PARBOABOA, Jakarta - Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi yang sangat penting, terutama dalam lingkup akademik dan pertumbuhan intelektual mahasiswa.
Pasalnya, kebebasan berekspresi memegang peran utama dalam menciptakan suasana kampus yang inklusif, terbuka, dan demokratis, sehingga mahasiswa dapat leluasa menyuarakan pandangan dan ide mereka.
Di Indonesia, kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dalam UUD 1945, yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
Selain itu, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) turut memperkuat jaminan ini dengan memberikan perlindungan khusus bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa banyak kampus kerap menjadi ruang yang cenderung merepresi suara dan kebebasan mahasiswa untuk menyampaikan pandangan.
Catatan Amnesty International Indonesia menyebut, selama tahun 2019 hingga 2022, terdapat setidaknya 20 kasus ancaman kebebasan akademik dengan 69 korban.
Terbaru, Dekanat FISIP Unair membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP usai memasang karangan bunga berisi satire kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dekan FISIP Unair, Bagong Suyanto, menilai bahwa narasi dalam karangan bunga tersebut bersifat satire dan tidak sesuai dengan etika serta kultur akademis insan kampus Unair.
Oleh karena itu, melalui surat Nomor 11048/TB/UN3.FISIP/KM.04/2024, Bagong menyatakan Pemberitahuan Pembekuan Kepengurusan BEM FISIP Unair.
Secara berlawanan, Presiden BEM FISIP, Tuffahati Ulayyah, menjelaskan bahwa karangan bunga satire yang dipajang berisi ungkapan kekecewaan terkait fenomena Pemilu 2024.
Karangan bunga ini "ditujukan untuk mengucapkan selamat atas pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” ungkap Tuffa pada Minggu (27/ 10/2024).
Adapun tulisannya berbunyi “Selamat atas dilantiknya Jenderal Bengis Pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3 sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi.”
Di bawah tulisan tersebut, terpampang foto Prabowo dan Gibran yang saling berdampingan dan masing-masing dilengkapi keterangan “Ketua Tim Mawar” dan “Admin Fufufafa.”
Karangan bunga tersebut didominasi warna hitam yang diberi tambahan gambar api dengan motif merah serta gambar laba-laba beserta sarangnya. Sepintas terbaca isyarat perlawanan atas matinya demokrasi.
Pembekuan BEM FISIP lantas menyedot perhatian luas lantaran dikaitkan dengan sikap pihak kampus yang dinilai abai terhadap kebebasan mahasiswa dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Alarm Pengingat
Pasca kabar pembekuan tersebut, Airlangga Pribadi, seorang dosen yang juga bekerja di kampus Unair menuliskan komentar tegas di laman facebook-nya berisi dukungan terhadap BEM FISIP.
"Saya bersama BEM Fisip Unair membela demokrasi!" tulisnya pada Minggu (27/10/2024).
Pernyataan menohok tersebut dilandaskan atas dasar pentingnya menghidupkan kembali suasana diskursif dan dialektis yang menjadi ciri khas lingkungan pendidikan, khususnya di kampus perguruan tinggi.
Pernyataan yang disampaikan BEM FISIP, lanjutnya, tidak melanggar etika akademik, tetapi bermaksud mendeskripsikan tindakan [pemimpin terpilih] yang melampaui batas etika politik.
"Istilah 'bajingan' di sini bukan merujuk pada bahasa kasar, melainkan pada sikap dan tindakan yang mencerminkan ketidakadilan atau pelanggaran terhadap norma-norma etika," tegas Airlangga.
Menurutnya, tugas intelektual mahasiswa adalah menggunakan akal mereka untuk menjelaskan dengan benderang apa yang dimaksud dengan kategori "bajingan."
"Jika mahasiswa mampu melakukan analisis tersebut, mereka telah mencapai puncak aktivitas aksi sosial, yaitu berbicara kebenaran kepada kekuasaan (speaking truth to power)," tutup Airlangga.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Brodjonegoro, telah meminta rektor Unair untuk membatalkan pembekuan BEM FISIP Unair.
“Saya telah memberitahu rektor Unair malam ini untuk segera membatalkan pembekuan BEM FISIP, dan beliau menyatakan siap melakukannya,” ujarnya di Jakarta pada Senin (28/10/2024).
Ia menegaskan bahwa Kemendiktisaintek tetap menghormati otonomi perguruan tinggi, termasuk dalam aspek kebebasan akademik.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai bagian dari kebebasan akademik perlu diimbangi dengan akuntabilitas dan tanggung jawab perguruan tinggi terhadap publik.
“Saya meminta kepada para rektor untuk menjaga hal ini dengan baik, karena kebebasan akademik harus selalu disertai dengan akuntabilitas dan tanggung jawab kepada masyarakat,” tegasnya.
Kontroversi pembekuan BEM FISIP Unair membunyikan alarm pengingat bahwa kasus pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat masih sering terjadi. Demokrasi di Indonesia sedang dalam bahaya pasung.
Editor: Defri Ngo