PARBOABOA, Jakarta - Wujud dari Jakarta International Stadium (JIS) pada malam hari sungguh mengagumkan dihiasi kemerlap ornamen lampu mempercantik suasana malam. Namun, adanya tenda perjuangan yang didirikan warga Kampung Susun Bayam untuk memperjuangkan nasibnya di areal luar pagar megaproyek itu membuat pemandangan begitu kontras.
Parboaboa mengunjungi tenda perjuangan warga Kampung Bayam pada Rabu (14/12/2022) malam. Tim disambut hangat oleh warga yang berada di tenda yang berdiri tepat di hadapan megahnya konstruksi JIS.
Hawa panas dan pengap begitu terasa ketika memasuki tenda, belum lagi siraman debu-debu dari pekerjaan proyek di sekitar JIS.
Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga ikut tinggal di dalam tenda dengan kondisi seperti di dalam oven.
Warga Kampung Bayam memilih mendirikan tenda demi perjuangan mendapatkan keadilan serta menanti realisasi janji hunian Rumah Susun (Rusun) dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui PT Jakpro.
Salah satu warga Kampung Bayam, Wati, menjelaskan bahwa pada tahun 2018 lalu, Kampung Bayam mulai digusur guna membangun megaproyek JIS dan areal rumah susun yang dijanjikan PT Jakpro.
Menurut pemahaman warga, mereka akan diberikan masing-masing satu unit rusun secara cuma-cuma kepada warga kampung Bayam, namun kenyataannya setelah proyek selesai mereka justru diharuskan membayar hunian tersebut dengan harga yang sudah ditentukan oleh pihak PT Jakpro yakni sebesar Rp1,5 juta untuk harga satu unitnya.
“Dari awal penggusuran mereka tidak menjelaskan kepada warga bahwa hunian (itu) akan dikomersilkan,” terang Wati.
Warga lainnya, Agus, menjelaskan perihal komunikasi awal antara warga Kampung Bayam dengan Jakpro yang berawal baik.
Jakpro, kata Agus, sudah melakukan tahap pendataan guna menentukan nomor unit hunian namun kenyataannya di tanggal 15 November 2022 di Kelurahan Papanggo Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Namun hasil dari pertemuan tersebut warga kampung Bayam malah diharuskan membayar jika ingin mendapatkan unit dengan harga awal per unitnya seharga Rp1,5 Juta, dan tidak diperkenankan untuk proses negosiasi, kami dipaksa untuk menyetujui harga yang sudah ditetapkan oleh PT Jakpro,” keluh Agus.
Menimpali Agus, salah seorang warga bernama Refi menilai tawaran harga itu memberatkan mereka mengingat mayoritas pekerjaan masyarakat Kampung Bayam yang berpenghasilan rendah seperti buruh, pemulung, pengamen, hingga tukang cuci. Bahkan, kata dia, ada pula yang menyambung hidup dengan mengemis di jalan.
“Menurut warga kami akan sangat kesulitan untuk membayar sewa per bulannya,’ ungkap Refi.
Sementara itu, Nia, pemilik warung kopi di sekitaran proyek JIS, terkait kisruh antara warga kampung Bayam deng an pihak Jakpro. Nia setuju dengan harga unit rumah susun yang ditawarkan, menurutnya, dengan harga Rp715 ribu perbulan untuk hunian dengan fasilitas yang disediakan masih terjangkau.
“Kalau saya sih setuju aja dengan harga Rp.600-700 ribu saya masih bisa mengusahakan, daripada ngontrak di tempat lain jauh lebih mahal, lagian kan pas penggusuran saya pribadi sudah dapat uang kompensasi Rp.27 juta,” tutur Nia.
Warga menilai mediasi yang dilakukan Jakpro dengan warga kampung Bayam pada November lalu dianggap sepihak. Hal itu karena Jakpro menutup ruang mediasi sebelum warga mengemukakan pendapatnya.
“Kami para warga diminta untuk mediasi di kantor kelurahan Papanggo, terjadi perdebatan yang alot antara warga dan pihak Jakpro membicarakan soal biaya hunian, namun di tengah perdebatan pihak Jakpro berdalih untuk pending sholat, ketika ingin melanjutkan pihak Jakpro malah menghentikan forum secara sepihak,” papar Wati.
Menurut Wati, respon dari Pemprov DKI belum serius untuk mengawal para warga guna mendapatkan keadilan terkait hunian yang menurutnya hak dari para warga kampung Bayam.
“Pemprov pernah berjanji untuk mengawal penuh dan menjanjikan dalam waktu satu minggu kami akan masuk kedalam rusun minimal mediasi lah, namun hal itu belum direalisasikan sampai saat ini dan cenderung mengabaikan kami,” pungkas Wati
Sampai saat ini Wati bersama para warga dan JRMK akan terus berjuang dengan mendirikan tenda tepat di depan pintu masuk rusun dan mengupayakan lewat jalur demokrasi, mereka akan terus berjuang sampai semua warga dapat masuk dan mendapatkan haknya.