PARBOABOA, Jakarta – Perekrutan pekerja rumah tangga (PRT) memiliki berbagai macam pola. Mulai dari perekrutan langsung, dari mulut ke mulut sesama PRT hingga melalui penyalur.
Dari berbagai pola ini, pola perekrutan langsung oleh pemberi kerja yang masuk dalam kategori perekrutan PRT paling aman, karena bisa mengetahui langsung siapa majikannya.
Pola aman lain untuk pekerja rumah tangga yaitu melalui mulut ke mulut alias dari sesama teman PRT.
Seperti yang dialami Muniroh (50), PRT yang bekerja di Apartemen Botanica, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, yang mengaku bisa bekerja di apartemen mewah karena rekomendasi dari temannya.
“Bos teman saya lagi nyari PRT yang sudah pengalaman. Terus teman aku itu nawarin, ‘Bu mau enggak kerja di apartemen? Saya bilang ya mau’. Terus saya interview dengan bosnya kemudian nego gaji, Alhamdulillah ketemu langsung keterima. Alhamdulillah cocok sampai sekarang udah mau jalan 11 tahun,” cerita Muniroh kepada Parboaboa.
Sementara pola yang ketiga adalah perekrutan melalui penyalur. Dengan pola ini, pekerja rumah tangga nantinya akan disalurkan penyalur kepada pemberi kerja yang membutuhkan jasanya.
Penyalur atau pihak ketiga bisa melalui perusahaan penyalur, bisa juga melalui laman pencarian (website), jika hendak mencari pekerja rumah tangga via daring atau online melalui laman pembantu.com.
Di laman ini, penyalur terlebih dahulu mendaftar, sebelum memasarkan PRT-nya. Bila sudah terdaftar, penyalur bisa memasarkan PRT di website tersebut.
Selain penyalur, pemberi kerja yang ingin mencari PRT juga diwajibkan mendaftar di laman tersebut.
Pemberi kerja yang ingin merekrut PRT akan dikenakan biaya penggunaan website sebesar Rp300 ribu untuk satu kali transaksi.
Penelusuran Parboaboa melalui laman tersebut juga ditemukan pemberi kerja juga harus membayarkan biaya administrasi perekrutan kepada penyalur, mulai dari Rp1 juta hingga Rp3 juta untuk 1 PRT. Termasuk garansi jika ingin menukar PRT karena tidak cocok.
Biaya-biaya yang dibebankan itu di luar dari gaji PRT dan uang transportasi, jika PRT tidak dijemput.
Proses yang tertera di laman tersebut dimulai dengan pemberi kerja mencari calon PRT-nya di website dan jika sudah menemukan sosok PRT yang sesuai dengan kriteria, pemberi kerja bisa langsung check out dan membayarkan biaya website.
Selanjutnya, admin website akan menghubungi pemberi kerja untuk memberikan kontak penyalur PRT yang bersangkutan.
Setelah itu, pemberi kerja bisa langsung mewawancarai PRT melalui penyalur. Jika cocok, PRT bisa dijemput di lokasi penyalur atau langsung datang ke rumah pemberi kerja.
Hanya saja, berdasarkan penelusuran Parboaboa, penyalur yang terdata di pembantu.com banyak yang tidak berbadan hukum. Sebagian besar dari mereka hanya perorangan. Misalnya, Ibu Ani di Cilandak, Jakarta Selatan, Bapak Naufal, Ibu Adel di Pesanggrahan Jakarta Selatan, dan Ibu Ester di Tebet.
Padahal, menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015, lembaga penyalur PRT harus memiliki Surat Izin Usaha Lembaga Penyalur PRT (SIU-LPPRT) dari gubernur atau kepala daerah terkait.
Perekrutan Lewat Penyalur Sebabkan Kasus Kekerasan PRT
Pola penyaluran melalui penyalur atau yang biasa disebut agen oleh PRT yang seringkali memunculkan masalah. Salah satunya kasus kekerasan yang dialami Siti Khotimah, PRT asal Pemalang, Jawa Tengah yang menjadi korban penyiksaan majikannya, So Kasander dan Metty Kapantow di Jakarta. Siti Khotimah bisa bekerja dengan pasangan itu melalui penyalur PRT.
“Dia itu disalurkan melalui agen yang dikenalnya dari Facebook. Dia (Siti Khotimah) tidak tahu dengan siapa bekerja,” kata Lita Anggraini, Kuasa Hukum Siti Khotimah.
Lita yang juga Koordinator Nasional Jaringan Advokasi (Jala) PRT ini mengatakan, pola perekrutan melalui penyalur juga dialami PRT lain. Bahkan, Jala PRT sering menerima laporan dari orang tua PRT yang mencari keberadaan anaknya.
“Saya banyak dapat aduan dari keluarga PRT untuk mencarikan di mana PRT itu bekerja. Mereka sendiri tidak tahu di mana anak, istri atau suaminya bekerja,” jelas Lita.
Ia menyebut, banyak penyalur yang menempatkan PRT secara buta, yang bersangkutan dan keluarganya tidak mengetahui akan bekerja di mana.
Seperti yang dialami Nanik Supartini yang mengaku pernah bekerja sebagai PRT melalui penyalur pada tahun 1999.
"Istilahnya dulu itu makelar. Dia dapat bayaran dari majikan. Tapi makelarnya tidak bertanggung jawab. Saya disalurkan tapi gak jelas untuk di mana," cerita Nanik yang kini bekerja di apartemen Lippo Kemang, Jakarta Selatan itu.
"Katanya, saya mau dikerjakan di sini, tapi dioper lagi di sana, sebelum kerja gak dipertemukan dengan majikan. Nanti kamu kerja sama ini, tapi ternyata enggak sama itu majikannya, ama orang lain," sambungnya.
