parboaboa

Bahaya Zoonosis hingga Kebiasaan Konsumsi Daging Busuk

Anna | Kesehatan | 23-05-2024

Tim YIARI saat melakukan vaksinasi rabies di Kalimantan Barat. (Foto: Dok. YIARI)

PARBOABOA - Penularan penyakit dari hewan ke manusia tak dapat ditampik, lantaran kasus demi kasus masih terjadi hingga saat ini di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan seorang dokter hewan bernama Wendi Prameswari, Senior Programme Officer One Health and Welfare dari Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).

Perempuan asal Purworejo, Jawa Tengah itu mengatakan bahwa penularan penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya dikenal dengan sebutan zoonosis.

“Biasanya kalau mau dibuat spesifik, dari manusia ke hewan disebut zooanthroponosis dan dari hewan ke manusianya disebut anthropozoonosis,” jelasnya kepada PARBOABOA di Kantor YIARI, Rabu (22/5/2024).

Namun, lanjut Wendi–sapaan akrabnya, untuk lebih mempermudahnya disebut saja zoonosis.

“Itu pun kadang orang masih kayak mengernyitkan dahi, ini apa (ketika mendengar istilah zoonosis),” ujarnya menirukan respons yang biasa tampak di kalangan masyarakat.

Dalam praktiknya, Wendi menyebut, merupakan tantangan tersendiri dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait zoonosis yang kerap lewat begitu saja di pikiran masyarakat alias tak terlalu dianggap penting.

“Ketika mendengar istilah zoonosis biasanya yang terlintas adalah hal-hal yang terkesan rumit, seperti riset dan medis. Di sini tantangan kita, bagaimana menyederhanakan semua itu agar bisa sampai ke masyarakat,” tuturnya.

Usaha tersebut penting, karena menurutnya, penularan penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya di Indonesia saat ini seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak.

“Saya mengkhawatirkan ini seperti bom waktu. Kamu tidak pernah tahu tiba-tiba kejadian saja, duarr (ledakan),” ucapnya.

Ia mencontohkan, satu kasus pernah terjadi sekitar 2018. Saat itu, terdeteksi penyakit malaria knowlesi pada seekor primata peliharaan warga di daerah Aceh.

“Malaria itu harusnya cuman ada di monyet ekor panjang yang berada di habitat, tapi itu sudah terbawa sampai ke (lingkungan) manusia. Kalau itu sampai tertular ke manusia itu fatal karena setahu saya obatnya juga belum ada,” tuturnya.

Wendi Prameswari, Senior Programme Officer One Health and Welfare dari YIARI (Foto: Dok. YIARI)

Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menjelaskan, bagaimana proses penularan penyakit dari hewan ke manusia itu dapat terjadi.

Salah satunya, Ia mengulang soal malaria yang dapat ditularkan melalui parasit darah.

“Parasit darah itu sifatnya dia harus pindah dari satu rumah (inang: tempat penampung virus atau parasit) ke rumah yang lain. Jadi, cara parasit ini berpindah salah satunya melalui nyamuk,” ujarnya.

Lebih detail, Ia menceritakan bahwa mulanya nyamuk menggigit inang atau tempat parasit darah tersebut tinggal di tubuh monyet, kemudian membawanya kepada manusia.

Hal itulah yang membuat terjadinya penularan penyakit malaria atau zoonosis. Sebagian besar masyarakat juga kemudian tahunya bahwa malaria berasal dari nyamuk, jelas Wendi.

Namun, kata Wendi, ada juga malaria yang tidak menular dari hewan ke manusia, yaitu malaria yang khusus atau hanya ada pada tubuh orangutan berdasarkan publikasi jurnal berjudul “Plasmodium pitheci malaria in Bornean orang-utans at a rehabilitation centre in West Kalimantan, Indonesia”.

Dia juga menuturkan bahwa zoonosis sangat erat kaitannya dengan perubahan lingkungan, seperti global warming atau pemanasan global.

Global warming itu kan berarti suhu bumi akan menghangat. Suhu hangat itu bisa juga menaikkan, salah satunya adalah meningkatkan perkembangbiakan nyamuk. Si nyamuk ini semakin banyak menetas,” katanya.

Setelah nyamuk banyak menetas, lanjut Wendi, di sisi lain terdapat satwa liar yang keluar dari hutan lantaran terjadinya deforestasi (penggundulan atau penebangan hutan).

Kedua hal tersebut, menurutnya, semakin memperbesar potensi penularan zoonosis karena keberadaan satwa liar yang semakin dekat dengan manusia, dan nyamuk sebagai salah satu media pembawa penyakit pun jumlahnya meningkat karena perubahan iklim.

