PARBOABOA, Jakarta – Peristiwa banjir hebat di Libya, Afrika pada Minggu (10/9/2023) menyebabkan kehancuran gedung, kerugian ekonomi, dan menewaskan puluhan ribu korban jiwa.
Menurut data dari lembaga kemanusiaan Libyan Red Crescent pada Kams (14/9/2023) banjir tersebut menewaskan 11.300 orang.
Akan tetapi, belum semua korban jiwa ditemukan. Marie el-Drese, Sekretaris jenderal Libyan Red Crescent, menyampaikan bahwa selain korban tewas yang telah ditemukan, masih ada sekitar 10.100 orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Banjir Libya yang disebabkan oleh jebolnya bendungan dan tingginya curah hujan akibat badai Daniel tersebut menyebabkan petugas kesehatan dan relawan kesusahan mencari korban yang belum ditemukan.
Belasan ribu korban juga berjejer di pinggir jalan, sementara sebagian lainnya masih dalam proses penguburan di pemakaman masal di Kota Derna.
Akan tetapi, muncul seruan dari World Health Organization (WHO) dan beberapa lembaga bantuan lain, untuk menghentikan penguburan korban secara massal.
Hal itu disampaikan oleh Kazunobu Kojima, petugas medis untuk keamanan hayati di Program Darurat Kesehatan WHO. Ia meminta agar petugas berwenang Libya tidak terburu-buru menguburkan korban banjir secara massal, karena beberapa pertimbangan.
Permintaan itu dilakukan, setelah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut bahwa ada sekitar 1.000 orang yang dikuburkan secara massal.
Kojima menyampaikan, seruan larangan tersebut dengan alasan agar penguburan korban dapat dikelola dengan lebih baik di kuburan individu, agar tercatat dengan baik dan memiliki batas-batas yang jelas.
Alasan lainnya ialah, apabila korban tewas dikuburkan secara massal dan tergesa-tega, maka dapat menimbulkan tekanan mental untuk jangka panjang bagi keluarga yang ditinggalkan.
Selain itu, pertimbangan masalah sosial dan hukum juga menjadi dasar seruan menghentikan pemakaman massal yang ada.