Menurutnya, penyalur akan mengantar PRT ke majikannya. Itu ia lakukan saat awal bekerja sebagai PRT.
Namun, saat ini Nanik tak mau lagi bekerja melalui penyalur PRT. Ia khawatir tertipu, disandera, dan dokumen pentingnya tertahan.
Model rekrutmen begitu, kata Lita, akan merugikan PRT dan pemberi kerja. PRT rentan sekali disandera, ditipu, dan diperas oleh penyalur.
“Jala PRT selama ini menangani kasus sehari lebih dari 12 kasus PRT yang disandera karena berbulan-bulan belum disalurkan. Dia harus membayar jutaan untuk ganti makan selama tinggal di situ,” ujarnya.
“Dokumen penting PRT juga kerap ditahan, dan disuruh tebus Rp250 ribu per dokumen. Ada PRT yang ditipu juga, ia dijanjikan akan dipekerjakan untuk bersih-bersih tapi ternyata dia dipekerjakan lebih dari itu, termasuk mengasuh anak. Selain itu, ada yang gajinya dipotong penyalur,” imbuh Lita.
RUU PPRT Memuat Tata Kelola Perekrutan PRT
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) memuat sejumlah pasal terkait mekanisme perekrutan pekerja rumah tangga.
Dalam RUU itu disebutkan perekrutan PRT bisa dilakukan melalui penyalur yang memiliki SIU-PPRT yang diterbitkan bupati atau wali kota. Di Pasal 22 draft RUU PPRT menyebut, SIU-PPRT berlaku selama 5 tahun dan harus diperpanjang paling lambat 3 bulan sebelum masa berlaku berakhir.
Kemudian Pasal 23 menyebutkan penyalur PRT tidak boleh memungut biaya dalam bentuk apapun kepada PRT, menahan dokumen PRT, dan menyalurkan PRT kepada badan usaha lainnya yang bukan pemberi kerja perseorangan.
Adapun penyalur yang melanggar ketentuan itu akan disanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan kegiatan usaha dan pencabutan izin. Hanya saja, draft RUU itu belum memuat mekanisme rinci ihwal perekrutan PRT.
Kornas Jala PRT, Lita Anggraini mengatakan, ke depan harus ada pendataan terintegrasi bagi pekerja rumah tangga, sehingga ke depan, rekrutmen PRT tercatat di aparat desa dan terdata terpadu secara daring atau online.
“PRT ada tahap wawancara langsung sebelum kerja dengan calon pemberi kerja melalui video call dengan disaksikan aparat desa atau suku dinas. Itu dapat meminimalkan penempatan buta penyalur, sehingga PRT tahu di mana dia akan bekerja dan bekerja untuk siapa,” jelasnya.
Selama ini, menurut Lita, pemberi kerja kerap mengeluh tidak mendapatkan pekerja yang sesuai kriteria. Begitu juga dengan PRT yang sering menjadi korban penyalur nakal.
“Jadi ini udah praktik-praktik lingkaran setan, negara harus hadir untuk menghentikan dan mengesahkan RUU PPRT ini,” tegasnya.
Sebelumnya, Jala PRT terus menyerukan agar DPR segera membahas RUU PPRT di masa sidang 15 Mei hingga 13 Juli. Apalagi sebelumnya, pemerintah telah menyelesaikan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PPRT.
Ada 367 pasal terkait perubahan substansi, redaksional dan urutan, termasuk usulan perubahan, khususnya pada mekanisme perekrutan dan penempatan PRT dan pengaturan antar pihak PRT, pemberi kerja dan perusahaan penempatan penempatan PRT (3PRT) dan peningkatan keahlian dan keterampilan PRT di DIM RUU PPRT.
Bahkan hari ini, Rabu (14/6/2023), Jala PRT menggelar aksi mencuci baju di depan Gedung DPR RI untuk mendesak agar RUU PPRT segera disahkan DPR.
Dalam aksi itu, sekira 20 pekerja rumah tangga membawa baju, ember, papan penggilasan dan jemuran untuk mencuci baju.
Menurut Perwakilan Jala PRT, Yuni Sri Rahayu, lewat aksi cuci baju itu, PRT ingin mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT.
"Selama UU PPRT belum disahkan, kami akan terus menggelar aksi di depan DPR. Apalagi, ini sekaligus menyambut hari PRT internasional yang akan jatuh pada 16 Juni mendatang," katanya.
Yuni menjelaskan arti dari aksi mencuci baju itu untuk mencuci segala bentuk perbudakan, kekerasan, dan diskriminasi terhadap PRT. Ia berharap RUU PPRT bisa disahkan demi kehidupan yang lebih layak bagi PRT.
"Dengan nanti RUU PPRT disahkan pekerja rumah tangga mendapatkan kerja layak, hidup layak dan upah layak," jelas Yuni.
Ia melanjutkan, Jala PRT kerap menerima laporan kasus pekerja rumah tangga. Dalam satu hari, kata Yuni, bisa lebih dari 12 kasus yang masuk.
"Kasus itu meliputi penyanderaan PRT, penipuan, pemotongan gaji oleh penyalur, hingga penyekapan majikan," katanya.
Catatan Jala PRT, sepanjang Januari hingga Mei 2023 saja, ada 600 aduan pekerja rumah tangga yang disandera penyalur di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jakarta.
"Hal ini lantaran belum adanya Undang-Undang yang mengakui pekerja rumah tangga. Hingga saat ini, RUU yang diharapkan dapat melindungi PRT masih mandek pembahasannya di meja pimpinan DPR RI," imbuh Yuni Sri Rahayu.