Ancaman Rabies di Indonesia

Seorang ibu di Desa Batu Lapis sedang memegang seekor anjing. (Foto: Dok. YIARI)

Salah satu virus mematikan yang dapat menular dari hewan ke manusia adalah rabies. Menurut Kementerian Kesehatan pada situs resminya, rabies merupakan zoonosis yang utamanya ditularkan oleh anjing, kelelawar, kucing, dan primata. Rabies menular melalui gigitan satwa yang mengandung virus. 

Pada Januari hingga April 2023, kasus rabies diumumkan oleh Kementerian Kesehatan, yakni sejumlah 31.113 kasus rabies di Indonesia.

Provinsi Bali menempati posisi paling atas, dengan jumlah 14.827 kasus rabies. Urutan kedua ditempati oleh Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan jumlah 3.437 laporan kasus rabies.

Selanjutnya, Sulawesi Selatan dengan total 2.338 kasus, Kalimantan Barat dengan total 1.188 kasus, dan Sumatra Barat sejumlah 1.171 kasus.

Pada tahun lalu, Jumat (2/6/2023), Imran Pambudi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular mengatakan, rabies merupakan tantangan besar di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan lantaran dalam tiga tahun terakhir kasus gigitan hewan rabies rata-rata lebih dari 80.000 kasus per tahunnya, dengan rata-rata kematian sejumlah 68 orang.

“95% kasus rabies pada manusia didapatkan lewat gigitan anjing yang terinfeksi. Ada juga beragam hewan liar yang bertindak sebagai reservoir virus di berbagai benua, seperti rubah, rakun, dan kelelawar. Tetapi, 95% karena gigitan anjing,” jelasnya.

Kasus rabies tersebut diamini oleh Wendi. Ia menyebut, bahwa saat ini penyakit rabies menjadi perhatian di tingkat nasional.

“Contohnya di tahun lalu adalah di Kalimantan Barat sama NTT. Kalimantan Barat itu kematian masyarakat karena rabies kalau enggak salah ada 16 orang,” ungkapnya.

Sementara, untuk kasus rabies di NTT juga cukup tinggi dan menjadi perhatian lebih karena berada di tapal batas dengan Timor Timur. Per 5 April 2024, ada 43 orang yang meninggal dunia karena kasus rabies di NTT.

Melalui informasi dokter hewan lain yang sempat ke NTT, kata Wendi, hambatan yang terjadi dalam penanganan rabies di antaranya adalah kesulitan melakukan vaksinasi terhadap anjing liar.

“Ya, karena anjing liar. Seperti di Kalimantan Barat kan juga enggak semua anjing bisa ditangkap dan divaksinasi,” ucapnya.

Manusia Tularkan Penyakit ke Hewan

Seekor anjing sedang dikerumuni oleh anak-anak saat sedang divaksin rabies. (Foto: Dok. YIARI)

Di Indonesia, Wendi mengatakan bahwa kasus zoonosis juga pernah terjadi pada hewan yang ditularkan oleh manusia.

Pada 2021 silam, ingatnya, Taman Margasatwa Ragunan mengumumkan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang berada di kebun binatang tersebut didiagnosis positif Covid-19.

“Kemudian ada studi secara historis atau perjalanan kasusnya. Akhirnya ditemukan bahwa kasus ini berawal dari perawat satwa yang sakit duluan,” ujar Wendi.

Lebih lanjut, Ia menjelaskan, untuk kasus Covid-19 yang ditularkan oleh manusia ke satwa liar tersebut, virusnya tidak akan ditularkan kembali ke manusia.

“Satwa liarnya sudah end point (titik akhir) gitu. Mereka (satwa liar) enggak akan menularkan ke manusia lagi setahu saya. Tetapi, kemungkinan bisa menularkan kepada hewan lainnya,” kata Wendi.

Mengenai penularan penyakit atau zoonosis, Indonesia memiliki beberapa regulasi yang mengatur pengendalian penyakit tersebut, yaitu  Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis.

Monyet ekor panjang, salah satu hewan yang dapat menimbulkan zoonosis. (Foto: Dok. YIARI)

Setelahnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan.

Pun, juga ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Nomor 400.5.2/1387/SJ tentang Pencegahan dan Pengendalian terhadap Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru di Daerah.

Bahkan, Indonesia juga memiliki Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru melalui Permenko PMK Nomor 7 Tahun 2022.

