Jejak TRUK-F Menangani Korban Kekerasan Seksual di Flores

Jejak TRUK-F tangani korban kekerasan seksual di Flores. (Foto: zerohumantrafficking.org)

PARBOABOA, Jakarta - Sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Pepatah ini menjadi gambaran nyata pergulatan hidup korban kekerasan seksual di sejumlah daerah di Indonesia. 

Bukan hanya menderita akibat trauma dari tindakan keji yang mereka alami, para korban kerap kali juga harus menghadapi stigma sosial yang menyakitkan. 

Alih-alih mendapatkan dukungan, misalnya, mereka malah sering disalahkan, dihakimi, dan dijauhi oleh lingkungan sekitar. Stigmatisasi seolah seperti mengukir luka di atas luka yang telah ada.

Di Flores, NTT, kondisi sedikit agak beruntung berkat kehadiran lembaga advokasi publik bernama Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F).

Dalam catatan Parboaboa, TRUK-F pertama kali terjun menangani krisis kemanusiaan saat membantu pengungsi Timor Leste.

Pada masa itu, banyak perempuan mengalami penderitaan ganda, baik di rumah, di mana mereka mendapat kekerasan dari suami, maupun di luar rumah saat mereka diteror oleh aparat.

Sejak saat itu, TRUK-F semakin dikenal luas. Lembaga ini menjadi tempat perlindungan bagi perempuan korban kekerasan yang datang dengan harapan mendapat keadilan.

Berdasarkan sejumlah pengaduan, di tahun 2022, TRUK-F mencatat peningkatan signifikan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di dua Kabupaten di Flores, yakni Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.

Sebanyak 111 kasus dilaporkan, dengan rincian 103 kasus berasal dari Kabupaten Sikka dan 8 kasus dari Kabupaten Ende. Jumlah ini meningkat sekitar 6,3 persen dibanding tahun sebelumnya.

TRUK-F mengidentifikasi beberapa motif utama yang mendasari kekerasan, termasuk masalah ekonomi, asmara, dan balas dendam. 

Cara-cara yang digunakan pelaku dalam melancarkan aksi kekerasan juga beragam, mulai dari janji pernikahan hingga ajakan bermain game dan menonton film bersama.

Sementara itu, dalam kasus lain, pelaku memanfaatkan kedekatan melalui orang tua asuh atau janji pekerjaan dengan gaji besar.

Kasus kekerasan ini terbagi dalam dua ranah utama: ranah personal dan ranah komunitas. Di ranah personal, KDRT menjadi yang paling dominan, dengan 58 laporan. 

Korban KDRT meliputi istri, anak kandung, anak tiri, dan keponakan. Dari laporan tersebut, banyak korban mengalami kekerasan psikis, fisik, ekonomi, dan bahkan pemerkosaan dalam perkawinan. 

Kasus-kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) juga ditemukan, dengan sembilan korban, tujuh di antaranya masih berusia anak.

Pada ranah komunitas, kekerasan terhadap perempuan dan anak dilaporkan oleh 42 korban. Bentuk kekerasan yang dialami sangat beragam, termasuk kekerasan psikis, fisik, dan seksual.

Dari total 31 korban kekerasan seksual, sebagian besar terkait dengan kekerasan berbasis elektronik. Bahkan, ada perempuan dewasa direkrut secara non-prosedural, yang mengarah pada indikasi perdagangan orang.

Laporan yang sama menulis, banyak perempuan yang terpaksa bertahan dalam situasi KDRT karena merasa terikat oleh janji pernikahan dan tekanan sosial. 

Namun begitu, hanya sedikit dari mereka yang melaporkan kasusnya ke jalur hukum. Di antara 21 istri yang menjadi korban KDRT, hanya 4 orang yang melapor, dan hanya 1 kasus yang berlanjut hingga putusan hukum.

Kecenderungan korban untuk tidak melapor dikonfirmasi langsung oleh Pimpinan TRUK-F, Suster Fransiska Imakulata kepada Parboaboa.

Kata dia, keluarga korban cenderung pasrah dan memilih menyelesaikan kasusnya secara kekeluargaan. "Mereka mungkin malu kalau nama korban diketahui orang lain," katanya kepada Parboaboa.

Kekerasan lain berdasarkan temuan TRUK-F teridentifikasi mulai dari pemerkosaan, incest, hingga eksploitasi seksual berbasis online. 

Bahkan, kelompok difabel juga menjadi sasaran kekerasan seksual dengan 3 kasus dilaporkan. Menurut TRUK-F, kekerasan seksual yang dialami difabel terjadi berulang kali.

Keberadaan TRUK-F kini menjadi sangat penting bagi banyak korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Shelter mereka telah menjadi tempat perlindungan bagi ribuan orang. 

Selain menyediakan ruang aman, lembaga ini juga melakukan advokasi hukum untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi para korban.

Mantan pimpinan TRUK-F, Suster Eustochia, menekankan bahwa lembaga ini terbuka untuk semua orang, tanpa memandang agama, status sosial, atau latar belakang.

"Kami tidak membedakan siapapun, baik agama Islam, Kristen, Hindu, kaya atau miskin," ujarnya.

Sebelum para korban kembali ke rumah, TRUK-F memastikan bahwa mereka akan pulang ke lingkungan yang aman, dengan keluarga yang siap menerima mereka kembali. 

Korban, pungkas dia, biasanya kembali dengan kondisi yang lebih baik, setelah mendapat perawatan di shelter, mulai dari asupan makanan bergizi, akses air bersih, hingga pakaian yang layak. 

Setiap tahun, TRUK-F juga mengadakan pertemuan rutin bagi para korban yang telah pulih dan menjalani kehidupan yang lebih baik. 

Pertemuan ini menjadi momen untuk berbagi cerita, saling mendukung, dan menjaga hubungan antar penyintas, sekaligus pengingat untuk selalu waspada dan menjaga satu sama lain.

Penasehat TRUK-F, Pater Ignas Kleden, menyampaikan harapannya bahwa meski kasus kekerasan masih terjadi, ia optimis di masa depan perempuan akan lebih mandiri dan berani mengekspresikan diri. 

Ia percaya, kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi akan menjadi pilihan untuk menyelesaikan konflik.

TRUK-F awalnya bernama Forum Aliansi Masyarakat Baru Kelompok Peduli HAM, yang dibentuk pada 6 November 1997 di Ledalero. 

Anggotanya terdiri dari biarawan-biarawati SSpS, SVD, dan masyarakat peduli HAM di Kabupaten Sikka. 

Setahun kemudian, nama forum ini berubah menjadi TRUK-F, yang semakin dikenal setelah mengadakan pelatihan HAM di STFK Ledalero-Maumere pada 6 Februari 1999.

TRUK-F lahir dari keprihatinan terhadap maraknya pelanggaran hak asasi perempuan dan anak di Flores, khususnya di Kabupaten Sikka.

Sebagai lembaga kemanusiaan, TRUK-F memiliki visi untuk memperjuangkan pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak perempuan. 

Untuk mewujudkan visi ini, mereka fokus pada pemberdayaan perempuan agar sadar akan hak-haknya serta mendorong mereka untuk melawan penindasan, diskriminasi, dan kekerasan. 

Nilai-nilai utama yang dipegang TRUK-F mencakup keadilan, kebenaran, dan non-diskriminasi tanpa memandang suku, agama, atau ras. 

Mereka juga menjunjung tinggi solidaritas, persaudaraan, dan menolak kekerasan dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS