Empat Dekade Tanpa Keadilan: Tragedi Priok dan Bayang-bayang Impunitas

Empat dekade Tragedi Tanjung Priok dalam bayang impunitas (Foto: Instagram/@solidaritasperempuan)

PARBOABOA, Jakarta - Kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, menjadi saksi kelam terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada 12 September 1984. 

Tragedi tersebut menelan banyak korban jiwa. Puluhan orang terluka, ratusan lainnya ditangkap pihak keamanan, dan sebagian dinyatakan hilang. 

Menurut data Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), tragedi kemanusiaan tersebut mengakibatkan 55 orang terluka dan 24 orang meninggal dunia. 

Umumnya, para korban berasal dari warga sipil yang terlibat bentrokan dengan aparat Kodim 0502 Jakarta Utara (Jakut). 

Sementara itu, laporan Amnesty International mengungkap bahwa 30 orang tewas ditembak pihak keamanan, dan lebih dari 200 orang ditangkap. 

Mereka dituduh menyerang aparat, merusak properti, serta menyebarkan informasi bohong sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Sebagian lainnya dikenai tuduhan subversi, sehingga berakhir pada hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal sebagai “Undang-undang Anti Subversi.”

Kasus Tanjung Priok pernah dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc pada tahun 2003. Sebanyak 12 terdakwa dinyatakan bersalah di pengadilan tingkat pertama. 

Negara diperintahkan untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban serta keluarganya. 

Namun, pada tahun 2005, Pengadilan Tinggi membebaskan para terdakwa setelah dilakukannya banding. Jaksa yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung juga menerima persetujuan. 

Alasannya karena tragedi tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat karena korban bersenjata, sehingga perkara seharusnya diproses melalui pengadilan pidana, bukan Pengadilan HAM ad hoc.

Keputusan tersebut mencabut kewajiban negara untuk memberi kompensasi kepada para korban dan keluarganya. 

Di luar pengadilan, terdakwa menawarkan islah kepada korban dan saksi, yang membuat sebagian besar saksi mencabut pernyataan mereka.

Presiden Joko Widodo pada Januari 2023, mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk peristiwa 1965-1966 dan kerusuhan Mei 1998. 

Namun demikian, Tragedi Tanjung Priok tidak termasuk dalam pengakuan tersebut. Masyarakat dan pegiat HAM lantas mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menuntas masalah kemanusiaan.

Desakan demi desakan disuarakan agar pemerintah Jokowi, di akhir masa jabatannya mampu menaruh perhatian terhadap penuntasan HAM berat di Indonesia.

Tanggapan Amnesty

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan kritik keras terhadap negara yang dinilai memiliki hutang besar dalam hal keadilan. 

Menurutnya, Tragedi Priok adalah salah satu kasus yang belum terselesaikan secara tuntas, seperti halnya tragedi Semanggi II dan kasus Munir. 

Negara dianggap gagal dalam mengungkap secara menyeluruh peristiwa tersebut, menuntut pelaku, serta memperbaiki kebijakan yang menyebabkan terjadinya tragedi.

Peristiwa Tanjung Priok, lanjut Usman, merupakan hasil dari kebijakan represif negara yang dijalankan atas nama Pancasila. 

"Empat dekade berlalu, namun negara masih kehilangan kesempatan untuk menghidupkan kembali dasar negara yang inklusif, yaitu Pancasila," ungkap Usman dalam keterangan yang diterima PARBOABOA, Jumat (12/09/2024). 

Baginya, tanpa penyelesaian tuntas atas tragedi ini, sulit berharap Pancasila bisa kembali menjadi filosofi kebangsaan yang memuliakan persaudaraan universal dan keadilan sosial.

Usman juga menyinggung pentingnya menegakkan nilai-nilai keadilan yang sesuai dengan pesan moral Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal yang disampaikan belum lama ini.

Meskipun beberapa pihak yang terlibat sempat diproses hukum, hasilnya mengecewakan karena mereka akhirnya bebas. 

Mantan pejabat yang diduga bertanggung jawab pun tidak pernah dituntut. Hal tersebut, menurut Amnesty, memperkuat akar impunitas di Indonesia. 

"Negara perlu membuka kembali kasus ini dan melakukan investigasi yang menyeluruh untuk mengidentifikasi siapa yang paling bertanggung jawab," tegas Usman. 

Pengakuan terhadap 12 pelanggaran HAM berat oleh pemerintah saja tidak cukup untuk memberikan keadilan bagi para korban. Apalagi, tragedi Priok sendiri tidak termasuk dalam 12 kasus tersebut.

Lebih lanjut, negara dinilai gagal memberikan reparasi yang layak kepada korban. Usman juga menegaskan pentingnya komitmen dari Presiden dan DPR dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. 

"Ini termasuk perlunya meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED), karena dalam tragedi ini juga terdapat unsur penghilangan paksa. Kejahatan kemanusiaan demikian tidak boleh dibiarkan terulang," pungkasnya.

Kronologi Peristiwa

Insiden Tanjung Priok bermula pada tanggal 7 September 1984 ketika terjadi kelainan antara seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dengan warga setempat. 

Babinsa tersebut semula ditugaskan untuk mencabut pamflet di mushola As-Sa'adah yang berisi masalah umat Islam dan jadwal pengajian. Lalu, tindakannya justru memicu ketegangan. 

Pada hari berikutnya, seorang anggota ABRI beragama Katolik, Sersan Satu Hermanu namanya, datang ke mushola untuk menyita pamflet tersebut. 

Namun, tindakan Hermanu yang memasuki mushola tanpa melepas sepatu, menyiram dinding dengan air, dan menginjak Alquran, sangat menyinggung perasaan warga. Akibatnya, motor Hermanu terbakar secara massal.

Ketegangan memuncak pada tanggal 10 September 1984, ketika beberapa anggota jamaah mushola terlibat cekcok dengan seorang petugas Koramil yang dianggap mengotori mushala mereka. 

Meskipun permasalahan sempat didamaikan oleh Takmir Masjid Baitul Makmur, massa yang berkumpul di luar tidak bisa menahan kemarahannya. 

Akibatnya, motor milik seorang marinir dibakar, dan empat tokoh jamaah, termasuk pengurus musala, ditangkap oleh aparat keamanan. Penangkapan ini semakin meningkatkan suasana.

Puncak ketegangan terjadi pada tanggal 12 September 1984, ketika sejumlah mubaligh, termasuk Amir Biki, menyampaikan ceramah yang membahas isu politik dan sosial. 

Dalam ceramahnya, Amir Biki mengultimatum agar para tahanan dibebaskan paling lambat pukul 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan melakukan aksi lebih besar. 

Ketika massa berjumlah sekitar 1.500 orang bergerak menuju Kantor Polsek dan Koramil, mereka dihadang oleh pasukan bersenjata yang telah mengepung dari dua arah. 

Suara tembakan pun terdengar dan massa demonstran menjadi korban kebrutalan aparat militer. Insiden berakhir tragis dengan ratusan orang terluka dan puluhan lainnya tewas di tempat. 

Kejadian di Tanjung Priok meninggalkan luka mendalam dan menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah pelanggaran HAM di Indonesia.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS