Fenomena Gunung Es Kasus Kekerasan Seksual di Pulau Flores

Ilustrasi penolakan terhadap kekerasan seksual. (Foto: Envato)

PARBOABOA, Jakarta - Sesekali ia meraung seperti memarahi diri sendiri. Tatapan matanya kosong. Wajahnya pucat. Tangisan YPT (12) tak bisa dibendung.

Ayah kandungnya, LU (50) duduk di sampingnya dan berusaha menguatkan anak perempuan tertua mereka itu. Sementara ibunya tak berhenti menitikkan air mata.

"Sudah beberapa hari dia begini terus. Saya dan mamanya jadi bingung cari cara supaya dia bisa keluar dari masalah ini," ucap LU saat ditemui pada Minggu (14/06/2023).

YPT adalah korban pemerkosaan oleh enam orang remaja di Desa Bakalerek, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata. Para pelaku umumnya merupakan remaja sekampung. 

Menurut VU, tante kandung YPT, beberapa pelaku masih memiliki hubungan keluarga dengan korban. Rumah mereka hanya berjarak sepelemparan batu.

Kasus pemerkosaan YPT mulai tercium pada Rabu (10/06/2023). Saat itu, korban hendak pergi ke rumah omnya di Desa Duawutun yang berjarak kurang lebih 30 Km dari kampung Bakalerek.

"Dia bilang, mau kerja tugas di sana. Jadi, kami berpikir positif saja. Tidak ada kecurigaan bahwa akan terjadi kasus seperti ini," lanjut LU dengan tatapan sedih.

Korban kemudian meminta bantuan YSBI (23) untuk mengantarnya ke sana lantaran kedua orang tuanya sedang bekerja. Namun, nasibnya ternyata naas.   

YSBI yang adalah tetangga dekat justru membawa korban ke salah satu bukit di jalan menuju Duawutung. Ia sempat bertanya apa tujuan mereka ke sana, tetapi tak ditanggapi.

"Saya tanya ke dia. Kenapa bawah ke sini? Dia bilang: ‘Aman saja. Kau ikut yang saya omong'. Saya berulang kali tolak, tapi dia paksa terus."

YSBI pun melampiaskan nafsu bejatnya. Ia menyetubuhi korban sebanyak satu kali dan meminta supaya tidak boleh melaporkan kejadian itu ke orang tuanya.

"Dia ancam saya. Dia bilang: 'Tidak boleh lapor ke orang tua. Nanti saya sebar kau punya video dengan HL’," ujar YPT terbata-bata.

HL [15] yang dimaksud adalah pelaku lain yang sebelumnya pernah menyetubuhi korban. HL-lah yang sempat merekam video dan menyebarkannya ke YSBI. 

Ancaman itu membuat korban gentar. Ia takut mengungkapkan kasus tersebut kepada kedua orang tuanya. Ia juga takut untuk kembali ke rumah. 

"Saat kami jemput di rumah saudara, sikapnya berubah sekali. Kami tanya apa yang sudah terjadi, tapi dia tidak mengaku. Mungkin, dia takut kami marah," kata LU.

Korban baru mengakui kejadian tersebut setelah ditanya tantenya. Sambil menangis, ia menceritakan  kronologi bagaimana dirinya disetubuhi YSBI. 

Tak menunggu lama, keluarga korban kemudian melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian. Satuan Reskrim Polres Lembata lantas menangkap dan menahan pelaku.

Unit PPA Satreskrim Polres Lembata bersama pelaku YSBI. (Foto: Polres Lembata)

Sejak Senin (15/06/2023), YSBI ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Polres Lembata, di mana ia akan menghadapi proses hukum selanjutnya.

Penahanan YSBI membuka kotak pandora kekerasan seksual yang dialami korban. Lima lelaki   lain dengan inisial HL, N, HU, I, dan RU juga ditahan pihak kepolisian, kemudian.

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lembata membenarkan, lima orang yang disebutkan terakhir adalah pelaku yang terlibat dalam kasus serupa.

Motifnya cukup beragam. Mulai dari tipu muslihat dengan menawarkan bantuan kepada korban sampai pada 'relasi khusus' yang oleh pelaku HL disebut pacaran.    

