Cerita Pilu Guru Honorer Jakarta: Kami Bukan Sampah, Kami Manusia!

Sejumlah guru yang terdampak kebijakan cleansing dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta mendatangi Kantor LBH Jakarta pada Rabu (17/07/2024) di Menteng, Jakarta Pusat. (Foto: PARBOABOA/Rahma Dhoni)

PARBOABOA, Jakarta - Kamis, 11 juli 2024 adalah hari pertama Nina mengajar. Perempuan 27 tahun itu baru saja diterima pada salah satu sekolah negeri di DKI Jakarta. Pagi itu, ia bangun lebih awal dari biasanya.

Kondisi fisik Nina belum begitu stabil. Ia masih butuh waktu pemulihan setelah beberapa hari terbaring sakit. Sebagai guru baru, mau tak mau, Nina harus tetap berangkat ke sekolah.

Ia tidak pernah menduga, hari pertama di tahun ajaran baru itu, sekaligus menjadi hari terakhirnya. Nina berinteraksi seperti biasa: berkenalan dengan para guru dan siswa di sekolah.

Perjumpaan dengan orang-orang baru rupanya memulihkan kembali gairah mengajarnya sebagai seorang pendidik. Harapan Nina kembali hidup. Ia pulang ke rumah dengan wajah sumringah. 

Malam sudah larut ketika sebuah broadcast message masuk ke ponselnya. Ia membuka WhatsApp dan membaca pesan tersebut. Nina terkejut. Hatinya hancur seketika. Ia mendapat kabar dari pihak sekolah bahwa dirinya tidak bisa lagi mengajar.

"Tiba-tiba di malam harinya, saya menerima pesan dari pihak sekolah kalau saya tidak bisa mengajar lagi di sekolah. Sakit banget!," cerita Nina (bukan nama sebenarnya) kepada PARBOABOA, Rabu (17/07/2024).

Nina merupakan salah satu dari ratusan guru honorer yang terkena imbas kebijakan cleansing atau pembersihan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta. Dalam catatan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), setidaknya ada 107 guru yang terdampak.

Menurut Plt Kepala Disdik DKI Jakarta, Budi Awaluddin, kebijakan kontroversial ini merupakan tindak lanjut dari hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). 

BPK sebelumnya menemukan adanya ketidaksesuaian antara peta kebutuhan honorer dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 63 Tahun 2022 serta ketentuan sebagai penerima honor. 

Pasal 40 (4) beleid tersebut menjelaskan, guru yang dapat diberikan honor harus memenuhi sejumlah persyaratan; berstatus bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), tercatat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dan belum mendapat tunjangan profesi guru.

Nina awalnya menerima keputusan itu sebagai bumbu perjalanan yang harus dilalui. Namun, naluri perlawanan mulai tumbuh setelah berdiskusi dengan beberapa rekan sejawatnya.

Bersama puluhan guru lainnya, Nina mendatangi Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu (17/7/2024). Mereka mencoba mengail dukungan secara kolektif-kolegial.

"Ada dorongan dan informasi bahwa ada yang berupaya memperjuangkan nasib kami, maka saya bangkit dan mencoba lagi," kata Nina.

Tak Dihargai 

Nina mengawali karirnya sebagai guru selepas lulus kuliah pada 2020 silam. Saat itu ia ditawari mengajar pada salah satu sekolah negeri di DKI Jakarta.

Sekolah merekrut Nina bukan tanpa sebab: kekurangan guru yang telah menjadi persoalan usang di kota-kota besar seperti Jakarta.

Nina menerima tawaran itu. Ia tak ingin menganggur terlalu lama. Ilmu yang didapat di bangku kuliah perlu segera ia terapkan.

Seiring berjalannya waktu, nasib Nina perlahan berubah. Pada Agustus 2023, sekolah tempat Nina mengajar mulai menerima Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Ilustrasi sekolah tempat belajar mengajar (Foto: PARBOABOA/Rahma Dhoni)

Posisi Nina sebagai guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) mulai tersingkir. Kepala sekolah menyarankannya untuk mencari sekolah lain. Ia terpaksa mengikuti saran tersebut, meski dengan berat hati.

