PARBOABOA, Jakarta - Bantuan sosial (Bansos) berbentuk Program Keluarga Harapan (PKH) yang menjadi andalan pemerintah untuk memberdayakan kemandirian ekonomi masyarakat berlaku hingga saat ini.
Namun, jelang pemilu, ada kecenderungan untuk mempolitiasi bansos demi meraup keuntungan elektoral para politisi. Hal ini di singgung oleh lembaga pengawas publik, Ombudsam RI.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pada prinsinya, bansos sendiri sebenarnya menggunakan instrumen fiskal, di mana realisasinya tidak terlepas dari politik anggaran.
Ia mengatakan, tak menjadi masalah ketika mereka yang menjalankan politik kekuasaan mengklaim bansos sebagai keberhasilan kerja-kerja politiknya, namun menjadi persoalan ketika itu dipolitisasi.
"Yang terjadi hari-hari ini kan politisasi bansos itu," kata Endi dalam diskusi publik Tata Kelola dan Evaluasi Bansos PKH, di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
"Bahkan kalau membaca berita-berita belakangan ini, ada upaya di tingkat paling bawah bahkan verifikator desa, pendamping desa, kepala desa mengancam-ngancam tidak akan menyalurkan bantuan kalau Anda nggak mendukung ini nggak mendukung itu, yang begini yang nggak benar," tambahnya.
Endi menegaskan, kalau intensif politik dilakukan secara benar itu adalah sesuatu yang wajar. Namun ketika mempolitisasi hak masyarakat, ada sesuatu yang tidak beres yang perlu diperbaiki.
Dalam rangka itu, ia mengingatkan, agar politik bersifat rasional, tata kelola bansos harus dibenah sembari memberi penjelasan dan edukasi publik memadai.
Hanya dengan itu, bansos benar-benar dimaknai sebagai intervensi negara memberdayakan masyarakat dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Verifikasi penerima bansos tak berbasis verifikasi lapangan
Endi Jaweng juga menegaskan, dalam temuan Ombudsman RI, verifikasi penerima bansos selama ini tidak berbasis verifikasi lapangan melainkan hanya berpatokan pada administrasi dokumen.
Hal ini disebabkan karena adanya kesalahan persepsi seolah-olah bansos merupakan program pusat yang tidak ada kaitannya dengan daerah.
"Macam-macam alasannya terutama anggarannya nggak ada. Ada juga yang mengatakan, bagaimana kita verifikasi ini kan program pusat. Bansos PKH di daerah jadi program pusat bukan program daerah, ini juga jadi cerita."
Akibatnya, mereka tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk melakukan verifikasi faktual. Mereka hanya mengunggah dokumen yang ada, pada hal, kelemahan sistem ini menurut Endi adalah apabila data yang dimasukkan salah, hasilnya juga akan jadi tidak benar.
Endi juga memetakan masalah lain, yakni masalah dari tahap pengusulan bansos hingga keputusan siapa yang berhak menerima dan siapa yang tidak.
"Ada eksklution dan inklution eror di sana. Ini sampai dia menerima atau tidak menerima. Kemudian setelah menerima akan seperti apa, lalu yang tidak menerima perbaikannya seperti apa."
Endi mengatakan, pihaknya telah memetakan rangkaian proses itu dan ternyata ada begitu banyak hal yang harus dibenahi.
Ada empat tahapan menurut Endi, yaitu tahapan pengusulan di tingkat desa, verifikasi dan validasi di tingkat kabupaten/kota, pemutakhiran dan pengesahan dan yang terakhir penyaluran dan distribusi uang.
Dari seluruh proses itu, kata Endi hampir tidak pernah dilakukan musrebangdes untuk penyususnan RKPD di tingkat kabupaten dan musdes untuk penyususnan RKPD di tingkat desa.
"Karena tidak ada, pertanyaannya mekanisme seperti apa sampai kemudian nama itu bisa masuk bagaimana caranya. Lalu bersandar pada verifikator desa, yang ini juga tida semua desa punya," tegas Endi Jaweng.
Untuk mengurai ini, Endi menegaskan, ke depan pihaknya akan membuat terbosan baru, yakni setiap kepala desa dan lurah perlu membuat surat tanggung jawab mutlak yang harus ditandatangani, terikat secara administrasi maupun pidana.
Editor: Rian