PARBOABOA, Jakarta - Sebuah video yang memperlihatkan sekelompok orang menangkap seorang wanita di sebuah persimpangan jalan, viral di media sosial.
Video tersebut salah satunya dibagikan akun bernama Daniel Umbu Pati di grup Facebook Flobamora Tabongkar yang dilihat PARBOABOA, Jumat (8/9/2023).
Dalam video yang terekam CCTV itu, sekelompok orang tiba-tiba turun dari sebuah mobil pick up berwarna hitam dan langsung menangkap sang wanita yang sedang berdiri di jalan.
Wanita yang berteriak histeris itu kemudian dibopong ke mobil yang terparkir di tepi jalan dekat lokasi kejadian.
Dari informasi yang dihimpun, peristiwa tersebut terjadi di Simpang Kalembuweri, Jalur Tena Teke dan Jalur Rara Waimangura Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Kamis (7/9/2023).
Dalam keterangannya, Jumat (8/9/2023), Kapolsek Wewewa Barat, Iptu Bernandus Kandi mengatakan, pelaku yang berjumlah 4 orang itu sudah diamankan pihak kepolisian di Sumba Barat Daya.
Menurutnya, pria yang melakukan prosesi kawin tangkap merupakan warga Desa Wekura, Kecamatan Wewewa Barat, berinisial YT. Sementara perempuan yang menjadi korban merupakan warga Kelurahan Weetabula, Kecamatan Tambolaka, berinisial DM.
Keduanya diketahui tidak memiliki hubungan asmara. Hanya saja, YT mengaku pernah sekali datang ke rumah korban beberapa waktu lalu.
Tradisi Kawin Tangkap
Tradisi kawin tangkap sebetulnya tidak seperti yang terlihat di video yang beredar tersebut. Namun, beberapa tahun terakhir, tradisi ini memang sudah melenceng dari prosedur adatnya hingga memicu trauma bagi perempuan.
Mengutip buku yang ditulis Oe. H. Kapita yang berjudul "Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya" kawin tangkap merupakan tahap awal dari deretan proses peminangan perempuan di adat Sumba.
Proses ini disebut piti rambang atau ambil paksa. Biasanya, piti rambang dilakukan setelah melalui kesepakatan keluarga kedua belah pihak, tanpa ada unsur pemaksaan.
Dalam piti rambang, calon mempelai laki-laki menangkap calon mempelai perempuannya untuk kemudian dinikahi. Namun, ada beberapa simbol adat yang digunakan dalam proses ini, seperti kuda diikat dan emas di bawah bantal.
Dalam pelaksanaannya, calon mempelai perempuan yang akan ditangkap telah mempersiapkan diri dengan mengenakan riasan dan baju adat setempat. Begitu pun calon mempelai pria, harus mengenakan pakaian adat sembari menunggangi kuda.
Selanjutnya, setelah calon pengantin wanita ditangkap, orang tua calon mempelai laki-laki akan memberikan sebuah parang Sumba dan seekor kuda. Hal ini merupakan simbol permintaan maaf sekaligus memberi kabar ke pihak orang tua perempuan bahwa anak perempuan mereka sudah berada di kediaman pihak laki-laki.
Proses peminangan baru akan resmi dimulai setelah calon mempelai wanita setuju untuk menikah. Kemudian, disusul dengan penyerahan belis atau mahar perkawinan dari pihak laki-laki.
Beberapa tahun terakhir, tradisi kawin tangkap mengalami pergeseran makna. Proses piti rambang tidak lagi dilakukan melalui sejumlah tata cara adat, tetapi dengan paksaan, intimidasi hingga kekerasan.
Pihak laki-laki, atas nama tradisi merasa berhak membawa paksa wanita di Sumba untuk dikawini. Wanita kerap menjadi korban, karena proses tersebut tidak melalui kesepakatan dan tahapan adat yang benar.
Praktik ini juga pernah disorot Bupati Kabupaten Sumba Barat, Yohanis Dade SH, menyusul video seorang perempuan berinisial ANG yang menjadi korban kawin tangkap seorang pria berinisial LB pada Agustus 2022 lalu.
Yohanis saat itu menegaskan, kasus kawin tangkap yang dialami perempuan asal Kampung Galimara, Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak itu, murni tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Tindakan tersebut, kata Yohanis, telah melecehkan harkat dan martabat korban sebagai seorang perempuan.
Ia bahkan menyebut, praktik kawin tangkap yang terjadi sudah jauh melenceng dari tradisi dan adat setempat. Menurutnya, piti rambang hanya akan bisa dilakukan setelah melalui kesepakatan kedua belah pihak.
Hal yang sama juga disinggung Lado Regi Tera, yang merupakan Rato Rumata atau tua adat, ketua suku dan ketua lembaga adat Situs Kampung Adat Tarung Kabupaten Sumbar, menanggapi kasus yang dialami ANG kala itu.
Dalam keterangannya, kawin tangkap yang seperti yang dialami ANG telah mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan dan harga diri perempuan. Dan hal tersebut, kata dia, bukanlah budaya adat Sumba, tetapi bentuk pelanggaran HAM karena sudah melecehkan perempuan.
Senada dengan Yohanis, Lado menyebut kawin tangkap tidak masuk dalam adat Sumba, kecuali sudah melalui kesepakatan dari kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan.
Setelah perempuan sudah berada di rumah laki-laki, maka utusan keluarga laki-laki datang ke orang tua keluarga perempuan untuk mengiformasikan terkait keberadaan anak perempuan mereka.
Saat itulah akan terjadi perundingan untuk kemudian menentukan proses adat selanjutnya hingga tahapan perkawinan.
Praktik kawin tangkap yang cenderung intimidatif hingga berujung kekerasan terhadap perempuan, sebetulnya telah melanggar hak asasi manusia dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan (CEDAW) yang tercantum dalam UU RI No.7 Tahun 1984.