Apa Saja Unsur Perdagangan Orang dalam Praktik Kawin Kontrak?

Unsur perdagangan orang dalam praktik kawin kontrak (Foto: ykp.or.id)

PARBOABOA, Jakarta - Fenomena perdagangan orang telah berlangsung sejak lama di Indonesia, antara lain ditandai dengan praktik perbudakan atau jual beli budak.

Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia, terdapat 3.363 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dilaporkan sepanjang tahun 2023. 

Korban TPPO paling banyak tercatat di wilayah Polda Sumatera Utara dengan jumlah 379 orang, diikuti beberapa wilayah lain seperti Kepulauan Riau, Jawa Tengah, NTT dan NTB. 

Istilah perdagangan orang mengacu pada kejahatan transnasional yang mencakup berbagai tindakan seperti perekrutan, pengangkutan, hingga penerimaan seseorang dengan tujuan eksploitasi.  

Praktik ini sering dilakukan dengan ancaman kekerasan fisik, penipuan, penipuan, penipuan kekuasaan, atau intimidasi korban melalui jeratan utang.

Fenomena perdagangan orang sesungguhnya merupakan bagian dari industri global. Di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, praktik serupa bersembunyi di balik kepentingan bisnis.

Budiarti (2009) dalam penelitian Lintasan Sejarah Perdagangan Perempuan di Indonesia menulis, prinsip ekonomi pasar memungkinkan segala sesuatu diperjualbelikan, termasuk seksualitas. 

Dalam pandangan umum, situasi semacam ini dapat dikategorikan sebagai bentuk perbudakan modern. Ia bukan perbudakan langsung seperti yang terjadi pada zaman kolonial. 

Perdagangan orang tidak hanya berbentuk prostitusi, tetapi juga melibatkan bentuk-bentuk lain seperti kerja paksa dan perdagangan seks untuk kepentingan ekonomi. 

Beberapa faktor penyebab perdagangan orang, antara lain kemiskinan, ketidakadilan sosial, kurangnya lapangan kerja, dan diskriminasi terhadap perempuan. 

Faktor-faktor ini diperparah oleh kurangnya pendidikan dan ketidakamanan di perbatasan wilayah, sehingga membuat banyak orang mudah terjebak dalam modus perdagangan orang.

“TPPO adalah isu yang sangat krusial karena melibatkan banyak pihak dan sejumlah instansi pemerintah,” ungkap Kepala Kantor UNODC Indonesia, Erik van der Veen akhir Mei 2024.

Erik juga menghimbau perlunya kolaborasi seluruh masyarakat untuk melaporkan dan mencatat adanya kasus TPPPO guna memperoleh data yang akurat.

“Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang baik untuk menghasilkan data TPPO yang berkualitas di Indonesia.”  

Modus baru perdagangan orang yang kini marak terjadi adalah kawin kontrak. Beberapa wilayah di Bogor, seperti Cipanas dan Cianjur menjadi lokasi terjadinya praktik tersebut. 

Para turis asing dari wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Bahrain menggunakan jasa perempuan lokal untuk melakukan kawin kontrak. 

Melalui perantaraan seorang mucikari, banyak perempuan muda yang terjebak dalam praktik kawin kontrak. 

Fenomena ini sangat memprihatinkan mengingat perempuan sebagai korban tidak sadar bahwa mereka sedang digunakan sebagai budak seks.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa kontrak kawin disebut sebagai TPPO? apa saja unsur yang menunjukkan bahwa kawin kontrak adalah TPPO? 

Kawin Kontrak sebagai TPPO

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah tegas dalam memberantas perdagangan manusia, antara lain dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. 

Pasal 1 UU TPPO menjelaskan bahwa perdagangan orang mencakup berbagai tindakan seperti perekrutan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. 

Tindakan ini umumnya menggunakan ancaman kekerasan, penipuan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, atau menutupi kekuasaan dan posisi rentan.

Frasa 'penipuan' yang melatarbelakangi TPPO berkaitan erat dengan janji untuk memberikan bantuan berupa uang atau berbagai hal yang dibutuhkan korban.

Dalam kasus kawin kontrak yang terjadi di Kabupaten Bogor, korban mengalami penipuan oleh mucikari dengan jaminan uang jika ia menikahi pria Timur Tengah.

Faktanya, jaminan uang sebesar kesepakatan awal ternyata tidak pernah diterima. Korban hanya mendapatkan 50% dari kesepakatan tersebut. 

Alasan mucikari, jaminan uang diberikan kepada para saksi yang dipakai untuk menghadiri upacara kawin kontrak.

Frasa lain seperti 'ancaman' juga sering dialami korban. Berdasarkan cerita yang dirangkum PARBOABOA, korban kesulitan keluar dari jerat kawin kontrak karena kerap mendapat ancaman.

Pengalaman Dara, bukan nama sebenarnya, menampilkan fakta tersebut. Ia kembali terlibat kontrak kawin pada akhir tahun 2023 karena mendapat ancaman dari mucikari.

“Mereka tidak mendapatkan kebebasan begitu saja. Setiap kali dia berusaha menjauh, selalu ada ancaman yang mendekat. Anak saya tidak punya pilihan lain selain menuruti,” ungkap Hanifah, ibu kandungnya.

Para korban kawin kontrak harus bertanggung jawab dengan janji awal untuk melangsungkan kawin kontrak, meski hubungan dengan pria Timur Tengah tidak lagi harmonis. 

Posisi yang rentan membuat perempuan sulit bersuara dan menyampaikan pendapat. Beban psikologis mereka terganggu dan hidup mereka dalam tekanan. 

Beberapa pasal dalam TPPO, termasuk Pasal 2, 10, dan 12 juga mengatur ancaman pidana bagi pelaku TPPO, dengan hukuman penjara minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun.

Sementara Pasal 43 ayat (1) menyebutkan, negara mempunyai kewajiban untuk memberikan ganti kerugian, rehabilitasi medis dan sosial, serta reintegrasi bagi korban TPPO.

Kanit V Sat Reskrim Polres Cianjur, Ipda Amur Yuda Sakti, mengungkap bahwa praktik kawin kontrak di kawasan Puncak sebenarnya adalah modus yang digunakan untuk menyamarkan TPPO. 

Yuda menyinggung, transaksi ini berlangsung secara terstruktur dan memenuhi unsur perdagangan orang. 

“Kalau sudah melibatkan sistem jual-beli dengan penyalur yang mencarikan perempuan dan menetapkan harga, maka bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan TPPO,” ujar Yuda dalam wawancara bersama PARBOABOA beberapa waktu lalu.

Yuda juga mengungkapkan bagaimana para pelaku TPPO menggunakan jaringan yang diadakan untuk menjalankan praktik tak berkemanusiaan ini.

Terlebih lagi, transaksi sering kali dimulai saat turis masih berada di dalam mobil penjemputan. 

“Mereka memiliki jaringan yang memfasilitasi kegiatan ini dengan sangat cepat,” jelas Yuda lebih lanjut.

Fenomena maraknya kasus kawin kontrak mempertegas urgensi penegakan hukum terhadap TPPO di daerah wisata, terutama di kawasan Puncak.

Sembari berharap penuh pada hadirnya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur hukuman kawin kontrak, pihak aparat diharapkan dapat mengusut jaringan ini dengan lebih cermat. 

Jaringan kawin kontrak harus diberikan agar perempuan korban tidak dapat dibebaskan dari praktik tersebut. 

Semua ini dimaksudkan untuk menjamin masa depan mereka yang lebih baik dan jaminan untuk kehidupan anak-anak yang lahir kemudian.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS