Menari dengan Jiwa: Kisah Maesaroh dan Topeng Kelana

Tarian tradisional Cirebon, topeng Kelana. (Foto: Instagram/@faozanngrh)

PARBOABOA, Jakarta - Di panggung yang sederhana, suara gamelan mulai mengalun, menyapa malam yang perlahan menyelimuti Cirebon. Sorotan lampu menembus tirai, menunggu saat penari pertama melangkah maju. Malam itu, kisah yang telah bertahan berabad-abad akan kembali disampaikan lewat tarian.

Topeng Kelana bukan hanya hiburan, melainkan simbol budaya yang kaya akan makna. Dengan gerakan yang penuh semangat dan topeng berwarna merah menyala, tarian ini membawa penonton dalam perjalanan sejarah dan nilai-nilai kehidupan.

Di sinilah, seni dan tradisi berpadu, menciptakan momen yang tak terlupakan bagi siapa pun yang menyaksikannya.

Topeng-topeng ini bukan sekadar ornamen. Mereka adalah wajah dari karakter-karakter yang akan membawakan cerita tentang keberanian, cinta, dan nilai-nilai kehidupan.

Di antara para penari, Maesaroh, sang penari utama, tampil percaya diri dengan topeng Kelana berwarna merah menyala, simbol amarah dan gejolak batin yang menjadi ciri khas Tari Topeng Kelana ini.

Warisan Topeng Kelana

Topeng Kelana memiliki akar sejarah yang dalam, pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo yang dihormati.

Tari Topeng Cirebon kemudian mulai berkembang pada masa pemerintahan Kerajaan Jenggala (abad ke-10-11 M) di Jawa Timur, dan menyebar ke Cirebon pada abad ke-16 melalui pengaruh penyebaran Islam.

Sunan Gunung Jati bersama Sunan Kalijaga memanfaatkan seni topeng sebagai sarana dakwah Islam, menjadikannya bagian integral dari seni dan budaya Keraton Cirebon

Dari segi desain, Topeng Cirebon terbuat dari kayu yang lembut dan mudah dibentuk, tetapi tetap memerlukan ketekunan, kehati-hatian, dan waktu yang cukup lama dalam proses pembuatannya.

Bahkan seorang pengrajin yang berpengalaman pun bisa memerlukan waktu satu hari untuk membuat satu topeng. Kayu yang sering digunakan adalah kayu jaran. Topeng ini biasanya dipakai dalam pertunjukan tari topeng.

Topeng Cirebon ini dipakai saat pertunjukan tari topeng Cirebon yang diiringi dengan gamelan. Ada lima jenis topeng utama dalam tari ini yang disebut juga Topeng Panca Wanda.

Tari Topeng Kelana secara khusus menggambarkan emosi amarah dan nafsu duniawi. Dalam kisah tradisional, karakter Kelana sering dikaitkan dengan Rahwana dari Ramayana.

Gerakan tari ini ekspresif dan penuh energi, melambangkan ambisi manusia yang terkadang destruktif. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Topeng Kelana berkembang menjadi seni pertunjukan yang digemari.

Dulu, tarian ini kerap hadir dalam ritual adat, upacara keagamaan, dan penghormatan kepada leluhur. Kini, perannya meluas hingga berbagai acara adat seperti pernikahan, khitanan, dan hari besar keagamaan.

Gerakan yang penuh energi dan semangat menjadi daya tarik tersendiri bagi Tari Topeng Kelana. Penonton terpikat oleh ekspresi yang disampaikan melalui setiap langkah, meskipun wajah para penari tersembunyi di balik topeng.

Saat musik gamelan mengalun, Maesaroh merasakan energi menyatu dengan tubuhnya. Setiap dentingan instrumen membawa dirinya lebih dekat ke karakter yang ia perankan.

“Ketika mengenakan topeng ini, saya tidak hanya menari, tetapi benar-benar menjadi karakter tersebut,” ucap Maesaroh kepada Parboaboa.

Melalui latihan intens, Maesaroh memahami pentingnya menghidupkan karakter tanpa ekspresi wajah terlihat. Gerakan tangan yang halus, langkah kaki yang penuh makna, semuanya harus sempurna untuk menyampaikan emosi yang mendalam.

“Awalnya sangat sulit,” kenangnya. “Tapi saat berhasil, saya merasa seperti menemukan diri saya.”

Ketika pertunjukan dimulai, panggung menjadi hidup. Penari, dengan topeng dan gerakan khas mereka, menyampaikan pesan moral yang turun-temurun.

Maesaroh, dalam balutan topeng Kelana, memikat penonton dengan gerakan yang anggun sekaligus penuh semangat.

“Setiap langkah adalah cerita,” ujar Maesaroh. Baginya, menari bukan sekadar gerakan, melainkan juga upaya menjaga esensi budaya dan menyampaikan pesan-pesan moral.

Tantangan Seni di Era Modern

Hamam Khamim, seorang budayawan Cirebon, menyaksikan pertunjukan dengan bangga. Baginya, Topeng Kelana adalah jendela masa lalu yang menghubungkan generasi sekarang dengan sejarah.

Namun, Hamam juga menyadari tantangan yang dihadapi seni tradisional saat ini adalah perkembangan digital.

“Generasi muda lebih tertarik pada hiburan digital. Tapi seni ini masih sangat relevan, mengajarkan keberanian dan kebijaksanaan,” jelasnya.

Meski demikian, komunitas budaya setempat tidak berhenti dan terus berupaya untuk melestarikan seni topeng kelana. Banyak cara yang dilakukan salah satunya adalah kelas tari.

Dengan membuka kelas tari, mereka berharap generasi muda bisa mengenal, mencintai, dan menjaga warisan ini tetap hidup.

Tari Topeng Kelana bukan hanya sekedar seni pertunjukan, melainkan perjalanan spiritual. Setiap gerakan, langkah, dan tarikan nafas dari penari seolah menceritakan kisah-kisah yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi pengingat yang hidup akan nilai-nilai luhur budaya Cirebon. 

Di balik topeng merah yang dikenakan oleh sang penari, tersembunyi semangat yang tak pernah padam untuk menjaga dan merawat warisan budaya yang abadi. 

Penulis: Anisa 

Peserta Program Magang Parboaboa

Editor: Rista
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS