PARBOABOA, Bogor - Di tangan Eka Zakaria (33), warga RT01/RW02 Kampung Perdayu, Desa Lumpang, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat limbah ban bekas dan tidak terpakai disulap menjadi barang-barang bermanfaat yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Sejak 2013, ia mengubah limbah ban bekas menjadi kursi, meja, tempat sampah hingga ayunan. Suka dan duka pun sudah ia rasakan. Bahkan dengan limbah ban bekas itu, Eka mampu menghidupi keluarga dan membantu ekonomi masyarakat di sekitar kampungnya.
"Kalau saya bergelut di limbah ban awal mulanya dari tahun 2013, kurang lebih 10 tahunan. Sekarang untuk ban ini alhamdulillah bisa mencukupi kehidupan saya dan keluarga. Saat ini saya ajak pemuda setempat kurang lebih 6 orang," ungkapnya kepada PARBOABOA, Sabtu (29/07/2023).
Adapun harga kerajinan tangan dari limbah ban bekas ini dibanderol mulai harga Rp60 ribu hingga Rp600 ribu rupiah.
"Kalau untuk penjualan kursi kita biasanya menjual itu satu set, satu set itu harganya Rp600 ribu/set dan untuk kampas per bodinya kita jual di angka Rp250 ribu, dan untuk pot bunga kita bisa jual Rp60 ribu hingga Rp100 ribu," tuturnya.
Eka mengaku penghasilannya bisa mencapai Rp5 juta hingga Rp15 juta per bulan.
"Untuk pemasaran kita sudah sampai ke Serang Banten dan perkiraan paling ramai itu bisa mencapai di angka Rp5 juta per bulan. Kalau ramai bisa mencapai Rp15 jutaan dan saya minta support dari lingkungan setempat untuk bersama-bersama menjalankan bisnis ini, karena kerajinan ini tak akan pernah habis dari rayap," jelasnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Seni Rupa Mata Kuliah Desain Produk dari Universitas Trisakti, Gihon mengaku tertarik membawa mahasiswanya melihat dan mempelajari desain hingga saling berbagi ilmu dengan masyarakat di Kampung Perdayu lewat limbah ban bekas yang dihasilkan Eka.
"Design itu penting, artinya kita dibuat bayang-bayang atau produk yang sudah. Tapi, jika membuat yang berbeda dari yang sudah dilakukan teman-teman itu adalah sebuah terobosan yang baru namanya. Itu tujuan datang saya ke sini untuk saling berbagi ilmu," tegasnya.
Gihon mengaku telah melakukan kerja sama itu selama 15 tahun dan sudah 30 kali mengabdi di masyarakat dengan Program Mata Kuliah Pengabdian Kepada Masyarakat.
"Saya sudah melakukan hal ini sudah 15 tahun dan tiap tahun itu saya punya program yang namanya pengabdian kepada masyarakat. Mungkin 1 semester bisa 1 atau 2 kali, itu kalau sudah 15 tahun sekitar sudah 30 kali," cetusnya.
Gihon mengaku menemui masalah saat terjun ke masyarakat saat melakukan pengabdian. Namun, ia mengembalikan hal tersebut kepada masyarakat untuk mau atau tidaknya mengembangkan kreasi dari limbah ban bekas tadi.
"Yang saya pikir kita lihat proses ya, kembali lagi ke masyarakat setempat sini, karena kita hanya bisa memberikan gambaran pandangan bahwa ini bisa dikembangkan, terkait dengan berhasil atau enggaknya itu kembali lagi kepada masyarakat mau apa tidaknya, mudah-mudahan masyarakat mempunyai kesadaran terkait mempunyai produk, kuncinya adalah kita harus membuat produk yang berbeda dengan yang lain," jelasnya.
Ia mengaku melihat adanya kemandirian desa yang sudah pasti berdampak meningkatkan ekonomi masyarakat.
"Jadi di sini saya lihat ada kemandirian dan itu bisa memberikan dampak yang baik secara internal dan eksternal yang menumbuhkan ekonomi," tambahnya.
Sementara itu, Founder Rumah Anak Bumi, Ridwan Manantik mengungkapkan, pelatihan kerajinan tangan dari ban bekas ini merupakan yang ketiga kalinya. Pencetus Desa Kreatif ini menilai, potensi ekonomi dari limbah ban bekas sangat besar.
"Ini kita pelatihan yang pertama ya di Desa Lumpang, tentang potensi ban bekas, yang menjadi produk pakai. Nah, ini sebetulnya bagaimana melihat potensi-potensi ini menjadi berlebih nilai-nilainya. Ini desa ketiga ya yang mulai kita bangun menjadi desa kreatif. Pertama Desa Jagabita, kedua Desa Cibunar, ketiga Desa Lumpang dan keempat Desa Gintung Cilejet yang akan kita garap besok hari minggu," jelasnya.
Ridwan berharap adanya desa kreatif di Lumpang, bisa menyadarkan masyarakat potensi masyarakat lokal dan sekitarnya tinggi dan bisa mengurangi pengangguran.
"Harapan saya tentunya besar banget, kenali dulu potensinya agar masyarakat sadar dengan potensinya sendiri dan lokalnya. Itu harapan yang bisa dioptimalkan bisa menjadi nilai ekonomi sehingga mereka tidak lagi keluar dari kampung untuk mendapatkan pekerjaan tapi justru menciptakan pekerjaan di kampungnya sendiri dan tujuan utamanya untuk meningkatkan potensi dan meningkatkan nilai-nilai ekonominya agar masyarakat bisa menjadi mandiri," jelasnya.
Hal Senada diungkapkan Kepala Pusat Studi Reka Rancang Visual dan Lingkungan yang merupakan Dosen Seni Rupa Universitas Trisakti, Dikdik Adikara Rachman yang memilih Desa Lumpang menjadi titik pelatihan karena sudah memiliki produk kerajinan.
"Jadi Desa Lumpang ini kami pilih sebagai salah satu titik pelatihan, karena mereka sudah memiliki produk dan sudah memiliki tradisi di pengolahan limbah, dan persoalannya lebih di pengetahuan design akan tetapi kalau teknis mah mereka jago-jago ya udah tidak bisa dilawan lah ya, bahkan, dosen dan mahasiswa pun sebetulnya datang ke sini bukan untuk melatih tapi saling juga berbagi," kata Adikara, begitu ia akrab disapa.
Ia menambahkan, tujuan utama dari kedatangan Dosen dan Mahasiswa Universitas Trisakti sebagai simbiosis mutualisme.
"Jadi dosen dan mahasiswa mempunyai pengetahuan teknis, kemudian teman-teman dari Desa Lumpang ini juga minim pengetahuannya itu, saling menguntungkanlah, dan saya yakin teman-teman pemuda di Desa Lumpang mempunyai kreativitas jauh lebih setingkat lebih majulah supaya mereka juga bisa bertahan dengan kemampuan teknisnya sampai masa yang akan datang," pungkas Adikara.