Bahaya AMR: Ketika Obat Tak Lagi Mujarab

Ilustrasi obat-obatan atau antibiotik. (Foto: iStock)

PARBOABOA – Pernah bayangin nggak kalau obat yang biasa kita pakai buat sembuhin penyakit tiba-tiba tak lagi bekerja? Ini bukan fiksi, tapi ancaman nyata yang sudah di depan mata.

Tanpa disadari, kita sedang menghadapi musuh yang lebih mematikan dari pandemi. Musuh ini adalah Antimicrobial Resistance (AMR), atau resistensi antimikroba.

AMR adalah kondisi di mana mikroba seperti bakteri menjadi kebal terhadap obat yang biasanya efektif membunuh mereka.

Di Indonesia, salah satu penyebab utama AMR adalah sikap“overtreatment” terhadap penggunaan obat-obatan, khususnya antibiotik, secara berlebihan.

Praktek ini, meski dimaksudkan untuk mencegah infeksi, nyatanya justru dapat membawa bahaya besar bagi kesehatan.

Apa Itu AMR?

AMR adalah kondisi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit menjadi kebal terhadap obat-obatan yang sebelumnya efektif untuk melawan mereka.

Dalam kasus ini, antibiotik, antivirus, dan obat-obatan lain tidak lagi mampu membunuh atau mengendalikan mikroorganisme tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan, bahwa AMR bisa menyebabkan 10 juta kematian per tahun 2050 mendatang jika tidak ada tindakan serius yang diambil.

Data dari WHO menunjukkan bahwa setiap tahun, setidaknya 700 ribu orang di dunia meninggal akibat infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme resisten obat.

Di Indonesia sendiri, kasus infeksi bakteri yang kebal terhadap antibiotik sudah sering ditemui di rumah sakit.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan pada 2019, peningkatan resistensi bakteri terhadap beberapa antibiotik utama seperti ciprofloxacin dan amoxicillin.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, salah satu penyebab utama AMR adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

Di Tanah Air, fenomena pemberian antibiotik yang berlebihan masih sering terjadi, terutama pada infeksi ringan seperti flu atau demam, padahal antibiotik tidak efektif untuk infeksi virus.

Hal ini justru mendorong bakteri untuk beradaptasi dan mengembangkan mekanisme pertahanan yang membuat obat-obatan tidak lagi ampuh.

Sebagai contoh, kita sering kali menemukan kasus pemberian antibiotik pada anak-anak yang menderita batuk pilek. 

Meskipun batuk pilek pada anak umumnya disebabkan oleh virus, banyak orang tua yang masih memberikan antibiotik sebagai tindakan pencegahan. 

Menurut Yayasan Orang Tua Peduli, sekitar 80% kasus batuk pilek pada anak-anak disebabkan oleh infeksi virus, yang tidak memerlukan antibiotik. Pemberian antibiotik dalam kasus ini bukan hanya tidak efektif tetapi juga dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik (AMR).

Bahkan, pemberian antibiotik yang berlebihan dapat memiliki efek samping serius, termasuk resistensi antibiotik yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih besar. 

Kasus resistensi antibiotik ini dapat mengakibatkan komplikasi kesehatan yang serius, seperti disabilitas dan kematian.

Selain itu, kebiasaan masyarakat yang tidak menghabiskan antibiotik sesuai resep dokter juga menjadi faktor utama.

Banyak pasien yang berhenti mengonsumsi antibiotik saat merasa sudah membaik, padahal bakteri belum sepenuhnya hilang. Hal ini memungkinkan bakteri yang tersisa untuk mengembangkan resistensi.

Dampak Bahaya AMR

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat resistensi antibiotik tertinggi di dunia.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Eijkman Institute di Jakarta, ditemukan bahwa 60% dari isolat bakteri di rumah sakit Indonesia sudah kebal terhadap setidaknya satu jenis antibiotik.

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa ada 35% masyarakat yang menyimpan obat di rumah. Dari semua obat yang disimpan itu, 27,8 persen di antaranya merupakan antibiotik dan 35,7 persen termasuk obat keras.