Tak berselang lama, pada bulan yang sama, Nina mendapat tawaran mengajar di salah satu sekolah negeri di Jakarta Timur. Sayangnya, belum genap setahun, pada April 2024, ia diberhentikan dari sekolah karena Dapodik yang bermasalah.

Dapodik baru dikeluarkan sebulan setelahnya. Nina, yang saat itu sudah mengajar di salah satu sekolah swasta punya harapan, Dapodik tersebut bisa dipindahkan ke sekolah baru. 

Sialnya, akses One Click Server (OCS) Disdik Nina terkunci. Honor mengajar pun tak bisa dicairkan.

Pada 3 Juli 2024 lalu, Nina sempat dihubungi oleh kepala sekolah tempat Nina pertama kali mengajar. Ia diminta untuk mengikuti pendataan guru honorer dari Suku Dinas (Sudin) DKI Jakarta. Secara kebetulan, sekolah tersebut juga sedang membutuhkan guru PPKn.

Nina sedikit bernafas lega. Ia setidaknya bisa kembali mengabdi ke sekolah lamanya. Nina lalu memutuskan resign dari sekolah swasta, meski baru dua bulan mengajar.

Sayangnya, ekspektasi Nina untuk kembali ke sekolah negeri seketika hancur. Baru sehari mengajar, pada 11 Juli 2024, ia langsung diberhentikan.

Nina kecewa. Ia merasa dilecehkan dan tidak dihargai. Padahal, totalitas pengabdian dan tanggung jawab sebagai guru telah ia tunaikan. 

Nina bahkan pernah bertaruh nyawa dengan memaksa ke sekolah meski dalam kondisi hamil tua.

"Saya masih ingat saat saya mulai kontraksi untuk melahirkan, saya tetap mengajar karena mencintai dunia pendidikan,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Nina bahkan harus mengubur keinginannya untuk mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sejumlah persyaratan administratif jadi batu sandungan.

Ketiadaan SK pengangkatan honorer dari Dinas Pendidikan, menyulitkan Nina mengakses NUPTK. Begitu pun perekrutan PPPK yang dianggap sangat terbatas, membuatnya merasa pesimis. 

"Pada tahun 2021, saya tidak bisa mendaftar karena belum punya dapodik. Pada tahun 2022, P3K tidak dibuka untuk umum. Ketika dibuka, kuota untuk guru PPKn di Jakarta hanya satu orang. Saya merasa tidak punya kesempatan," ungkapnya.

‘Kami Bukan Sampah, Kami Manusia!’

Andi Febriansyah (27) berteriak lantang di hadapan para sejawatnya: "Kami bukan sampah yang bisa dibuang begitu saja. Kami adalah manusia!" 

Andi merupakan salah satu guru honorer yang geram dengan kebijakan cleansing garapan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. 

Kebijakan tersebut dianggap merendahkan martabat guru honorer. Ia merasa diperlakukan seperti barang yang bisa dibersihkan dan dipindahkan seenaknya.

Padahal, dalam Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, diksi yang digunakan adalah penataan, bukan pembersihan atau pengusiran. 

Andi, yang selama ini aktif mengadvokasi persoalan guru honorer dibikin tambah kesal, setelah mengetahui pemberhentian rekan-rekannya itu dilakukan secara senyap, tanpa landasan hukum yang jelas. 

"Tidak ada surat keputusan resmi, hanya surat kaleng tanpa nomor surat. Ini sangat tidak manusiawi," ungkap Andi dalam dialog bersama LBH Jakarta pada Rabu (17/07/2024) lalu.

Ia menilai, kebijakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta tidak rasional. Pemerintah semestinya mempertahankan status mereka sembari menunggu pembukaan formasi baru.