Akibat kejadian itu, korban mengalami frustasi yang luar biasa. Ia sering murung dan mudah menangis. Dalam beberapa kesempatan  ia bahkan sering kerasukan. 

"Nasib anak kami mungkin berbeda dengan teman-teman seusia dia. Kami tentu mengharapkan adanya penanganan yang serius dari aparat penegak hukum untuk masalah ini," tutur LU. 

Darurat Kekerasan Seksual

YPT bukanlah korban pertama. Pada awal Januari 2023, kejadian serupa dialami AL (15), seorang siswa SMP di Desa Gera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka. AL diperkosa kakek kandungnya sendiri hingga hamil.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diterima Polres Sikka, disebut tindakan bejat itu telah berlangsung sejak Mei 2022.

"Kakeknya memanfaatkan setiap kesempatan. Seperti saat korban pulang sekolah atau malam hari sebelum tidur," jelas Epy Karwayu, pendamping korban dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F).

Peluang untuk terjadinya kejahatan terbuka lebar mengingat korban bersama adiknya yang baru berusia lima tahun diasuh oleh kakeknya itu. Sedangkan ayah dan ibunya merantau ke Kalimantan sejak AL kecil.

Pelaku, menurut Epy,  tak jarang memaksa, bahkan sesekali mengancam akan membunuh korban dengan parang,  jika tidak menuruti keinginannya barang semenit pun.

"Karena rasa takut dan cemas yang luar biasa, AL menyerah dan mengalami pelecehan seksual berulang kali," tambah Epy dengan merujuk kesaksian korban.

Seperti jamur di musim hujan, angka kasus kekerasan seksual di Kabupaten Sikka mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. 

Laporan TRUK-F menyebut, selama periode 2021-2023, tercatat 341 kasus kekerasan seksual dengan rincian 110  tahun 2021, 111 tahun 2022, dan 120 tahun 2023.

Grafik peningkatan kasus kekerasan seksual di Kabupaten Sikka. (Foto: PARBOABOA/Defri Ngo)

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT juga melaporkan 500 kasus kekerasan seksual pada 2023. 

Sementara itu, 250 kasus lainnya masuk dalam kategori eksploitasi seksual terhadap anak. Hegemoni budaya dan relasi kuasa antara yang superior dan inferior, penyebabnya.

Angka ini hanya terdiri dari kasus yang dilaporkan ke TRUK-F dan DP3AP2KB. Sejumlah kasus lain cenderung diselesaikan secara damai oleh kedua pihak yang berkaitan.

Pimpinan TRUK-F, Suster Fransiska Imakulata, membenarkan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual yang dialami anak perempuan mengendap  di balik meja hukum. 

"Dalam sejumlah kasus yang kami temui, keluarga korban cenderung pasrah dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Mereka mungkin malu kalau nama korban diketahui orang lain," kata Ika kepada Parboaboa pada  Rabu (18/09/2024).

Biarawati Katolik yang getol menyuarakan hak-hak perempuan di Flores itu menyayangkan model penyelesaian kasus yang demikian. 

Baginya, hal tersebut justru tidak memberi efek jera bagi pelaku; sebaliknya menciptakan bibit kasus baru di masa depan.

"Kasus serupa pasti akan terus terjadi di Flores secara umum dan Sikka secara khusus karena pelaku tahu bahwa masalahnya akan selesai kalau berdamai."

Padahal, tegasnya, penyelesaian secara kekeluargaan tidak memberi jawaban untuk menjamin masa depan korban. Mereka justru terkurung dalam bayang-bayang gelap ketakutan.

Pengalaman traumatis kekerasan seksual, tulis Ivo Noviana (2015) dalam riset berjudul Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya, membuat korban mengalami gangguan emosional dan fisik.

Secara emosional, ungkap Noviana, korban akan mengalami insomnia, ketakutan, disfungsi seksual, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan sakit kronis.

"Bisa juga muncul gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif."

Sementara secara fisik, korban akan mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, dan sakit di sekitar vagina atau alat kelamin. 

Risiko fisik lain adalah korban mudah tertular penyakit menular seksual, luka akibat perkosaan dengan kekerasan, dan kehamilan yang tidak diinginkan.

Jadi,  kasus kekerasan seksual sudah seharusnya diselesaikan melalui proses hukum yang berlaku agar memastikan masa depan korban.

"Jika tidak, masyarakat akan tetap mengalami kasus kekerasan seksual. Akan banyak anak yang jadi korban. Itu berarti, kita turut menjadi aktor yang merusak masa depan mereka."

Bertumpu ke TRUK-F

Pengungkapan kasus kekerasan seksual di Pulau Flores rupanya tidak hanya terhalang oleh kesadaran masyarakat untuk melapor ke pihak berwenang.

Dalam sejumlah kasus, korban dan keluarganya juga mengalami kesulitan untuk mencari perlindungan pertama ke pihak pemerintah atau lembaga yang berwenang.

Rumah TRUK-F sebagai tempat penampungan para korban. (Foto: PARBOABOA/Defri Ngo)

Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang tersebar di sejumlah kabupaten tampak belum menjadi ruang yang aman untuk mengadu.

Keluarga korban cenderung dibayang-bayangi oleh iklim pemerintahan yang ketat dengan sejumlah prosedur administratif. Padahal, korban sendiri harus sesegera mungkin ditangani.

"Saya sendiri bingung saat terjadi kasus yang menimpa anak saya. Mau lapor ke mana? Ke pemerintah, takut mengganggu jam kerja. Juga mungkin diminta data ini dan itu," kata LU.

Karena itu, lanjutnya, saat mengetahui terdapat masalah yang menimpa YPT, ia dan istrinya cenderung berdiam sambil menanti ada pihak yang terlibat membantu.    

"Beberapa hari kemudian, kami dengar ada pihak TRUK-F yang mau membantu. Makanya kami bersyukur sekali. Paling tidak ada perhatian untuk anak kami."

TRUK-F merupakan lembaga sosial kemanusiaan yang berdiri atas inisiatif sejumlah biarawan Societa Verbi Divini (SVD) dan Suster Misi Abdi Roh Kudus (Servae Spritus Sanctus;  S.Sp.S)  sejak 6 November 1997.

Untuk wilayah kepulauan Flores, keberadaan TRUK-F sudah dikenal luas karena aktif terlibat dalam menangani sejumlah masalah terkait HAM, seperti pemerkosaan dan human trafficking (perdagangan manusia)

Sementara di Lembata hanya ada satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergiat dalam mengadvokasi dan membela hak-hak perempuan dan anak yakni Permata.

Dalam kasus yang mendera YPT, Permata terlibat aktif bersama TRUK-F untuk memulihkan kondisi psikis korban dan mengawasi kasus yang diproses oleh pihak penyidik.

YPT diamankan oleh Permata di sebuah rumah yang sangat sederhana dan didampingi Maria Loka. Rumah tersebut juga menampung puluhan 'anak bermasalah'.

"Saya kerja karena belas kasih. Banyak anak yang menjadi korban justru dibiarkan begitu saja. Kasihan masa depan mereka," ujar Maria yang merupakan pimpinan LSM Permata.

Ia mengaku kerap mendapat kesulitan saat menangani korban. Selain karena masalah finansial dan SDM, dirinya juga berulang kali mendapat interogasi dari pihak tak dikenal.

"Interogasi sudah sering saya alami. Saya malas mencari tahu siapa saja penginterogasi itu. Selagi kerja untuk kemanusiaan, saya yakin pasti ada jalan terbaik."

Kekurangan fasilitas, finansial, dan SDM menjadi hal yang lumrah ditemui di berbagai LSM yang menangani isu kemanusiaan. 

Lebih dari itu, untuk konteks Flores, keberadaan dinas atau lembaga pemerintah yang menangani isu perempuan dan anak rupanya belum banyak memberi jalan keluar.

"Kadang, data korban yang saya kumpulkan juga sering diminta orang pemerintah untuk membuat laporan ke pusat," keluh Ika suatu waktu.

Begitupun, dia tak menampik. Sejak beberapa tahun terakhir, pihak pemerintah kerap menggunakan kajian TRUK-F untuk kepentingan administrasi. 

Hal yang wajar, tentu. Soalnya, selain ramah terhadap para perempuan bermasalah mereka cekatan dalam menangani persoalan.

"Makanya, kita butuh bantuan dari pemerintah. Paling tidak untuk menunjang kebutuhan korban yang kami tangani di shelter-shelter. Juga untuk pendidikan mereka," kata Ika.  

UU TPKS

Di unit PPA Polres Lembata, Valentinus Pogon, pengacara YPT dari TRUK-F, berdebat cukup alot dengan penyidik tatkala ia mendesak agar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) saja yang digunakan.

Apida Hasyim mengatakan pihaknya condong menggunakan ketentuan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengingat korban adalah anak di bawah umur.

"Tersangka dijerat Pasal 81 ayat (1) atau Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," terang Hasyim. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1), tersangka terancam hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan maksimal 15  tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

Sedangkan Pasal 81 Ayat (2) menyatakan bahwa, "ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujukan kepada anak untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya atau dengan orang lain." 

Bagi Valentinus dan pihak TRUK-F, ketentuan dalam UU Perlindungan Anak belum menunjukkan keberpihakan penyidik terhadap korban kekerasan seksual.

Valentinus Pogon, S.H (kelima dari kanan) dan Sr. Fransiska Imakulata, S.SpS (ketiga dari kiri) saat beraudensi dengan DPRD Kab. Lembata. (Foto: zerohumantrafficking.org)

Beleid tersebut, alih-alih menjatuhkan sanksi yang cukup berat terhadap pelaku, malah melupakan sisi perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya.

"Makanya kami tekan supaya penyidik menggunakan UU TPKS. Sebab, UU ini lebih komprehensif. Selain sanksi yang besar, ada unsur restitusi dan rehabilitasi," ungkap Valentinus.

Diskusi dengan pihak PPA tak membuahkan hasil. Aipda Hasyim tetap mempertahankan penggunaan UU PA dengan satu alasan kunci bahwa korban masih di bawah umur.

Padahal, kata Valentinus, UU TPKS juga mengatur tentang korban di bawah umur. Sangat disayangkan kalau penyidik menutup mata terhadap penggunaan UU yang satu ini.

Valentinus dan pihak TRUK-F lantas menemui Kapolres Lembata, AKBP Dr. Josephien Vivick Tjangkung untuk mendesak penggunaan UU tersebut.

Sejumlah alasan disampaikan kepada Kapolres terkait urgensi UU TPKS. Meski demikian, AKBP Vivick justru meminta mereka untuk menghormati proses hukum yang tengah berlangsung.

Di Maumere, Kabupaten Sikka, hal serupa dialami korban AL yang dilecehkan kakek kandungnya sendiri. Pihak Kapolres nyatanya lebih berpihak pada UU PA dibandingkan UU TPKS.

"Alasannya sama. Mereka berpatokan bahwa korban merupakan anak di bawah umur. Padahal kalau mau gunakan UU TPKS, justru aturannya lebih lengkap," terang Epy dari TRUK-F.

Tidak digunakannya  UU TPKS oleh penyidik menunjukkan sikap negara yang belum berpihak kepada korban kekerasan seksual. 

Anggota Yayasan Jurnal Perempuan, Maria Noviyanti Meti yang membuat riset berjudul  Ketaatasasan Penggunaan Aturan Hukum di Polres Sikka menemukan fakta serupa. 

“Sampai sekarang, UU TPKS belum digunakan oleh penyidik di Polres Sikka. Ini seolah-olah mengindikasikan sikap negara yang setengah hati dalam mengurus masalah perempuan,” tuturnya kepada Parboaboa, Rabu (18/09/2024).

Lulusan program  Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu menyebutkan, absennya UU TPKS menjadi penyebab maraknya kasus kekerasan seksual.

“Saya sendiri meyakini, pihak Kapolres Sikka belum sepenuhnya paham tentang esensi TPKS. Hal ini akan berpengaruh terhadap proses pidana yang berlangsung, juga lonjakan kasus kekerasan seksual di waktu-waktu mendatang.”

Terkait persoalan tersebut, anggota Komisi III DPR RI, Didik Mukrianto pada Senin (10/07/2023) menyebutkan, UU TPKS belum bisa diimplementasikan secara efektif karena belum ada aturan teknis atau pelaksanaannya.

Politisi Fraksi Partai Demokrat itu hendak menegaskan bahwa dalam penerapannya UU TPKS perlu memiliki mekanisme dan sistem pelaksanaan yang jelas dan menyasar pada inti persoalan.

Ketentuan umum dalam UU TPKS, kata  Mukrianto, perlu dijabarkan ke dalam aturan-aturan teknis yang memudahkan mekanisme pelaksanaan. 

Salah satu aturan turunan yang perlu diaplikasikan adalah Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Diklat yang memandatkan Peraturan Menteri PPPA terkait kurikulum diklat pencegahan dan penanganan TPKS bagi aparat penegak hukum dan tenaga layanan. 

Usulan Mukrianto bermaksud mensinkronisasi tahap pelaksanaan UU TPKS agar efektif di tengah masyarakat. Sebab, jika tidak, maka proses pelaksanaannya tetap menghadapi hambatan serius.

Alpanya penggunaan UU TPKS juga dirasakan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas. 

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah mengungkapkan kasus kekerasan seksual, termasuk yang melibatkan anak-anak dan penyandang disabilitas, masih sering terjadi.

"Hampir setiap hari kita menyaksikan di berbagai media, anak-anak dan penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan seksual," ujar Anis di Jakarta, Jumat (08/03/2024) lalu.

Salah satu hambatan terbesar dalam penerapan UU TPKS, menurut dia,  adalah pandangan aparat penegak hukum (APH) yang menyatakan belum adanya aturan turunan. 

Hal tersebut akhirnya membuat penanganan kasus kekerasan seksual beralih ke ketentuan hukum lain, seperti KUHP dan UU Perlindungan Anak, atau undang-undang lain yang relevan. 

"Dalam banyak kesempatan, aparat penegak hukum menyatakan bahwa karena aturan turunan belum tersedia, kasus-kasus TPKS diproses menggunakan ketentuan lain."

Pendekatan ini, menurut Anis, belum efektif dalam memberikan keadilan yang sesuai dengan mandat UU TPKS yang tidak mengakomodasi model restorative justice

Sebanyak 57% kasus justru diselesaikan dengan pendekatan yang tidak sesuai dengan Pasal 23 UU TPKS, yang seharusnya mengutamakan proses pengadilan penuh (absolute judicial mechanism).

Dalam praktiknya, proses pembuktian kerap menemui hambatan besar. Kesulitan mendapatkan keterangan ahli dan bukti ilmiah menjadi alasan utama kasus tidak dapat diproses secara optimal. 

"Beberapa kasus yang dipantau Komnas HAM menunjukkan bahwa aparat penegak hukum berkata, 'Kalau kami tidak ada bukti yang cukup, kami tidak bisa bekerja'," ujarnya. 

Namun, menurut Anis, justru di sinilah seharusnya menjadi tugas utama kepolisian untuk memastikan proses pembuktian dalam kasus TPKS dapat berjalan secara optimal dan menyeluruh.

Komnas HAM juga mencatat adanya penolakan laporan dari korban kekerasan seksual yang justru membuat mereka kehilangan semangat untuk mencari keadilan. 

Penolakan laporan tersebut malah berujung pada kriminalisasi terhadap korban, sehingga memperparah ketidakadilan dalam sistem hukum.

Komisioner KPAI Dian Sasmita juga menambahkan bahwa dari 389 kasus kekerasan seksual yang diterima sepanjang 2023, banyak hambatan terjadi pada tahap penyidikan. 

Minimnya pemahaman aparat terkait UU TPKS sering kali menyebabkan kasus terhenti atau tidak dapat diproses karena kurangnya bukti. 

"Pengetahuan para penegak hukum masih sangat minim terkait UU TPKS. Akibatnya, beberapa laporan kekerasan seksual terhenti, akibat kurangnya bukti, atau bahkan kesaksian anak tidak bisa diproses," jelas Dian. 

Selain itu, Dian menyoroti putusan pengadilan sering kali tidak mencantumkan restitusi bagi korban; hal yang seharusnya menjadi bagian penting dalam penegakan keadilan.

Dengan sejumlah persoalan tersebut, baik Dian maupun Anis berharap pihak penyidik mampu menggunakan ketentuan dalam UU TPKS untuk menjamin keadilan bagi korban.

Jika tidak, maka dipastikan akan banyak korban yang mengalami nasib serupa tanpa ada penegakan hukum yang adil dan berdaya memulihkan masa depan mereka.

Reporter: Defri Ngo

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS