PARBOABOA, Depok - Warga Kampung Bulak, Cisalak, Sukmajaya ingin pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) turut memperhatikan kepentingan warga, termasuk urusan ganti rugi.
“Kalau ini memang terpaksa harus dipakai, dia (UIII) harus memperlakukan warga dengan seadil-adilnya. Dengan catatan, warga menempati di sini sudah puluhan tahun. Tentu undang-undang mengatur itu, harus ada ganti rugi bukan sekadar kerohiman (uang terima kasih),” tegas Jeremias Ndiang (47), salah seorang warga yang tinggal di kawasan tersebut kepada PARBOABOA.
Jeremias Ndiang yang akrab disapa Aris ini mengaku masih was-was rumahnya kembali tergusur akibat proyek strategis nasional itu. Apalagi di 2019, ia dan keluarga harus rela tempat tinggal mereka digusur dengan dalih proyek UIII. Nahasnya, saat kejadian penggusuran di 2019, Aris sama sekali tidak mendapat ganti rugi dari pemerintah atau UIII.
Saat ini, aris bersama warga Bulak Cisalak lain, Jafar (47) dan Frans Meke (80) gencar mengumpulkan kekuatan warga untuk menghadapi dan menolak penggusuran proyek UIII.
Aris mengaku telah mendiskusikan langkah strategis apa yang bisa diambil bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta jika kampung mereka tergusur. Diskusi bersama LBH ini dilakukan pada Juli 2023.
“Ini musuh sudah di depan mata. Kita mau apa lagi? Tidak bisa tinggal diam,” ujar Aris di hadapan warga.
Warga lain, Anton (65) mengaku tak berharap muluk. Ia pun tak berharap ganti rugi yang besar. Anton hanya ingin diperlakukan adil. Ia ingin ada musyawarah dari UIII ihwal penggusuran dan penentuan harga ganti rugi.
“Enggak mesti harus besar-besar. Mari kita rembuk bersama, ibaratnya kue ya kita aturlah. Kita juga tidak menuntut yang besar-besar, enggak lah. Masyarakat tidak terlalu muluk, yang penting kami pergi disangoni dengan sedikit kami pergi,” jelasnya.
Saat ini, sebanyak 1.500 kepala keluarga (KK) yang bermukim di lahan tidur eks Radio Republik Indonesia (RRI) yang akan tergusur oleh proyek UIII itu. Jika proyek UIII benar-benar dibangun, sekitar 6.000 jiwa akan kehilangan tempat tinggal.
Kuasa hukum UIII, Mirzad mengatakan, sekitar 50 hektare lagi lahan yang akan dibangun dari total 142 hektare, termasuk pemukiman warga hingga ke jalan Ir. H. Juanda, Depok. Lahan tersebut, kata dia, akan dibangun gedung fakultas dan fasilitas umum lainnya.
“Itu nanti akan dilakukan oleh Kemenag (penggusuran). Kami menunggu dari Kemenag,” katanya kepada PARBOABOA.
Meski begitu, Mirzad mengaku belum bisa memastikan kapan pelaksanaan penggusuran. UIII, kata Mirzad hanya menargetkan pembebasan lahannya selesai tahun ini.
Duduk Perkara Sengketa Lahan
Lahan tidur eks RRI seluas 142 hektare yang kini dibangun UIII menjadi objek sengketa dengan warga di Cisalak tersebut merupakan tanah bekas Eigendom Verponding atau produk hukum kepemilikan tanah era Hindia Belanda Nomor Afscricft 279 WL atas nama Samuel De Meyer Faber.
Setelah Indonesia merdeka, atau sekira tahun 1960, pemerintahan Presiden Soekarno memberikan kesempatan selama 20 tahun atau sampai selambat-lambatnya September 1980 untuk melakukan konversi terhadap tanah-tanah berstatus hukum kepemilikan era Hindia Belanda menjadi hak kepemilikan sesuai hukum Indonesia.
Sementara bagi tanah-tanah yang belum bisa dibuktikan hak kepemilikannya, otomatis menjadi tanah negara.
Tim Hukum Kementerian Agama (Kemenag), Ibnu Anwaruddin mengklaim, tanah seluas 142 hektare atas nama Samuel De Meyyer itu tak pernah didaftarkan di kantor pendaftaran tanah sejak Indonesia merdeka. Sehingga, sejak tanggal 28 September 1980 tanah itu langsung dikuasai oleh negara yang dilimpahkan penggunaan lahannya kepada Kementerian Penerangan cq atau dalam hal ini Radio Republik Indonesia (RRI).
Kemudian, RRI mendapat Sertifikat Hak Pakai Nomor 00001/Cisalak tanggal 8 Maret 2007 atas sejumlah bidang tanah di wilayah Depok seluas 1.877.360 meter persegi, termasuk 142 hektare di dalamnya tanah bekas Samuel De Meyer.
Setelah itu, Kemenag langsung mengurus pemecahan Sertifikat Hak Pakai itu untuk kebutuhan pembangunan UIII dan setelahnya, terbitlah, Sertifikat Hak Pakai Nomor 00002/Cisalak tanggal 6 Juni 2018 seluas 1.425.889 meter persegi atau sekitar 142 hektare dari pemerintah.
Kondisi tersebut menjadi pertanyaan warga yang turun temurun menempati lahan eks RRI sejak 1964, Romaldus Tiro.
"Sertifikat RRI itu baru ada belakangan, jadi kami dulu masyarakat ada, baru RRI. Sekarang masyarakat sudah ada, baru tanah ini ada sertifikatnya RRI. Kan dulu tanah bekas Belanda, banyak ditempati oleh rakyat," sambungnya.
Sayangnya, warga termasuk Romaldus tak pernah mengurus hak kepemilikan lahan tersebut. Meski begitu, Romaldus mengaku tak pernah mengurus hak kepemilikan lahan tersebut. Warga, kata dia, hanya menguasai lahan secara fisik dan turun-temurun memiliki surat keterangan alih garap.
Selain itu, dari pandangan warga, RRI hanya menggunakan sebagian lahan untuk menara pemancar radio.
Selain Romaldus, Aris juga mempertanyakan hal serupa. Ia mempertanyakan mengapa sejak dulu RRI tak mengusir warga jika tanah tersebut benar miliknya.
“Selama kita ada di sini, mereka tak persoalkan. Datang UIII mereka baru persoalkan, ini kan enggak benar. Kalau kau memang mau pakai tanah, ya silahkan bayar,” ujarnya.
Penggusuran Harus Perhatikan Hak Hidup Warga
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai, penggusuran proyek UIII harus tetap memperhatikan hak hidup warga, terlepas dari sengketa status kepemilikan lahannya.
Menurut Pengacara LBH Jakarta, Fadhil Alfathan Nazwar, warga berhak atas hak ekonomi, karena telah puluhan tahun mengurus tanah tersebut. Termasuk menggarap dan menanami lahan dengan pohon-pohon produktif dan mendirikan rumah tinggal.
Fadhil juga menilai, jika penggusuran warga dilakukan tanpa ganti rugi maka akan menimbulkan masalah sosial baru.
“Ganti rugi harus dilakukan secara memadai. Kalo digusur mereka nggak dapat ganti rugi yang memadai, status mereka kan menjadi homeless. Jadi persoalan barulah. Itu yang enggak dilihat negara,” jelas Fadhil.
Jika itu terjadi, peristiwa penggusuran tersebut merupakan pelanggaran HAM (hak asasi manusia)," imbuhnya.
Fadhil menjelaskan, berdasarkan Komentar Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa, harus melalui tujuh prosedur.
"Di antaranya adanya musyawarah yang tulus bagi warga terdampak, pemberitahuan yang wajar dan patut harus diberikan kepada semua orang yang akan diusir sebelum tanggal jadwal pengusiran, informasi tentang pengusiran yang akan dilakukan, tentang peruntukan lain bagi lahan atau tempat tinggal itu dan pejabat pemerintah harus hadir selama pengusiran," tambahnya.