(Peringatan: Laporan ini mengandung unsur kekerasan yang berpotensi mengganggu kenyamanan pembaca)
PARBOABOA - Semula keluarganya tak mengizinkan Siti Khotimah pergi merantau ke Jakarta pada tahun 2020 lalu. Orangtuanya memintanya untuk tinggal di kampung untuk membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah.
Namun, perempuan berusia 24 tahun itu bersikeras ingin merantau dari kampungnya, Pemalang. Di ibu kota dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dan berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Selama dua tahun dia menjalani pekerjaannya dengan baik-baik saja.
Petaka muncul ketika Khotimah pindah kerja pada 18 April 2022 ketika agen penyalur PRT yang mempekerjakannya memintanya bekerja untuk salah satu keluarga yang tinggal di Apartemen Simprug Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Di sana dia mengurus rumah tangga pasangan suami-istri, So Kasander, 73, dan Metty Kapantow, 70. Pekerjaannya membersihkan apartemen, menyiapkan makan keluarga, menyiapkan obat-obatan serta membantu Metty mandi, dan membersihkan anjing peliharaan.
Dia tak bekerja sendirian di sana. Ada enam PRT lainnya yakni Evi, Sutriyah, Saodah, Inda Yanti, Pebriana Amelia, dan Pariyah.
Tak ada masalah selama sebulan pertama bekerja. Bulan berikutnya dia mulai mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya. Bermula ketika dia dituduh majikannya melakukan perbuatan yang tidak dia lakukan.
Merasa tak senang, Metty merendam kaki Khotimah dengan air mendidih dan memborgol tangan dan merantai kakinya. “Direndam pakai air mendidih oleh Metty, terus tangan diborgol, kaki dirantai. Itu berulang-ulang,” cerita Khotimah ketika bersaksi dalam persidangan di PN Jaksel, Senin pekan lalu.
Tak hanya itu, Metty juga melakukan kekerasan seksual kepada Khotimah. Suami Metty, Kasander, juga ikut memukulnya dengan alat garukan, dan menendangnya hingga tersungkur ke lantai.
Khotimah tak tahu pasti alasan Kasander memukuli dan menendangnya, selain mengatakan bahwa Khotimah telah memfitnahnya. “Katanya saya memfitnah, padahal saya gak pernah ngomong apa-apa,” kata Khotimah.
Dia berkali-kali menerima siksaan dari kedua majikannya itu. Puncaknya dia dituduh mencuri perhiasan Metty dan dia dikurung di kandang anjing dengan tangan terborgol. Selama 24 jam, ia tak diberi makan dan minum, bahkan tidak boleh ke toilet sekadar membuang air kencing.
Anak majikannya, Jane Sander, 33, dan PRT lainnya ikut membantu Metty menyiksa Khotimah. Evi, PRT yang tugasnya mengurusi anjing peliharaan, mencekik dan menjedotkan kepala Khotimah ke lantai. Bahkan, ia memukul Khotimah dengan kursi plastik.
“Pernah juga dipukul pakai besi, gigi saya sampai ompong. Kejadiannya lebih dari satu kali,” tandas Khotimah.
PRT lain, Saodah dan Inda Yanti, juga turut menyiksa Khotimah. Selain melakukan kekerasan seksual keduanya memukul, mendorong, dan menjambak rambut Khotimah berulang kali.
Sutriyah, Pebriana Amelia, dan Pariyah juga ikut menyiksa Khotimah dengan melakukan kekerasan seksual kepadanya. Mereka pun memaksa Khotimah memakan sambal mentah. Peristiwa itu terjadi sebanyak tiga kali.
Selama 6 bulan bekerja di sana, Khotimah berulang kali mendapatkan penyiksaan. Dia tidak pernah menerima gaji meski dalam surat perjanjian kerja dia berhak mendapat gaji Rp 2 juta per bulan dan makan 3 kali sehari.
Tak tahan disiksa, pada bulan Juli, ia sempat meminta pulang kepada Metty. “Tapi katanya tunggu penggantinya,” ujar Khotimah.
Tak dipulangkan hingga Desember, dia berusaha kabur dari apartemen yang berada di Lantai 12 Unit 1 tersebut, tapi tidak berhasil. Saat kondisi Khotimah sakit dan tak berdaya, majikannya meminta agen penyalur PRT menjemputnya. Mereka kemudian memfasilitasi kepulangan Khotimah ke kampung halaman.
Pengelola Apartemen Tidak Tahu
Apartemen Simprug Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan tampak hening pekan lalu. Hanya beberapa orang yang tampak di sekitar hunian mewah itu.
Baihaki, salah seorang satpam apartemen Simprug Indah, membenarkan bahwa di tempatnya bekerja ada kasus penganiayaan terhadap Siti Khotimah.
"Benar memang di sini kejadiannya. Saya dan satpam di sini emang nggak tahu kejadiannya, tiba-tiba pihak Polda datang menangani kasus," ujar Baihaki saat dikonfirmasi Parboaboa, Sabtu pekan lalu.
Lebih lanjut dia menjelaskan, pihak pengelola apartemen tidak mengetahui peristiwa detail penyiksaan Siti Khotimah tersebut. Pasalnya, pengelola selalu menghargai privasi setiap penghuni apartemen.
"Jadi, kita nggak tahu awal mula kejadiannya dan detail peristiwanya bagaimana. Awal kejadian pihak pengelola nggak ada yang tahu. Kan di sini namanya apartemen privasi," jelasnya.
Kendati demikian, Baihaki mengaku mengenal Metty Kapantow dan So Kasander. Pasangan suami-istri itu menurutnya selama ini baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan bahwa mereka menyiksa pekerjanya.
"Saya kenal majikannya. Selama ini sih dia baik-baik saja. Open ke kita, nggak ada masalah apa pun," tandasnya.
Penelusuran Parboaboa, sejumlah orang yang berada dekat di apartemen Simprug Indah mengaku tak mengenal Metty Kapantow dan So Kasander.
Menurut Muniroh, seorang PRT yang bekerja di apartemen Botanica, yang berjarak hanya 200 meter dari Simprug Indah, mengaku pernah mendengar kasus penyiksaan Khotimah.
"Biasanya kalau ada kasus begitu kita kerja di apartemen pasti ditutupi, kecuali kalau yang bikin masalah PRT-nya baru ramai," katanya.
Keadilan untuk Khotimah
Senin pekan lalu merupakan sidang perdana kasus penyiksaan Khotimah setelah terungkap pada Desember 2022.
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah menyeret sembilan pelaku penyiksaan Khotimah, yaitu pasangan suami istri yang merupakan majikannya, seorang anak majikannya, dan enam PRT yang membantu majikannya melakukan penyiksaan.
Dalam persidangan, para terdakwa tidak membantah keterangan Khotimah. Mereka mengakui perbuatan kejinya tersebut.
Para terdakwa dijerat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 43 dan 45 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Namun, kuasa hukum Khotimah, Tuani Sondang Rejeki Marpaung, menyayangkan jaksa penuntut umum (JPU) tidak menjerat para pelaku dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Padahal, menurutnya, dalam keterangan di persidangan telah jelas bahwa Khotimah mendapatkan tindakan kekerasan seksual.
“Dakwaannya itu UU PKDRT, sedangkan temuan-temuan saat proses pemeriksaan kita sudah menjelaskan ke polisi dan mereka juga udah melakukan pemeriksaan tambahan terkait kekerasan seksual yang dialami korban,” terang Tuani.
“Itu sangat disayangkan polisi maupun jaksa tidak memasukkan Pasal UU TPKS. Jadi itu kita kawal bersama,” tambahnya.
Lebih lanjut, Tuani berharap hak korban mendapatkan pemulihan bisa dipenuhi pengadilan. Khotimah juga bisa mendapatkan restitusi atas segala hal yang dialaminya, baik itu saat penyiksaan maupun ketika perawatan dan pemulihan.
“Restitusi itu semua perhitungan oleh LPSK, jadi restitusi itu dibebankan kepada pelaku atas perbuatan tindakan pidana,” ujarnya kepada Parboaboa.
Khotimah pun berharap para pelaku dapat dihukum seadil-adilnya. “Dihukum seadil-adilnya. Saya nggak bisa memaafkannya.”
Orang tua Khotimah juga berharap demikian. “Untuk ke depannya bagi pelaku biar dihukum seadil-adilnya,” kata Suparno.
Ibu Khotimah, Eni Sopyah berharap, “Minta keadilan seadil-adilnya buat Khotimah.”
Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus ‘Pekerja Rumah Tangga’.
Reporter: Achmad Rizki Muazam
Editor: Tonggo Simangunsong