Undagi Nyoman Nuarta, Pematung Sekaligus Arsitek Tradisional Bali

Istana Garuda dari kejauhan (foto: Dok Instagram @nyoman_nuarta)

PARBOABOA – Banyak orang gerah ketika Nyoman Nuarta yang seorang pematung memasuki dan merambah ranah arsitektur. Kritikan tajam datang bukan hanya dari orang awam. Justru yang paling bersemangat melancarkan kecaman adalah para arsitek profesional yang merasa lebih memiliki otoritas di bidang itu. Hujatan semakin membanjir saat disain Istana Garuda selesai dikerjakan lulusan Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Lihat saja beragam komentar negatif netizen yang muncul di halaman Instagram resmi milik maestro patung kelahiran Tabanan Bali tersebut. Beberapa waktu lalu, ia mem-posting video pendek berdurasi beberapa detik saja yang ia beri caption: Tampak Istana Garuda dari patung sayap. Dalam video tersebut terlihat bangunan Istana Garuda dari kejauhan, persisnya diambil dari lokasi Patung Sepasang Sayap Garuda di Memorial Park IKN.

Komentar nyinyir seperti ini pun bermunculan:

“itu istana kelelawar”

“desain. Ya kaku visual nya lebih ke istana raja jin gagak ...kalau buat patung okeh lah tapi kalau buat gedung ya itu hasil nya gak enak di pandang”

Setiap orang tentu sah-sah saja mengkritik sebuah karya yang hadir di ruang publik. Namun, komentar yang muncul di medsos kebanyakan lebih mengarah pada menghujat dan mem-bully; serba tanpa dasar yang kuat. 

Sebagai orang Bali, Nyoman merasa bingung karena menurutnya siapa pun bisa menjadi arsitek sekaligus pematung jika memang mampu. “Pengkotakan itu hanya ada di Barat. Kalau kita di Bali enggak mengenal itu ya,” kata Nyoman kepada penulis baru-baru ini.

Orang Bali mengenal istilah undagi. Ini sebetulnya merujuk pada arsitek tradisional Bali. Yang membedakan undagi dengan arsitek lain adalah mereka tidak hanya menguasai ilmu rancang bangun tetapi juga memahami seni, budaya, adat, dan agama.

Undagi itu seniman yang bisa ngapain aja kalau dia mau. Misalnya dia bisa menjadi arsitek, penari, penyanyi, atau pelukis. Kalau dia mau dan bisa, dia akan lakukan. Jadi nggak ada batasan di Bali itu,” Nyoman menjelaskan.

Undagi paling top dewasa ini adalah Ida Bagus Tugur. Dia berpulang pada 21 Desember 2020 di usia 94 tahun. Ia menjadi sangat terkenal setelah mendisain Taman Budaya di Denpasar yang dikenal juga sebagai Art Center. Masyarakat Bali umumnya mengagumi arsitektur tradisional bangunan yang dirancangnya.

“Contohnya itu ya, yang [antara lain] bikin kantor gubernur di Bali itu kan, Tugur namanya. Nah Itu kan kalau ditanya ilmunya dari mana, nggak tahu…Tapi dia yang kerjakannya,” ucap Nyoman.

Upacara detik-detik Proklamasi perdana di IKN (foto: Kominfo)

Istilah undagi tentu hanya dikenal di Bali, pulau yang penduduk aslinya memiliki tradisi rupa yang tinggi. Lihat saja bagaimana mereka mempadu-padankan warna-warni pakaian saat hendak melakukan ritual keagamaan di pura. Atau tatkala merayakan hari besar, menata sesajen dengan dekorasi dan warna yang selaras dan harmoni, serta memproduksi karya seni di pasar.

Karya Bali yang paling fenomenal menurut kurator dan kritikus seni Jim Supangkat adalah ogoh-ogoh yang merupakan karya seni patung.

“Itu kan dibikin komunitas banjar, bukan seniman. Dibuat oleh penduduk setempat tapi hasilnya itu luar biasa.”

Pawai arak-arakan Ogoh-ogoh digelar sehari menjelang Hari Raya Nyepi. Setiap banjar membuat patung yang memvisualisasikan sifat-sifat negatif manusia. Karena itu patung ogoh-ogoh biasanya dibuat besar dan menyeramkan. Sering berwujud raksasa atau makhluk dari dunia maya, seperti naga, gajah, bidadari, hingga berbagai penjahat atau hantu.

Sekarang para seniman ogoh-ogoh mulai memasukkan unsur teknologi yang memungkinkan karakter bergerak-gerak atau menggeleng-gelengkan kepala. Setelah dipikul dan diarak keliling banjar, patung raksasa ini akan dibakar habis sebagai simbol pemurnian.

“Kakek saya itu kan undagi. Ya dia bikin apa aja maunya dia, kalau dia bisa. Enggak ada yang larang-larang gitu. Tapi biasanya seorang undagi itu arsitek,” tambah Nyoman.

Barat vs Bali Tradisional

Pengkotakan profesi terjadi karena pengaruh pendidikan Barat. Seorang lulusan sekolah arsitektur misalnya tidak bisa langsung menggeluti profesi ini tanpa terlebih dahulu memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA). Untuk mendapatkannya dia harus magang paling singkat 2 tahun terus-menerus. Lalu, dia juga harus ikut uji kompetensi demi mendapatkan sertifikat kompetensi.

“Sedangkan orang Bali ada yang namanya undagi. Kalau dia bisa nyanyi ya nyanyi. Itu enggak ada batasnya, enggak ada sekat-sekat itu. Kalau misalnya, seseorang itu dia bisa melukis, bisa matung, ya kerjakan saja; kalau dia bikin arsitek, kerjain aja gitu,” imbuhnya. Hal ini berbeda dengan arsitek modern yang menuntut bukti keprofesionalan lewat surat sertifikasi maupun kompetensi.

“Iya, itu [surat-surat] dulu yang penting. Kalau kita [orang Bali] kan lihat hasilnya: oh ini bagusnya gitu kan. Ini nggak benar nih harusnya begini, dan sebagainya tanpa perlu surat-surat.”

Memiliki talenta, menurut Nyoman yang akrab disapa Komeng, belum cukup. Harus juga menghasilkan karya hebat.

Komeng sendiri sudah menghasilkan banyak karya yang hebat termasuk yang berarsitektur canggih. Garuda Wisnu Kencana, Monumen Jalesveva Jayamahe di Surabaya, dan Istana Garuda, antara lain. Sungguh dia undagi, bukan? (Bersambung)

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS