari mereka bukan seniman Betawi asli. Mereka hanya menyewa ondel-ondel untuk mengamen. Bahkan, dari segi pakaian dan musik, keasliannya tidak dijaga. Musiknya tidak dimainkan secara langsung, melainkan dari flashdisk," ujar Hasan Maret lalu.
Meskipun demikian, Hasan tidak sepenuhnya setuju dengan rencana Pemprov DKI yang ingin melarang penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen.
Menurutnya, lebih bijaksana jika para pengamen ondel-ondel dikumpulkan dan diberikan pemahaman serta wawasan agar pelestarian budaya tersebut tetap terjaga.
Meskipun tidak selalu mengikuti pakem, para pengamen tetap berkontribusi dalam pelestarian ondel-ondel, terutama di masa pandemi ketika izin acara-acara tradisional dibatasi. Mengamen menjadi pilihan untuk mempertahankan kehidupan.
"Melarang itu mudah, tapi pemerintah harus memikirkan kelangsungan hidup seniman Betawi. Coba kalau posisi mereka dibalik, bagaimana jika mereka yang menjadi seniman Betawi? Pasti mereka juga akan meminta solusi demi kelangsungan hidup," tambahnya.
Hasan juga menekankan pentingnya dukungan nyata kepada seniman Betawi, seperti jaminan atau bantuan bulanan.
Ia berharap agar para pengamen diberikan ruang untuk berkumpul dan mengekspresikan seni mereka di tempat-tempat yang ramai seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Sebab, "melarang tanpa memberikan solusi atau jalan keluar, itu namanya pemerintah otoriter, bertindak sesuka dan semua hati," pungkasnya.