Disdik Jakarta perlu mengambil langkah serius dengan mengembalikan jam mengajar para guru honorer yang telah diberhentikan sepihak.

"Logikanya belum ada pembukaan formasi, kenapa harus disingkirkan?" tanya Andi.

Dari 107 guru yang terdampak cleansing, 76% di antaranya memiliki Dapodik. Jika Disdik DKI Jakarta berdalih atas nama alasan administrasi untuk melengserkan para guru honorer, “itu adalah kebohongan publik.”

Beberapa dari mereka juga bahkan sudah memiliki NUPTK. “Jadi, ini adalah kebijakan dinas yang sangat keliru," tegasnya.

Di sisi lain, potensi penambahan jumlah dari 107 guru honorer di wilayah DKI Jakarta yang terdampak, semakin terbuka lebar.

Kondisi ini, jika tak segera diatasi, bisa berujung pada PHK massal ribuan guru. “Ini sangat miris," tegasnya.

Bukan hanya di Jakarta 

P2G dan LBH DKI Jakarta saat ini sedang membuka posko pengaduan untuk mengakomodir laporan guru honorer yang menjadi korban cleansing.

Langkah ini, menurut Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, merupakan respon atas keluhan dan keresahan para guru honorer yang diperlakukan tidak manusiawi.

Imam menjelaskan, kebijakan cleansing guru honorer di DKI Jakarta mencerminkan carut-marut tata kelola guru di Indonesia.

Kasus yang terjadi di kota metropolitan itu, kata dia, hanyalah irisan kecil dari rumitnya problem tata kelola pendidikan di Indonesia.

Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri saat memberi keterangan pers di Kantor LBH Jakarta, beberapa waktu yang lalu. (Foto: PARBOABOA/Rahma Dhoni)

Sepanjang 2024, P2G menerima banyak laporan dari berbagai daerah terkait upaya pengusiran guru honorer.

Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ketidakadilan yang dialami para guru honorer, bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.

Di beberapa daerah, pengusiran guru honorer dilakukan dengan berbagai metode. Di Garut, misalnya, guru-guru honorer mengalami pengurangan jam mengajar secara drastis. 

P2G menemukan 466 kasus guru honorer di Garut yang jam mengajarnya tergeser. Padahal, bagi guru honorer, “jam mengajar adalah nyawa mereka.”

Kasus serupa juga terjadi di Lampung Utara, di mana guru honorer tidak diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi PPPK.

Sementara, mengacu pada Pasal 66 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), penataan pegawai non-ASN harus diselesaikan paling lambat Desember 2024. 

“Secara tidak langsung, karir para guru honorer ini seperti disetop. Kami anggap ini sangat tidak berkeadilan,” tegas Iman kepada PARBOABOA.

Iman juga mengaku heran dengan kebijakan cleansing di tengah kekurangan sekitar 1,3 juta guru di Indonesia.

Meskipun pada tahun 2022 dan 2023, sekitar 800 ribu guru telah diangkat melalui jalur PPPK, jumlah tersebut masih jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan yang ada. 

Kekurangan ini, kata dia, mengindikasikan krisis dalam sektor pendidikan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah. 

Menurutnya, seleksi PPPK hanya mampu memenuhi sekitar 56% dari kebutuhan guru. Jika seluruh guru honorer diberhentikan, Indonesia akan mengalami defisit guru yang parah. 

Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pendidikan Indonesia, terutama para siswa yang akan kehilangan bimbingan guru di sekolah.

Pria yang juga menjabat Wakil Sekjen Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara itu menyarankan para guru honorer tetap mempertahankan posisinya di sekolah hingga tahun 2024. 

Mereka juga perlu melengkapi persyaratan administratif seperti yang tercantum di Dapodik maupun NUPTK agar peluang mereka lebih terbuka. 

Hal ini demi memudahkan saat mengikuti seleksi calon PPPK ataupun CPNS di masa yang akan datang. 

Reporter: Rahma Dhoni

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS