PARBOABOA, Jakarta – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, pembangunan rumah ibadah tidak boleh ada pelarangan mendirikan rumah ibadah. Ia mengingatkan para kepala daerah bahwa hal tersebut telah dijamin oleh Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
“Hati-hati, beragama dan beribadah itu dijamin konstitusi kita. Dijamin UUD 1945 khususnya pasal 29 ayat 2. Sekali lagi, dijamin oleh konstitusi. Ini harus ngerti. Dandim, Kapolres, Kapolda, Pangdam harus ngerti ini, Kejari, Kejati,” kata Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul International Convention Center (SICC) di Bogor, Selasa (17/01/2023).
Jokowi mengingatkan kembali bahwa konstitusi tidak kalah dengan kesepakatan pemerintah daerah dengan beberapa pihak di daerah setempat, seperti kesepakatan yang dibuat pemerintah daerah dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang melarang pembangunan tempat ibadah.
"Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan," sebut Jokowi.
"Ada rapat, FKUB misalnya, sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Hati-hati lho, konstitusi kita menjamin itu," kata Jokowi kembali.
573 Gangguan di Satu Dekade
Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan, situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia lebih serius dari apa yang disampaikan oleh Presiden.
Dia menerangkan, dari sisi intensitas dan skalanya. Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir.
Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
"Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama," jelas Halili lewat keterangan tertulisnya.
Halili melanjutkan, apa yang dikatakan Presiden Jokowi mewanti-wanti para kepala daerah untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya, ini menjadi salah satu pesan terkuat yang disampaikan secara terbuka.
Berkaitan dengan itu, lanjutnya, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri hendaknya melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif di dalam PBM 2 Menteri* (yang sering juga disebut sebagai SKB 2 Menteri).
"Aturan-aturan diskriminatif tersebut menjadi pemicu bagi terjadinya penolakan dan pembatasan hak seluruh agama (khususnya kelompok minoritas) untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah," kata Halili.
Halili juga mengusulkan agar perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah ditarik ke Pusat dengan mekanisme administratif yang lebih dipermudah dan disederhanakan.
Kemudian, lanjutnya, FKUB sebaiknya tidak diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi mengizinkan atau menolak pendirian rumah ibadah.
"FKUB lebih baik dioptimalkan perannya untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan sesuai mandat organisasionalnya," tandasnya.