Melalui presentasi oleh drh. Rama P.S Fauzi, Analis Kebijakan Ahli Madya, Koordinator Penanggulangan KLB/Wabah dan Kedaruratan Kesehatan–Kemenko PMK dalam Seminar Nasional One Health pada 5 Desember 2023 lalu di Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat, meskipun ada regulasi yang mengatur, tapi hambatan dalam implementasi pun tak dapat dihindarkan.

Dia mengungkap bahwa tantangan dalam pelaksanaan Permenko PMK tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hambatan politik, kelemahan institusi, ketidakmampuan sumber daya manusia, hingga adanya perbedaan agenda tujuan aktor.

Wendi juga menambahkan, tantangan lainnya dalam upaya mitigasi zoonosis adalah geografis Indonesia yang teramat luas sehingga membuat tak semua dapat dijangkau secara maksimal.

Daging Satwa Liar Busuk Penuh Bakteri dan Mikroba Jahat

Bicara soal zoonosis, Wendi menyebut bahwa ada kebiasaan sekelompok masyarakat yang hingga kini masih mengonsumsi satwa liar.

Lebih-lebih, pihaknya pernah mendapati masyarakat memakan satwa liar yang sudah dalam kondisi busuk atau daging buntau (bahasa Kalimantan Barat) karena dianggap sayang kalau dibuang.

Pihaknya yang berada di Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, tepatnya di sekitar Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya punya cerita menarik soal kearifan lokal di salah satu desa di lokasi tersebut.

“Di sana memang ada kearifan lokal. Ketika sudah pasang jerat, hewannya terjerat, mati dan sudah jadi bangkai, tapi tetap dimakan. Nah, itu terjadi di sana,” kata Wendi.

Kalau bicara higienitas makanan, lanjutnya, itu kan sudah tidak higienis, pasti sudah busuk, dan lain sebagainya sehingga tidak layak. Tetapi, buat mereka itu enak.

Oleh karena itu, kata Wendi, dalam pengolahan daging busuk tersebut masyarakat akan menggunakan bumbu yang banyak untuk membuat rasanya menjadi enak saat dikonsumsi.

Nama makanannya katok. Masakan ini, ujarnya, khusus menggunakan daging babi busuk yang dikasih bumbu dan dicampur daun ubi tumbuk.

Bahkan, pernah suatu hari pihaknya menanyakan kepada seorang warga yang mengonsumsi daging busuk.

“Ada yang pernah diwawancara oleh salah satu staf kita. Ibu-ibu pernah bilang, habis makan itu sakit perut. Ya, gimana ya. Namanya daging busuk,” ujar Wendi.

Menurut Wendi, kondisi yang akhirnya membuat warga tersebut masuk Puskesmas adalah karena keracunan makanan.

Saat ditanya, mengapa ada masyarakat yang sakit dan ada yang tidak sakit waktu mengonsumsi daging busuk.

Dia menjelaskan bahwa kalau daging busuk itu sudah pasti sudah ada bakteri  dan mikroba-mikroba untuk proses pembusukan.

“Mungkin ada beberapa (mikroba/patogen) dalam proses pengolahannya (masak) mati atau hilang. Jadi, kebetulan saat mengkonsumsi enggak sakit orang yang makan,” terangnya.

Dia juga menunjukkan, ada cukup banyak video di Instagram yang diproduksi oleh content creator asal Kalimantan.

Dalam akun tersebut, konten-kontennya memperlihatkan bagaimana mereka mengonsumsi satwa liar, baik dalam kondisi bagus maupun busuk.

Wendi menganggap, hal tersebut adalah fenomena yang mesti diperhatikan. Sebelumnya level konsumsi satwa liar ada di ranah rumah tangga atau hanya untuk kebutuhan konsumsi rumahan atau adat istiadat. 

Namun, sekarang sepertinya sudah mulai bergeser maknanya. “Semakin ke sini saya melihat, kok malah jadinya bergeser ya maknanya,” ucapnya miris.

Dia menyoal terkait konten-konten konsumsi satwa liar yang kini dapat dinikmati secara bebas oleh pengguna media sosial.

“(Konsumsi satwa liar) jadi pamer. Pasti orang yang melihat, lama-lama meniru, dan berpikir ini enak enggak sehingga akhirnya bisa jadi komoditas,” ungkapnya.

Dia mengaku, setelah melihat konten-konten tersebut merasa heran. “Loh, kok sekarang jadi komersil, ya. Content-content creator jadi memanfaatkan itu,” ujarnya.

Menurutnya, ini juga perlu diperhatikan dan dilihat dari sisi keamanan pangan karena zoonosis pasti masuk di situ.

Dalam proses perburuan hingga pengolahan terdapat darah dan cairan yang berpotensi menularkan penyakit ke manusia.

Pencegahan Zoonosis

Anak perempuan tampak tengah membaca poster sosialisasi tentang zoonosis. (Foto: Dok. YIARI)

Pengendalian zoonosis di Indonesia dinilai tak mudah dan mempunyai tantangan tersendiri, baik di tingkat pemerintahan, stakeholder atau para pihak yang berkepentingan, maupun di tingkat tapak atau masyarakat.

Wendi menerangkan, sekarang yang menjadi perhatian oleh pihaknya juga adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Saat wawancara dengan PARBOABOA, Ia mengingat kejadian unik yang terjadi saat akan melakukan vaksinasi rabies di Desa Batu Lapis, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

“Saya kemarin menemukan hal menarik di Batu Lapis, Hulu Sungai. Masyarakat di sana tidak suka mendengar kata vaksinasi. Mereka takut. Tetapi, ketika kata itu diganti menjadi imunisasi, mereka enggak masalah,” ujarnya sambil tersenyum.

Ia menceritakan, ada seorang ibu yang mendekatinya dan mengatakan, “Jangan bilang vaksin, tapi imunisasi,” tirunya.

Menurut Wendi, masyarakat di sana akan lebih senang mendengar kata imunisasi ketimbang vaksinasi meskipun secara arti keduanya bermakna sama.

Keragaman masyarakat bagi Wendi merupakan hal yang pasti sehingga pendekatan yang dilakukan di tiap wilayah pun tentu tidak akan sama.

“Selama ini, kami hanya fokus pada penyakitnya saja karena kami dokter hewan. Tetapi, menurut saya penting juga untuk belajar ilmu sosial agar dapat memahami dan mampu melakukan pendekatan ke masyarakat”.

Bicara soal pencegahan zoonosis, Wendi menyebut, terdapat sesuatu yang sangat mendasar dan mesti disosialisasikan kepada masyarakat.

“Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) itu harus diterapkan dalam rumah tangga. Cuci tangan, ganti baju, gosok gigi, dan lain sebagainya. Menurut saya itu hal dasar yang menjadi bagian dari edukasi kepada masyarakat. Mulai dari anak-anak melalui sekolah sampai ibu-ibu melalui posyandu atau puskesmas”.

Menurutnya, edukasi terkait penyakit itu harus dilakukan tidak cukup sekali sehingga hal tersebut melekat dalam pikiran sampai menjadi kesadaran di masyarakat.

“Harus diingatkan kembali. Mungkin hari ini kita ngomongin rabies, beberapa bulan kemudian ngomongin penyakit lain. Tetapi, nanti kita kembali lagi ngomongin rabies. Karena kalau enggak diingatkan, biasanya akan lupa”.

Dia percaya bahwa edukasi model seperti ini tak boleh berhenti atau dilakukan di satu waktu saja. Harus ada sustainability atau keberlanjutan untuk membangun kesadaran di masyarakat.

Ia berpesan, “Bahasakan sesuatu itu menjadi lebih sederhana dan mudah sehingga masyarakat dengan berbagai latar belakang itu lebih gampang menerimanya. Kalau enggak seperti itu, sulit juga sih untuk sampai ke masyarakat yang berada di pelosok-pelosok Indonesia”.

Selain itu, Wendi juga berharap, negara dapat membuka tangan yang lebar untuk  ruang komunikasi, koordinasi, dan  kolaborasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis. 

Sementara itu, Staf Konten Administrator YIARI, Fathia Rosatika menambahkan, timnya pun menghadapi tantangan dalam mengampanyekan isu zoonosis di media sosial.

Selaras dengan Wendi, perempuan yang akrab disapa Ocha itu mengaku, salah satu tantangannya adalah membuat narasi yang sederhana dan mudah diterima oleh warganet.

“Tak cukup hanya narasi yang sederhana, kita juga biasanya menyajikan konten dengan visualisasi untuk memudahkan audiens memahaminya”.

Sebab, kata Ocha, membahasakan perihal zoonosis yang materinya kebanyakan berasal dari jurnal atau riset, tentu perlu usaha lebih untuk membuatnya lebih bisa diterima oleh semua pengguna media sosial yang beragam.

Editor : Anna

Tag : #YIARI    #Zoonosis    #Kesehatan    #Bahaya Daging Busuk    #Kalimantan Barat    #Konsumsi Satwa Liar   

BACA JUGA

BERITA TERBARU