Kisah Musik Terlarang (Bagian Ketiga)
PARBOABOA - Di penghujung 70-an, seorang penyanyi muncul dengan tembang-tembang yang sarat dengan kritik sosial. Mogi Darusman namanya.
Ia pernah belajar musik konservatorium Wina dan sekembali di kotanya, Bandung, tahun 1978, ia berkiprah di belantara musik negeri ini. Lekas beroleh nama dia akibat kekhasan ciri lagu-lagu yang dibawakannya.
Tembang itu, baik karyanya sendiri maupun hasil koloborasi dirinya atau punya orang lain, secara langsung dan telanjang mengkritik penguasa sehubungan dengan rupa-rupa kebobrokan di negeri ini.
Korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang dikedepankan gerakan mahasiswa 1998, di penghujung ’70-an pun sudah menjadi salah satu isu yang disuarlantangkan Mogi Darusman.
Menyindir atau menohok langsung serta menggunakan bahasa informal itulah gaya lagu Mogi (jauh kemudian gaya terus terang seperti inilah yang digunakan Slank).
Perhatikanlah lagu Pusing (ciptaan Chris Rahayu), Rayap-rayap (Mogi Darusman/ Teguh Esha), Koruptor (Mogi Darusman/ Teguh Esha) dan Aje gile (Mogi Darusman/ Teguh Esha) berikut .
Pusing
...................
Semakin pusing/ meja hijau jadi kuning/ pembelanya pusing/ orang yang resmi merugikan negeri ini berseri-seri/ pusing aku pusing/ seorang koruptor dengan penanya yang kotor eh...kok...lulus sensor/ semua maling pusing/ pemimpinnya tidak pusing/ sejagad pusing
Rayap-rayap
Kau tahu rayap-rayap makin banyak di mana-mana/ kau tahu babi-babi makin gemuk di negeri kita ini/ mereka dengan tenang memakan kota dan desa/ rayap-rayap yang ganas merayap berjas dasi dalam kantor/ makan minum darah rakyat/ babi-babi yang gemuk sekali tenang tentram berkembang biak tak ada yang peduli/ menggemuk para rayap-rayap dalam bumi yang kian rapuh/ resahnya ibu rakyat terbantai tanpa aduh/ merayap para babi di lautan sawah dan hutan/ menggencet anak rakyat meremas jantung mereka
............
Koruptor
Koruptor di dalam kantormu/ sembunyi di balik bajumu/ tiada seorang pun tahu/ aduh...../ koruptor di dalam rumahmu/ bermesraan dengan isterimu/ nafasnya seperti nafasmu/ aduh......../koruptor di dalam mobilmu/ yang kau beli kemarin dulu/ berkilat seperti gigimu/ aduh......../ koruptor di dalam cerminmu/ wajahnya seperti wajahmu/ jutaan rakyat telah kau tipu/ aduh.............
Aje gile
...........................
Jangan lu bertingke di depan mate gue/ kalo lu berani jangan bawa nama babe/ kepala gile kagak lagi jamannye/ aje gile cacing belagu buaye/ aje gile proyek lu gede-gede/ numpang nanya dekingan lu siape/ eh, aje gile mendingan lu diam aje/ daripada bikin ngiler tetangge
..........................
Dekade ’70 bisa dikatakan merupakan masa puncak konsolidasi Orde Baru. Dua gelombang demonstrasi besar mahasiswa, kalangan yang mengartikulasikan keresahan masyarakat, terjadi pada era ini yaitu tahun 1974 (berakhir dengan Peristiwa Malari) dan 1978.
Dan kedua gejolak sosial ini bisa diredam pemerintah Soeharto dengan menggunakan kekerasan; sukses merepresi ini menjadi modal besar bagi mereka dalam mengkonsolidasikan dirinya.
Hasilnya, penguasa menjadi sangat hegemonik. Baru dua dekade kemudianlah, tahun 1978, rezim ini tumbang setelah aksi akbar mahasiswa kembali mendera.
Sempat menjadi penyanyi country di Eropa, Mogi Darusman berkiprah sebagai penyanyi protes (protest singer) setelah tiba di Indonesia tahun 1978.
Setahun berselang, dua albumnya telah beredar. Isinya sarat kritik, hal yang membuat kuping tipis penguasa merah.
Polisi menyita hasil rekaman tersebut sebisanya. Sejak itu, tak ada lagi perusahaan rekaman yang sudi berurusan dengan Mogi.
Tak hanya itu, izin pementasan tak pernah lagi didapat sang protest singer.
Mogi tak menyerah. Ia masih saja mencoba tampil dengan nyelonong di konser kawan-kawannya.
Suatu waktu menjelang Pemilu 1982 misalnya, mendadak ia didaulat vokalis Lemon Trees, Gombloh, untuk tampil di pentas terbuka mereka di Jakarta. Mogi maju dan kepada penonton ia mengatakan dirinya tak suka “presiden yang namanya Su...Suhar.....”
Presiden itu, lanjut dia, suka menerima suap dan menutup mata terhadap kerakusan istrinya. Mogi harus membayar mahal untuk penampilannya kali ini.
Saat beristirahat di belakang panggung, ia diringkus oleh tiga orang tak dikenal dan dinaikkan ke sebuah truk. Setelah dihajar ia dijatuhkan dari truk yang melaju kencang. (Doug Miles dalam Whatever Happened to Mogi Darusman—New Internationalist 116, October 1982).
WS Rendra Disasar
Serangan terhadap Mogi Darusman setelah penampilannya tersebut mengingatkan kita pada tindak kekerasan yang dialami penyair Rendra di TIM pada 28 April 1978.
Waktu itu, setelah Kelompok Ngamen 78 menyanyikan delapan lagu bernada protes, Rendra muncul di panggung. Sedang membacakan puisi pamfletnya dia ketika enam kantong amoniak dilemparkan orang tak dikenal ke arahnya.
Ia tak apa-apa, hanya terbatuk-batuk; namun dua penonton pingsan dan muntah-muntah. Pelempar kabur dan tak pernah bisa dibekuk aparat keamanan.
Yang terjadi kemudian adalah ironi besar: Rendra yang ditahan Laksusda Jaya pada 1 Mei 1978. Dia baru bebas pada 7 Oktober-nya setelah diprotes banyak kalangan termasuk dari luar negeri.
Bersambung...