Itu artinya banyak warga mengonsumsi obat, termasuk antibiotik dan obat keras, secara bebas tanpa memperhatikan ketepatan diagnosis. Warga kerap membeli secara bebas obat yang seharusnya diresepkan dokter.

Lebih lanjut, penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Global Antimicrobial Resistance pada tahun 2021 menunjukkan bahwa resistensi terhadap antibiotik lini pertama seperti ampisilin dan eritromisin mencapai angka yang mengkhawatirkan, yaitu di atas 50% pada bakteri penyebab infeksi saluran kemih di Indonesia.

Ini berarti, banyak antibiotik yang dulu efektif sekarang menjadi tidak berguna dalam melawan infeksi bakteri tertentu. Dan ini bukan hanya masalah yang dihadapi rumah sakit besar di kota-kota besar; di pedesaan, masalah ini bahkan bisa lebih parah karena kurangnya akses ke pengobatan yang tepat dan penyalahgunaan antibiotik yang meluas.

Jika AMR terus dibiarkan, dampaknya bisa sangat fatal. Operasi besar seperti transplantasi organ, perawatan kanker, hingga persalinan bisa berdampak serius karena meningkatnya risiko infeksi yang tidak dapat diobati.

Pasien yang seharusnya bisa sembuh dengan mudah, justru bisa mengalami komplikasi serius atau bahkan kematian.

Selain itu, biaya kesehatan juga akan meningkat drastis. Perawatan pasien yang terinfeksi mikroorganisme resisten memerlukan obat-obatan yang lebih kuat dan lebih mahal, serta waktu perawatan yang lebih lama.

Hal ini akan memberatkan sistem kesehatan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Langkah Pencegahan

Menurut situs WHO, pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan nasional untuk pengendalian resistensi antimikroba (AMR) melalui Peraturan Kemenko PMK No. 7 Tahun 2021.

Kebijakan ini membahas Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) 2020-2024 dengan pendekatan One Health.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengumumkan hasil Monitoring dan Evaluasi (M&E) RAN PRA 2020-2024 di Jakarta, pada Selasa (3/09/2024).

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Kemenko PMK, R. Nunung Nuryartono, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sebagian besar indikator target dalam pelaksanaan RAN PRA telah mencapai hasil yang positif dalam upaya pengendalian AMR.Top of FormBottom of Form

Ia menyampaikan bahwa ini merupakan upaya signifikan dan berkelanjutan Indonesia dalam menangani AMR di sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan melalui pendekatan One Health

Meski begitu, untuk menghadapi ancaman AMR, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, tenaga medis, industri farmasi, dan masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah penting yang bisa diambil:

1. Penggunaan Antibiotik yang Bijak

Antibiotik hanya boleh digunakan jika benar-benar diperlukan dan sesuai dengan anjuran dokter. Penggunaan antibiotik pada infeksi virus seperti flu atau batuk ringan harus dihindari.

2. Edukasi Masyarakat

Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang bahaya AMR dan pentingnya penggunaan obat-obatan secara bijak. Program edukasi publik tentang cara mencegah infeksi, seperti dengan mencuci tangan dan menjaga kebersihan, juga harus ditingkatkan.

3. Penelitian dan Pengembangan Obat Baru

Industri farmasi harus didorong untuk terus meneliti dan mengembangkan antibiotik baru, mengingat banyaknya jenis mikroorganisme yang sudah kebal terhadap antibiotik yang ada saat ini.

4. Peningkatan Pengawasan di Sektor Pertanian

Penggunaan antibiotik pada hewan ternak juga harus diawasi ketat. Penggunaan antibiotik untuk mempercepat pertumbuhan hewan dapat memicu terjadinya AMR yang berpotensi menyebar ke manusia melalui rantai makanan.

Secara keseluruhan, AMR merupakan ancaman nyata yang tidak boleh dianggap remeh. Jika tidak segera ditangani, resistensi antimikroba dapat menyebabkan krisis kesehatan global yang jauh lebih mematikan dari pandemi apa pun.

Penggunaan antibiotik secara bijak dan kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat adalah kunci untuk mengatasi ancaman ini.

Jangan sampai kita terlambat bertindak dan menghadapi masa depan di mana obat-obatan kita tidak lagi berguna.

Editor: Wanovy
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS