PARBOABOA, Medan - Universitas Prima Indonesia (UNPRI) Medan, Sumatra Utara angkat bicara terkait penolakan penerapan biaya retribusi parkir yang berbuntut dikeluarkannya 4 mahasiswa mereka.
Menurut salah seorang staf birokrasi UNPRI yang enggan disebutkan namanya, kampus ingin memberikan pengelolaan lahan parkir di gedung mereka kepada pihak ketiga atau vendor. Oleh karenanya diberlakukan biaya retribusi parkir.
“Kitakan mau buat parkir, parkirkan ada izinnya? Kalau ada izinnya otomatiskan kita bayar pajak. Parkir itu dikelola pihak ketiga, bukan kita yang kelola,”katanya kepada PARBOABOA.
Dengan menerapkan kebijakan biaya retribusi parkir, UNPRI berdalih akan membuka lowongan pekerjaan baru kepada masyarakat Medan.
“Kalau dikelola pihak ketiga otomatis membuka lapangan pekerjaan,” ucapnya.
Alasan lainnya, proses membangunan lahan parkir memerlukan anggaran yang besar sehingga kampus memilih membebankannya kepada pihak ketiga dan hanya menerapkan biaya parkir ke mahasiswa yang ingin menggunakan lahan parkir tersebut.
“Kalau alat parkir minimal ada modal yang dikeluarkan pihak vendor (pihak ketiga), biar keamaan parkir juga terjaga,” sebutnya.
Tujuan kita itu bayar supaya aman, kita tidak ada paksa mau parkir luar silahkan mau parkir di dalam silahkan," imbuhnya.
Awalnya, UNPRI ingin menerapkan parkir secara manual dengan menunjukkan STNK. Hanya saja, lanjut dia, semakin bertambah mahasiswa, tenaga kerja keamanan untuk menjaga lahan parkir juga terbatas.
“Kitakan terbatas sumber daya manusia. Enggak mungkin kita tambah SDM. Mau berapa security hanya untuk itu? Lebih baik kita vendor-kan, mereka yang kelola semuanya,” paparnya.
Dengan keterbatasan itu, UNPRI lantas memberikan solusi untuk kebijakan barunya itu kepada mahasiwa, dengan cara berlanganan kartu parkir. Sehingga mahasiswa yang memiliki kendaraan pribadi tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya parkir di kampus.
“Kalau mau lebih murah lagi bisa berlangganan. Terserah lah mau berapa kali sebulan, tidak ada paksaan,” ucapnya.
Staf UNPRI mengaku semua mahasiswa sepakat dengan penerapan kebijakan tersebut dan tidak ada penolakan dari pihak manapun.
Ia juga mengklaim kampus tidak melanggar aturan, karena kebijakan itu telah disosialisasikan ke seluruh mahasiswa.
“Kebijakan ini tidak ada melanggar regulasi kampus, karena sudah disosialisasikan,” sebutnya.
Kampus, tambah staf UNPRI, juga telah memperingatkan terkait sanksi jika melakukan aksi demonstrasi agar tidak berujung dikeluarkan.
“Kalau mereka tidak mau mendengar (mengikuti aturan) berarti mereka melawan,” tambah staf tersebut.
Sebelumnya, 4 mahasiswa UNPRI Medan, Sumatra Utara di-drop out (DO) atau dikeluarkan oleh pihak rektorat setelah menolak kebijakan kampus yang memberlakukan retribusi parkir tanpa sosialisasi terlebih dahulu.
Drop out secara tidak hormat kepada 4 mahasiswa ini dilakukan rektorat UNPRI, setelah mereka melakukan aksi demonstrasi di depan kampus untuk menolak kebijakan penetapan retribusi parkir sebesar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu yang dibebankan kepada mahasiswa.
Mereka adalah Ria Anglina Syaputri Sitorus, mahasiswa Fakultas Hukum UNPRI angkatan 2020, Nebur Fine mahasiswa Fakultas Ekonomi angkatan 2020 dan Kevin Sedianto Padang mahasiswa Fakultas Pertanian. Ketiga mahasiswa ini di-DO pada 17 Juni 2023.
Sementara Samuel Nainggolan menyusul mendapat sanksi drop out pada 20 Juni 2023.
Selain keempat mahasiswa itu, satu orang mahasiswa bernama Rolasta Naomi Sitanggang mendapat sanksi skorsing atau pemberhentian sementara.
Skorsing terhadap Rolasta Naomi menuai kejanggalan karena faktanya, ia tidak ikut di aksi demonstrasi. Skorsing diduga dijatuhkan kepada Naomi karena ia merupakan kader GMNI.
Buntut di-DO secara tidak hormat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan lantas mengadakan aksi di depan Kampus UNPRI, Selasa (20/6/2023).
Koordinator aksi yang juga salah seorang mahasiswa yang di-DO, Ria Anglina Syaputri Sitorus mengatakan, protes yang dilayangkan karena ia dan mahasiswa lainnya merasa UNPRI membuat kebijakan tanpa melakukan sosialisasi kepada mahasiswanya.
Ria mengatakan, ia dan mahasiswa lain bahkan sempat melakukan mediasi dengan rektorat kampus terkait penerapan retribusi parkir, namun tidak menemukan titik terang. Kampus bersikukuh menerapkan retribusi parkir kepada mahasiswa.
"Pada Kamis 15 Juni yang lalu adalah bentuk protes terhadap kebijakan kampus yang dinilai sangat memberatkan mahasiswa, yakni protes terhadap pihak Rektorat UNPRI yang menerapkan kebijakan parkir berbayar terhadap mahasiswa sebesar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per bulannya," katanya.
Ria mengungkapkan, menurut UNPRI, mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi dianggap melanggar Peraturan Rektor No. 4 Tahun 2016 Tentang Disiplin Mahasiswa UNPRI yang salah satu pasalnya berisi larangan bagi mahasiswa UNPRI melakukan demonstrasi tanpa seizin rektor.
"Peraturan Rektor itu hanyalah aturan yang bersifat akal-akalan reaktif dan situasional untuk represif mahasiswa yang memprotes kebijakan kampus, " kata Ria yang juga koordinator umum dalam gerakan mahasiswa itu.
Menurutnya, sanksi DO yang dijatuhkan Rektorat UNPRI merupakan bentuk pengkhianatan, pelanggaran dan pengekangan terhadap konstitusi. Padahal, lanjut Ria, semua warga negara pada hakikatnya harus patuh dan tunduk terhadap Konstitusi.
"Dalam UUD 1945 setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat seperti UU No. 9 Tahun 1998 dan UUD 1945. Peraturan yang dibuat rektorat No. 4 Tahun 2016 Tentang Disiplin Mahasiswa UNPRI bertentangan dengan UUD 1945," tegas Ria.
Oleh karenanya, Ria dan mahasiswa UNPRI yang tergabung dalam aksi itu menuntut Rektorat UNPRI segera menerapkan keadilan di dunia kampus, apalagi mahasiswa adalah agen perubahan.
"Hapuskan komersialisasi pendidikan, wujudkan pendidikan demokratis dan cabut sanksi tidak berdasar terhadap Mahasiswa UNPRI. Cabut Peraturan Rektor No. 4 Tahun 2016 tentang Disiplin Mahasiswa UNPRI, tolak kebijakan parkir berbayar kemudian wujudkan pembentukan pemerintahan mahasiswa di Kampus UNPRI 5 dan evaluasi Rektor UNPRI yang tidak taat konstitusi," tegasnya.